Showing posts with label Kerajaan di Sulawesi Utara. Show all posts
Showing posts with label Kerajaan di Sulawesi Utara. Show all posts

Tuesday, October 4, 2011

Kerajaan Bolaang Mongondow

Peta Bolaang Mongondow

Kerajaan Bolaang Mongondow merupakan salah satu pemerintahan kerajaan yang pernah eksis di kawasan Sulawesi Utara. Peradaban konstitusional dengan prinsip demokrasi sudah dianut kerajaan ini sejak permulaan abad ke-13 Masehi. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung berumur cukup lama dan telah mengalami berbagai dinamika dalam perjalanan sejarahnya.

1. Sejarah
Peradaban Kerajaan Bolaang Mongondow didirikan oleh orang-orang dari Suku Mongondow. Pada awalnya, orang-orang Suku Mongondow bermukim di daerah dataran tinggi, yakni di Gunung Komasaan. Wilayah yang menjadi tempat asal orang-orang Suku Mongondow itu kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bintauna, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.

Secara garis besar, komunitas adat dalam lingkungan masyarakat Mongondow terbagi atas dua kelompok keluarga atau marga yang berawal dari dua pasangan suami dan istri. Orang-orang Suku Mongondow mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari pasangan Gumalangit dan Tendeduata serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat. Masing-masing dari pasangan ini menurunkan generasi yang kelak menyusun cikal-bakal silsilah dalam sistem kekerabatan suku bangsa Mongondow (http://id.wikipedia.org).

Jumlah masyarakat Suku Mongondow yang semakin lama semakin bertambah banyak membuat penyebaran populasi mereka kian meluas. Pada abad ke-8 dan 9 M, orang-orang Suku Mongondow menyebar sampai ke daerah-daerah di luar tempat asal mereka, termasuk hingga ke daerah Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia’, Tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow, dan lain sebagainya. Tuntutan meninggalkan kampung halaman bukan menjadi masalah bagi Suku Mongondow karena kebetulan pada zaman itu orang-orang Mongondow masih menganut gaya hidup yang berpindah-pindah dan bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang sudah tersedia di alam.

Mata pencaharian orang-orang Mongondow adalah berburu hewan, menangkap ikan, mengolah sagu dan mencari umbi di hutan. Selain itu, mereka pada umumnya belum mengenal cara bercocok tanam (http://id.wikipedia.org). Jumlah peredaran orang-orang Suku Mongondow pada saat itu cukup banyak dan tersebar merata dari kawasan pesisir pantai hingga ke wilayah perdalaman atau di daerah-daerah pegunungan.

a. Riwayat Terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow
Perkembangan kuantitas orang-orang Suku Mongondow yang semakin besar di sejumlah titik daerah lantas membentuk sejumlah komunitas adat. Masing-masing kelompok adat dalam satu keturunan sub-etnis Suku Mongondow ini dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Bogani, bisa laki-laki ataupun perempuan. Seorang Bogani dapat dipilih dengan memenuhi persyaratan, antara lain memiliki kemampuan fisik yang kuat, bersifat pemberani, bersikap bijaksana, berpikiran cerdas, disegani oleh segenap warga serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keselamatan seluruh anggota kelompok dari gangguan musuh yang datang menyerang (www.kotamobagukota.go.id).

Seorang raja kecil atau Bogani biasanya dibantu oleh beberapa orang pembantu sesuai formasi yang dibutuhkan dalam melaksanakan pemerintahan adat yang masih sederhana itu. Para pendamping Bogani dinamakan Tonawat yang terdiri dari orang-orang yang mengetahui tentang ilmu perbintangan, ahli penyakit dan cara pengobatannya, serta mereka yang mengemban tugas sebagai penasehat pemerintahan Sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang bersifat massal, diadakan perundingan demi mencapai kesepakatan dari semua pihak. Selain itu, pada saat tertentu, seluruh Bogani berkumpul untuk bermusyawarah (www.geocities.ws).

Wilayah pemerintahan komunitas kelompok suku yang digalang dan diketuai oleh seorang Bogani disebut dengan nama Totabuan (http://marsa84.multiply.com). Tiap-tiap Totabuan mempunyai sistem pemerintahan dan adat-istiadat yang mengandung kekhususan tertentu. Dengan demikian, pada waktu itu penduduk Suku Mongondow telah merintis suatu bentuk peradaban dengan pola dan struktur pemerintahan yang sudah mulai tertata dan terkoordinasi.

Antara kelompok sub-suku yang satu dengan yang lain tidak jarang terlibat sengketa meskipun di kalangan para Bogani sudah terdapat forum musyawarah. Berbagai pertikaian tersebut bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ketidaksepahaman mengenai batas wilayah, harga diri, terjadinya kesalahpahaman tentang suatu masalah, dan seterusnya. Perselisihan yang kerap meletus itu sebetulnya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan menjadikan masyarakat yang sebenarnya masih terhitung dalam satu lingkaran darah tersebut menjadi terpecah-belah. Atas dasar pemikiran itu, pada penghujung abad ke-12 M, terpercik pemikiran progresif dari para kepala kelompok suku untuk membentuk suatu kesatuan pemerintahan yang lebih solid dan kuat.

Para pemuka komunitas adat pun melangsungkan rapat guna berembug untuk membuka wacana dan menyamakan pandangan demi terciptanya penyatuan seluruh kelompok suku yang ada. Selain etnis Mongondow, sebenarnya masih ada tiga etnis lain yang turut berpartisipasi dalam membentuk kerangka pemerintahan baru. Ketiga etnis tersebut yaitu etnis Mokapok, Bintauna, dan Bolango. Syamsul Mokoginta dalam artikelnya menyebutkan bahwa keseluruhan etnis ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri yang secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian, keempat etnis yang ada di lingkungan itu merupakan satuan masyarakat adat yang masing-masing memiliki ciri khas dan identitas sendiri (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Tepat pada tahun 1400 M, peleburan seluruh komunitas adat pun terwujud dan terbentuklah suatu pemerintahan besar yang tidak lain adalah Kerajaan Bolaang Mongondow. Nama Bolaang Mongondow adalah perpaduan dari kata Bolaang dan Mongondow. Bolaang (golaang) mengandung arti “menjadi terang”, “terbuka”, atau “tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun”. Selain itu, Bolaang juga menjadi nama suatu kawasan permukiman yang berlokasi di pesisir tepi pantai sebelah utara. Dengan demikian, istilah bolaang, berasal dari kata bolango atau balangon, juga dapat diartikan sebagai tepi laut atau pesisir pantai (http://www.bolmong.go.id).

Sedangkan istilah mongondow diambil dari kata momondow yang berarti ”berseru tanda kemenangan”, selain juga digunakan untuk penamaan suku. Di samping itu, muncul pula nama Rata Mongondow untuk menyebut daerah perdalaman. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat, baik yang berdiam di pesisir pantai maupun yang menetap di wilayah perdalaman dan perbukitan, maka lahirlah kesatuan wilayah yang kemudian disebut dengan nama Bolaang Mongondow (http://www.bolmong.go.id).

Kalangan perintis Kerajaan Bolaang Mongondow tampaknya sudah mengenal asas demokrasi. Hal tersebut terlihat dari konsep yang digunakan dalam prosesi pemilihan pemimpin utama (raja), yakni dengan tata cara yang disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak” (http://marsa84.multiply.com). Dengan mengacu pada mekanisme demokrasi purba itu, maka terpilihlah pemimpin perdana Kerajaan Bolaang Mongondow yang bernama Mokodoludut. Setiap raja yang memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow berhak menyandang gelar yang dalam bahasa lokal disebut sebagai Tompunu’on atau Punu’ (http://id.wikipedia.org).

Salah satu faktor paling penting yang membuat Punu’ Mokodoludut terpilih sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow secara mutlak dan aklamasi disebabkan karena asal-usul kelahiran Mokodoludut itu sendiri. Menurut cerita rakyat yang diyakini oleh sebagian masyarakat Bolaang Mongondow, banyak orang yang datang untuk melihat di hari ketika Mokodoludut dilahirkan. Kemunculan pertama Mokodoludut di dunia dianggap sebagai kejadian yang ajaib dan bersifat gaib.

Dalam legenda dikisahkan bahwa pada suatu hari, pasangan suami-istri bernama Kueno dan Obayow menemukan benda yang berwujud seperti telur hanyut di sungai. Setelah dipungut, benda aneh tersebut ternyata kantung berisi bayi yang baru lahir dan masih terbungkus rahim ibu yang melahirkannya ke alam semesta. Semua orang terheran-heran dan lantas mempercayai bahwa bayi itu keluar dari sebuah telur. Jabang bayi itu lalu diberi nama Mokodoludut, diambil dari kata nodoludut yang bermakna “penyebab bunyi gaduh dari banyak kaki yang berjalan”. Kelahiran Mokolududut semakin terasa bernuansa mistis karena berlangsung dalam cuaca hujan lebat dan disertai gemuruh suara guntur serta kilatan halilintar yang sambar-menyambar (www.geocities.ws).

b. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow
Punu’ Mokolududut memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung sedari tahun 1400 M. Raja pertama Bolaang Mongondow ini membangun istana, dalam bahasa lokal disebut dengan istilah komalig, di Gunung Bumbungon sebagai pusat untuk mengatur jalannya pemerintahan (http://gmibm.tripod.com). Pada era kepemimpinan Punu’ Mokolududut, kehidupan Kerajaan Bolaang Mongondow berjalan dengan baik dan teratur. Kemajuan di segala perikehidupan masyarakat kerajaan diperoleh dengan relatif pesat.

Hubungan diplomasi dengan pihak-pihak luar kerajaan pun mulai digagas. Salah seorang yang paling berperan dalam menjalin relasi dengan pihak luar adalah anak perempuan Punu’ Mokolududut yang bernama Ginsapondo. Putri kerajaan ini mempelopori terhubungnya kemitraan niaga dengan kaum saudagar Minahasa yang banyak mendirikan permukiman di areal pesisir pantai (Ridwan Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).

Di bawah kepemimpinan Punu’ Mokolududut, masyarakat Kerajaan Bolaang Mongondow juga mulai mengenal kesenian. Di ranah seni sastra, misalnya, dikenal seni itu-itum, yakni semacam nyanyian doa yang disenandungkan dalam acara-acara tertentu, misalnya pada waktu upacara pelantikan pejabat kerajaan. Selain itu diperkenalkan juga odi-odi (semacam sumpah atau ikrar) serta jenis vokal yaitu totampit atau sastra bermelodi yang kemudian kerap dilagukan oleh warga Kerajaan Bolaang Mongondow sembari menjalani aktivitas sehari-hari (www.geocities.ws).

Punu’ Mokolududut duduk di singgasana tertinggi Kerajaan Bolaang Mongondow selama kurang lebih 60 tahun dan berakhir pada tahun 1460 M. Kondisi Kerajaan Bolaang Mongondow sepeninggal Punu’ Mokolududut masih berjalan dengan relatif baik. Kehidupan warga kerajaan semakin bertambah sejahtera karena didukung oleh aktivitas perdagangan yang bagus dan cukup maju kendati pola perniagaan yang dilakukan pada masa itu masih menggunakan sistem barter atau saling menukar barang. Pada era-era ini Kerajaan Bolaang Mongondow mulai menjalin hubungan dengan pihak asing, antara lain dengan pedagang-pedagang dari Spanyol, Portugis, dan Belanda yang pada kala itu masih berstatus sebagai kongsi dagang yang kemudian lazim dikenal dengan nama Verenignde Oost-indie Compagnie (VOC) alias kompeni (www.geocities.ws).
Kehidupan dan hubungan antar masyarakat yang terjalin di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow pun berlangsung dengan damai. Meskipun komposisi rakyat kerajaan berasal dari golongan kelompok yang berlainan dengan aneka ragam perbedaannya, kerukunan antar warga terjalin dengan baik karena tidak adanya tingkatan atau strata sosial dalam tatanan masyarakat. Suasana yang aman dan terkendali serta tanpa perbedaan kelas sosial yang merupakan warisan dari Punu’ Mokolududut tersebut berlangsung dalam kondisi yang stabil hingga masa pemerintahan raja-raja di era-era berikutnya. Perubahan yang sedikit mewarnai perjalanan sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow terjadi pada tahun 1480 M adalah pergeseran ibukota kerajaan dari yang semula berada di Gunung Bumbungon dipindahkan ke Kotobangon. Perpindahan sentra pemerintahan ini berlangsung pada masa kepemimpinan Punu’ Damopolii yang bertahta pada kurun 1480 – 1510 M (http://gmibm.tripod.com).

Reformasi yang cukup mencolok baru terjadi ketika Punu’ Tadohe (1600 – 1650 M) menempati kedudukan sebagai orang nomor satu di Kerajaan Bolaang Mongondow. Semenjak periode ini, kebijakan pemerintah kerajaan mulai mendapat pengaruh dari orang-orang Belanda. Walaupun hanya berkapasitas sebagai mitra dagang, namun tampaknya Belanda mulai mencoba untuk turut campur tangan dalam mempengaruhi urusan internal Kerajaan Bolaang Mongondow.

Di sisi lain, Punu’ Tadohe dikenal sebagai sosok pemimpin yang cakap, cerdas, dan mau menerima masukan yang dibawa oleh pihak asing. Progresivitas yang dilakukan oleh Punu’ Tadohe, misalnya, adalah penerapan sistem bercocok tanam padi, jagung, dan kelapa yang dikenalkan oleh bangsa Spanyol. Begitu juga dengan Belanda yang ternyata mampu memberikan pengaruh yang diterima oleh Punu’ Tadohe, salah satunya adalah digantinya gelar Punu’ yang sebelumnya lekat sebagai gelar kehormatan untuk raja menjadi Datu (www.geocities.ws).
Belanda juga berhasil membujuk Punu’ (Datu) Tadohe untuk memberlakukan perubahan dalam sistem sosial masyarakat. Sejak saat itu, strata sosial masyarakat Kerajaan Bolaang Mongondow dipisah menjadi dua kasta, ialah golongan Kinalang yang berisikan kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan, serta golongan Paloko’ yang merupakan kasta untuk rakyat kebanyakan. Akan tetapi, bukan berarti gagasan pembagian kelas sosial tersebut tidak memuat manfaat yang positif. Kaum Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan golongan Kinalang diwajibkan bisa mengangkat tingkat penghidupan kaum Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang.

Era pemerintahan Tadohe juga menorehkan catatan emas dengan berhasil mempersatukan seluruh komunitas rakyat yang selama ini masih hidup mengelompok sendiri-sendiri untuk disatukan di bawah naungan kebesaran panji-panji Bolaang Mongondow (http://www.kotamobagukota.go.id). Hubungan antara kelompok masyarakat diperbaiki dengan pembukaan jalan untuk tranportasi serta pengaturan pemerintahan di tingkat duku (padukuhan) dan desa.

Kaidah demokrasi kian dijalankan dengan baik, misalnya dengan diberlakukannya pemilihan langsung oleh rakyat dalam pemilihan kepala desa (www.geocities.ws). Pada masa pemerintahan Tadohe ini juga mulai dikenal mata uang sebagai alat transaksi perdagangan yang sebelumnya masih menggunakan sistem tukar barang (www.bolmong.go.id). Atas sejumlah prestasi gemilang yang diguratkan selama orde kekuasaannya, Tadohe boleh dibilang cukup berhasil dalam mengantarkan Kerajaan Bolaang Mongondow menuju ke arah pintu gerbang kemajuan.

Penerus tahta Tadohe adalah Raja Loloda’ Mokoagouw atau Datu Binangkang yang memerintah sekurun 1653–1694 M. Pada masa ini, dakwah Islam mulai masuk ke wilayah Bolaang Mongondow. Raja Loloda’ sendiri telah menjadi seorang muslim sejak usia remaja dari hasil pendalaman agamanya di Manado (http://marsa84.multiply.com). Sang raja dikenal sebagai tokoh pemimpin yang agresif. Di bawah komandonya, pasukan tempur Kerajaan Bolaang Mongondow berhasil menaklukkan dan menguasai wilayah Manado. Akibat serangan itu, rakyat Manado terpaksa mengungsi ke Pulau Sangir dan mendapat perlindungan dari Belanda (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Berbeda dengan sang ayah, hubungan Raja Loloda’ dan Belanda tidak berjalan harmonis. Kubu kompeni berulangkali melecehkan kewibawaan Raja Loloda’, bahkan melancarkan gerakan adu domba di lingkungan internal kerajaan. Raja Loloda’ yang merasa sangat terganggu dengan kekacauan yang disebabkan oleh Belanda kemudian mengalihkan ibukota kerajaan dari Kotobangon ke Amurang pada sekitar tahun 1665 M (http://gmibm.tripod.com).

Raja Loloda’ sejatinya sudah mempersiapkan salah seorang anak lelakinya sebagai putera mahkota. Akan tetapi, Belanda juga sudah punya calon sendiri, yakni putra Raja Loloda’ lainnya dari istri selir yang berasal dari Minahasa. Kandidat yang dijagokan Belanda itu, bernama Yakobus Manoppo, berdomisili di Manado dan memperoleh pendidikan Barat. Sang pangeran ini adalah penganut agama Kristen Protestan, ia dibaptis oleh orang-orang Belanda yang tinggal di Minahasa.

Pada tahun 1694 M, Raja Loloda’ menghembuskan nafas penghabisan. Belanda bergegas memainkan perannya dalam suksesi pergantian kepemimpinan. Akhirnya, berkat campur tangan bangsa penjajah, Yakobus Manoppo dinobatkan sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow yang berikutnya. Pada orde pemerintahan Yakobus Manoppo, kedudukan pusat kerajaan bergeser lagi, kali ini dari Amungan dipindahkan ke Bolaang Pantai Utara (Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).

Ketika Kerajaan Bolaang Mongondow dipimpin oleh Raja Salomon Manoppo yang bertahta sejak tahun 1735 M, terjadi konfrontasi dengan kubu Belanda. Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari mencari suaka ke Kerajaan Bolaang Mongondow akibat penindasan yang dilakukan oleh pejabat daerah di sana. Residen Manado yang merupakan wakil Belanda, meminta supaya para pelarian tersebut dikembalikan ke Minahasa. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Salomon, dan ini berarti, genderang perang melawan penjajah telah ditabuh (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Di waktu yang hampir bersamaan, Raja Salomon juga sedang menghadapi perkara tentang perbatasan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Kerajaan Kaidipang. Belanda yang menyokong Kerajaan Kaidipang lantas menanamkan hasutan agar Kerajaan Kaidipang menyerang Kerajaan Bolaang Mongondow. Akibatnya, Raja Salomon ditangkap dan dipenjara di Ternate, kemudian dipindahkan ke Batavia. Pada tahun 1748 M, Raja Solomon dijatuhi hukuman pengasingan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) selama kurang lebih 8 tahun (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Hukuman dan pembuangan Raja Salomon memantik berbagai kerusuhan di Bolaang Mongondow. Kericuhan semakin parah karena terjadinya peristwa pembunuhan berlatar-belakang politis yang dilakukan oleh keluarga kerajaan yang berambisi naik tahta. Namun, mayoritas rakyat Bolaang Mongondow bersikukuh menuntut supaya Raja Salomon segera dikembalikan. Untuk menghindari situasi chaos agar tidak semakin memburuk, Belanda memenuhi permintaan itu dan pada tahun 1756 M, Raja Solomon kembali menduduki tampuk kekuasaan sebagai Raja Bolaang Mongondow (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Dinamika perubahan bergulir kembali pada masa pemerintahan Raja Cornelius Manoppo yang bertahta pada periode 1825–1829. Di rezim ini, syiar agama Islam berkembang dengan subur. Bahkan, Islam dinyatakan sebagai agama raja dan menjadi agama resmi kerajaan. Kegemilangan ajaran Islam ini dapat terjadi berkat andil seorang pendakwah bernama Syarif Aloewi yang datang dari Gorontalo. Syarif Aloewi kemudian dinikahkan dengan salah seorang puteri Raja Cornelius Manoppo (www.kotamobagukota.go.id).

Penerapan hukum Islam semakin digalakkan di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa pemerintahan Raja Yakobus Manuel Manoppo (1833–1858). Pada bulan September 1849, mulai diterapkan aturan tentang ritual perkawinan dan tata cara berpakaian serta sanksi bagi pelaku tindakan kriminal dan pelanggaran pidana seperti membunuh, mencuri, berselingkuh/berzina, dan lain-lainnya (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com). Diakui atau tidak, ajaran Islam telah turut mewarnai perkembangan kebudayaan dalam sendi-sendi kehidupan warga Bolaang Mongondow. Namun, sejauh ini belum diketahui faktor penyebab mengapa nama-nama raja Bolaang Mongondow masih bernuansa Eropa (Nasrani) meskipun sudah memeluk agama Islam.

c. Bolaang Mongondow di Era Kolonial dan Kemerdekaan
Ketenangan Bolaang Mongondow lagi-lagi terusik oleh ambisi agresi Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1901, armada militer Belanda dengan cara kekerasan memaksa masuk ke wilayah Bolaang Mongondow melalui Minahasa Selatan, setelah upaya mereka menyerbu lewat laut tidak kunjung membuahkan hasil. Di bawah pimpinan Anton Cornelius Veenhuizen, tentara perang Belanda merangsek sampai ke halaman istana di Bolaang Pantai Utara. Prajurit Kerajaan Bolaang Mongondow yang kalah persenjataan tidak mampu berbuat banyak, demikian pula dengan pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow saat itu, yakni Raja Riedel Manuel Manoppo (www.geocities.ws).

Raja Riedel Manuel Manoppo tidak sudi tunduk kepada Belanda. Akibatnya, Belanda kemudian menurunkan kedudukan Raja Riedel Manuel Manoppo dan menggantikannya dengan melantik Datu Cornelis Manoppo sebagai penguasa Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru. Pusat pemerintahan kerajaan pun dikembalikan dari Bolaang Pantai Utara ke Kotobangon (www.bolmong.go.id). Dahulu kala, Kotobangon pernah menjadi ibukota Kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1480 M saat dipimpin Punu’ Damopolii (http://gmibm.tripod.com).

Di luar istana, rakyat Bolaang Mongondow melakukan perlawanan di bawah arahan salah seorang kerabat kerajaan yang bernama Hatibi Dibo Mokoagow. Pejuang pemberani ini memimpin rakyat melawan Belanda dengan memotong tiang bendera Belanda yang dipancang di halaman istana. Tiang bendera triwarna yang dipasang di pelabuhan Lombagian (Inobonto) pun tidak luput dari sasaran pemangkasan. Namun, pada tahun 1904 Hatibi Dibo Mokoagow tertangkap oleh Belanda dan kemudian ditembak mati. Pimpinan perjuangan rakyat dilanjutkan oleh Sangadi Eman yang berasal dari Pontodon kendati perlawanan itu kembali bisa dipatahkan oleh kubu Belanda (www.geocities.ws).

Sejak saat itu, kehidupan di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow praktis berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1906, sekolah-sekolah kolonial mulai dibangun, termasuk Sekolah Rakyat (SR) yang dikelola oleh kalangan misionaris Nasrani. Sekolah-sekolah bikinan Belanda itu didirikan di sejumlah desa yang ada di wilayah Bolaang Mongondow dengan guru-guru yang didatangkan dari Minahasa. Pada awal pendirian sekolah tersebut, jumlah murid yang tertampung adalah 1.605 orang (www.bolmong.go.id).

Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mendirikan sekolah menengah Holland Inlandshe School (HIS) di Kotamobagu pada tahun 1911. Setahun kemudian, sekolah zending yang dikelola oleh lembaga misionaris dibuka di Dumoga. Pendirian sekolah-sekolah serupa kian gencar dilakukan, yakni di daerah Tabang, Tungoi, Poigar, Matali, dan Lolak, pada tahun 1926. Selanjutnya, pada tahun 1937, dibuka sebuah sekolah Gubernemen, yakni Vervolg School, di Kotamobagu (www.geocities.ws).

Pembangunan sekolah-sekolah dan berbagai fasilitas pelayanan publik lainnya memang memberi nilai positif bagi taraf hidup rakyat Bolaang Mongondow. Akan tetapi di sisi lain, kedaulatan Kerajaan Bolaang Mongondow tidak diakui secara penuh dan tak lagi memiliki kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan. Keadaan yang seperti ini berlangsung cukup lama hingga menjelang kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942. Kondisi yang terjadi pada masa pendudukan Jepang tidak berubah, kedudukan raja hanya dijadikan sebagai simbol semata tanpa mempunyai kekuatan politik.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow meleburkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar. Kemudian, pada tahun 1953, Bolaang Mongondow masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah Bolaang Mongondow selanjutnya dipisahkan menjadi kabupaten pada tanggal 23 Maret 1954.

Sejak itu, Bolaang Mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Tanggal 23 Maret pun diabadikan sebagai hari peringatan ulang tahun Kabupaten Bolaang Mongondow (www.bolmong.go.id). Dengan demikian, berakhir sudah riwayat Kerajaan Bolaang Mongondow yang sudah melakoni eksistensinya selama ratusan tahun, dan berganti dengan format pemerintahan yang lebih mutakhir sebagai kabupaten. Tokoh yang tercatat sebagai pemimpin Kerajaan Bolaang Mongondow yang terakhir adalah Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo yang berkuasa pada masa pascakemerdekaan, yakni tahun 1947 hingga 1950.
Seiring dengan berjalannya Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan pemekaran wilayah. Pemekaran tersebut membagi bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow menjadi sejumlah wilayah administratif, antara lain Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).

2. Silsilah
Berikut daftar nama-nama penguasa yang pernah memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow yang dihimpun dari beberapa sumber:
1. Punu’ Mokodoludut (1400 – 1460 M).
2. Punu’ Yayubangkai (1460 – 1480 M).
3. Punu’ Damopolii (1480 – 1510 M).
4. Punu’ Busisi (1510 – 1540 M).
5. Punu’ Mokodompit (1560 – 1600 M).
6. Punu’ Tadohe (1600 – 1650 M).
7. Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang (1653 – 1694 M).
8. Raja Yakobus Manoppo (1694 – 1695 M).
9. Raja Fransiscus Manoppo (1695 – 1731 M).
10. Raja Salomon Manoppo (1735 – 1748 M dan 1756 – 1764 M).
11. Raja Egenius Manoppo (1764 – 1767 M).
12. Raja Christofel Manoppo (1767 – 1770 M).
13. Raja Markus Manoppo (1770 – 1773 M).
14. Raja Manuel Manoppo (1773 – 1779 M).
15. Raja Cornelius Manoppo (1825 – 1829).
16. Raja Ismail Cornelis Manoppo (1829 – 1833).
17. Raja Yakobus Manuel Manoppo (1833 – 1858).
18. Raja Adreanus Cornelis Manoppo (1858 – 1862).
19. Raja Yohanes Manuel Manoppo (1862).
20. Raja Abraham Sugeha atau Datu’ Pinonigad (1886 – 1893).
21. Raja Riedel Manuel Manoppo (1893 – 1901).
22. Raja Datu Cornelius Manoppo (1901 – 1928).
23. Raja Laurens Cornelius Manoppo (1928 – 1938).
24. Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo (1947 – 1950). (Mokoginta, dalam

3. Sistem Pemerintahan
Orang-orang Bolaang Mongondow sudah menganut prinsip-prinsip demokrasi sejak awal berdirinya kerajaan. Tradisi mereka mengenal tata cara yang disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak” (http://marsa84.multiply.com). Mekanisme seperti ini digunakan dalam pemilihan pemimpin pertama Kerajaan Bolaang Mongondow dan pada perkembangannya kemudian diterapkan juga dalam pemilihan kepala desa yang bernaung di bawah kuasa kerajaan.

Kerajaan Bolaang Mongondow memiliki sistem pemerintahan yang diberlakukan secara konsisten dan konsekuen sejak masa kepemimpinan Punu’ Tadohe (1600–1650 M). Pemerintahan pusat dipimpin oleh seorang raja atau Punu’ atau Datu sebagai penguasa tertinggi. Seorang raja dipilih dari anak atau cucu raja laki-laki melalui keputusan Dewan Musyawarah Rakyat yang diketuai oleh seorang perdana menteri. Suksesi raja dapat terjadi karena raja meninggal dunia, sakit, atau diturunkan dengan paksa karena tidak mampu mengemban amanat hukum adat kerajaan (Lasabuda, http://totabuanku.blogspot.com).

Perdana menteri kerajaan disebut juga dengan istilah Sadaha Tompunuon. Tugas dari pengampu jabatan ini adalah sebagai pemegang hukum adat kerajaan, penyimpan harta benda dan pusaka milik kerajaan, membagi hak untuk raja dan pejabat-pejabat kerajaan, serta memimpin Dewan Musyawarah Rakyat. Posisi perdana menteri dijabat oleh keturunan Tompunuon, yaitu orang yang ahli menghafal. Keturunan Tompunuon biasanya berasal dari Inalie dan Amalie, yakni pemimpin komunitas adat (Bogani) dari Dumoga yang dulu membesarkan dan mendidik Mokodoludut, pemimpin pertama Kerajaan Bolaang Mongondow (http://gmibm.tripod.com).
Lembaga Dewan Musyawarah Rakyat, selain berfungsi sebagai institusi yang berhak memilih, mengangkat, dan memberhentikan raja, juga mengemban tugas untuk memutuskan berbagai persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan dan amandemen hukum adat Kerajaan Bolaang Mongondow. Di bawah pimpinan perdana menteri atau Sadaha Tompunuon sebagai ketua, Dewan Musyawarah Rakyat juga dimotori oleh Panghulu Passi dan Panghulu Lolayan sebagai anggota istimewa serta para kepala desa yang bergelar Hukum Major sebagai anggota biasa (http://gmibm.tripod.com).

Panghulu adalah jabatan kepala wilayah adat. Kerajaan Bolaang Mongondow mempunyai 4 (empat) wilayah adat, yakni masing-masing: Passi, Lolayan, Kotabunan, dan Bolaang. Khusus wilayah Passi dan Lolayan, pemimpin wilayah adat disebut Kohongian in Passi dan Kohongian in Lolayan, yang diberi gelar Panghulu. Sedangkan wilayah adat Kotabunan dan Bolaang biasanya dijabat oleh keluarga raja, misalnya Abraham Patra Mokoginta sebagai Panghulu Kotabunan, Samer Abraham Sugeha selaku Panghulu Bolaang, atau Riedel Manuel Manoppo yang sebelum naik tahta menjadi raja pernah menjabat sebagai Panghulu Kotabunan (Lasabuda, http://totabuanku.blogspot.com).

Selain itu, tata pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Bolaang Mongondow juga mempunyai sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan tingkat desa, yakni Hukum Major, Kapita Raja, Sangadi, dan Kimalaha. Hukum Major adalah pemimpin dari beberapa desa yang berwilayah besar. Kapita Raja adalah kepala desa dari sebuah desa kecil dan berasal dari keturunan Kohongian. Sangadi adalah kepala desa dari sebuah desa besar juga bisa kecil yang berasal dari keturunan pemuka masyarakat setempat. Sedangkan Kimalaha adalah sebutan kepala desa yang memimpin suatu desa yang besar (http://gmibm.tripod.com).

4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah yang dahulu dikuasai oleh Kerajaan Bolaang Mongondow sangat luas. Di masa sekarang, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow telah menjelma menjadi wilayah-wilayah yang termasuk dalam lingkup administratif Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).

Banyak nama tempat yang ditemukan dan pernah menjadi bagian dari area kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Sebagian dari tempat-tempat tersebut di masa sekarang telah berubah statusnya menjadi kecamatan, kelurahan, atau padukuhan. Beberapa tempat itu antara lain: Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Mahag, Siniow, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tonsawang, Poigar, Bolaang, Pontak, Buyat, Amurang, Kotabunan, Basaan, Popo Mongondow, Kotabaru, Gunung Sia’, Kotamobagu, Werdhi Agung, Kembang Mertha, Mopuya, Mopugad, Tumokang, Pusian, Pontodon, Lombagian, Dumoga, Tabang, Tungoi, Matali, Lolak, dan lain-lainnya. Selain itu, Kerajaan Bolaang Mongondow juga pernah menguasai wilayah Manado pada era pemerintahan Raja Loloda’ Mokoagouw (1653–1694 M)

Asal Mula Nama Bolaang Mongondow

Bolang Mongondow terdiri dari kata "bolaang" dan "mongondow". Bolaang atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun, sehingga agak gelap. Bial ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga seberkas sinar matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang dimaksud dengan no bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara Bolaang Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang Itang yang juga terletak di tepi laut). Mongondow dari kata "momondow" yang berarti : berseru tanda kemenangan. Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe (Sadohe), maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.

LETAK GEOGRAFIS


Daerah Bolaang Mongondow terletak di jazirah utara pulau Sulawesi memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu Gorontalo (sekarang sudah menjadi propinsi) dan Minahasa. Secara geografis daerah ini terletak antara 100,30" LU dan 0020" serta antara 16024'0" BT dan 17054'0" BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi dan selatan dengan laut Maluku.

Bolaang Mongondow adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Binatuna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari Afdeling Manado. Batas pesisir dengan daerah Gorontalo oleh dua buah sungai, yaitu di utara sungai Andagile dan di selatan oleh sungai Taludaa. Dengan daerah Minahasa juga dua sungai yaitu di utara sungai Poigar dan di selatan oleh sungai Buyat. Medan yang terlebar jaraknya sekitar 66 km yaitu antara sungai Poigar dan tanjung Flesko. Yang tersempit yaitu antara desa Sauk di utara dan desa Popodu di selatan.

Pimpinan masyarakat Bolmong pada jaman dulu disebut Bogani yang sekarang ini di Daerah Bolaang Mongondow telah terdapat patung Bogani yang terletak di Kelurahan Kotabangon kecamatan Kotamobagu, lihat gambar dibawah ini :

FAM-FAM/MARGA-MARGA RAJA (MODODATU) BOLAANG MONGONDOW

Fam-Fam(marga-marga) Mongondow yang notabennya adalah fam-fam Mododatu atau marga-marga para raja Bolaang Mongondow yang telah dibuktikan dengan berbagai data-data, literatur, kajian-kajian, dan daftar silsila keturunan raja-raja Bolaang Mongondow dari berbagai sumber adalah Fam-Fam sebagai berikut :

GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari Raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Raja Paputungan, dll.; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO, beserta keturunan-keturunannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu semuanya adalah keturunan RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG DAN SERING DISEBUT KI MOKOAGOW ATAU KI ABO’ MOKOAGOW,

dimana fam-fam tersebut secara geneologi menunjukan keturunan pewaris darah raja-raja Mongondow atau golongan Mododatu yaitu yang berhak menjadi raja Bolaang Mongondow berdasarkan garis keturunan secara “PATRILINEAL (Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah secara turun temurun)” dalam setiap pengangkatan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda Mokoagow) berdasarkan hukum adat atau hukum tua(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3) berbunyi :

“PENGANGKATAN RAJA SENANTIASA AKAN DIPILIH DARI PIHAK PRIA KETURUNAN RAJA-RAJA” yang mana kesemua fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini beserta keturunan-keturunannya berdasarkan Patrilineal adalah semuanya mewarisi DARAH MODODATU(darah keturunan para raja Bolaang Mongondow) karena kesemuanya adalah keturunan PARA PUNU’ MOLANTUD MOKODOLUDUT ATAU RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW/ PARA DATU BINANGKANG SECARA PATRILINEAL{pihak-pihak yang berhak dirajakan atau pewaris tahta dan berhak memakai simbol-simbol raja seperti Golomang, kulintang(alat-alat musik tertentu) dan atribut-atribut Mododatu lainnya} dan lain-lain sebagai tanda atau atribut wajib yang digunakan oleh kaum raja atau keturunan Mododatu yaitu Golongan Raja yaitu garis keturunan secara patrilineal yang telah diwarisi dari Para Punu’ Molantud Mokodoludut, seperti Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu yang telah disebutkan di awal tulisan ini, adalah sebagai berikut :

Di rumah orang yang meninggal dipasang ARKUS yang terbuat dari kain putih(pusi’= menyerupai ukuran bendera berukuran sedang yang dipasangkan pada sebuah kayu) yang secara utuhnya berupa hiasan yang terbuat dari daun enau muda atau janur kuning yang dibentuk menjadi lengkungan seperti busur pada sisi di samping bangun kerucut tersebut dan pada sisi yang lain (pada bangun kerucut )tersebut dibentuk sedikit agak melengkung yang terdiri dari empat lengkungan yang terbuat dari empat batang daun enau atau janur kuning dan masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi dengan empat tiang yang mana yang ke empat tiang tersebut terbuat dari bahan batang bambu dan secara keseluruhannya bangun-bangun tersebut menyerupai gabungan antara bangun limas yang dipasangi tiang bambu atau “MATUBO ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA UNTUK ACARA KEDUKAAN DAN TOIBOI ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA” untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam atau marga-marga yang disebutkan dalam tulisan ini) dengan bangun kerucur sebagai tempat pemasangan arukus atau selembar kain putih polos (pusi’) yang menyerupai ukuran bendera dan dipasangkan di puncak bangun kerucut tersebut di bagian paling atas pada gabungan kerangka bangun-bangun tersebut, yang ditempatkan di depan rumah (menyerupai posisi gapura dijalan masuk di depan rumah)pihak atau keluarga yang berduka, dan sebagai pengganti sehelai kain putih polos dalam acara kedukaan tersebut maka pada pesta pernikahan/perkawinan dan lainnya digunakan{TOIBOI atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan (seperti MOTUBO atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan )

untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam yang disebutkan dalam tulisan ini} beberapa jenis bunga dengan tangkainya seperti yang antara lainnya : Bunga Dayou, Bunga kirisan, Bunga Dalia, Daun Toba’ang yang terbaik beserta tangkainnya, dan buah kolapipi yaitu kuncup bakal biji kelapa yang masih mudah dan membentuk seperti tangkai padi, lalu disatukan dengan diikat sebagai pengganti sehelai kain putih polos tersebut, dan dari semua bunga dan daun-daunan tersebut yang terpokok adalah “BUNGA DAYOW dan BUNGA TOBA’ANG” karena di zaman Punu’ Molantud Mokodoludut juga secara turun-temurun sudah lama digunakan untuk menghormati keturunan-keturunanya yang berhak mewarisi kedudukan raja yang dikenal dengan sebutan mododatu yaitu fam-fam yang telah diuraikan di awal tulisan ini dan berhak menggunakan nama “ABO’“ di awal nama untuk keturunan-keturunan dari pihak pria dan “BUA’“ di awal nama untuk keturunan-keturunannya yang wanita, dan untuk Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada

Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu(fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini) diiringi pula dengan memainkan alat musik seperti “KULINTANG” yang terbuat dari logam atau kuningan yang utama terbuat dari kuningan yang terdiri dari 5 sampai 7 buah mungmung atau gong yang berukuran kecil berderet dilengkapi dengan gendang 1 atau 2 buah, golantung atau gong yang berukuran besar 1 buah dan dimainkan oleh lebih dari 1, 2 orang atau lebih.

Adapun kegiatan dan tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak dari zaman Raja-Raja Loloda Mokoagow = Para Datu Binangkang atau Para Punu’ Molantud Mokodoludut(Raja Tertinggi Mokodoludut) sebelum abad XIII Masehi. Tetapi sayangnya penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu kerajaan Bolaang Mongondow dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seperti marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini lewat penjelasan sejarah secara sepihak oleh W. Dunnebier dan keturunan Tadohe’ yaitu dalam pengkultusan Tadoheisme lewat mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow tanpa meninjau sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang holistik dan konfrehensif oleh keturunan Tadohe’ dalam faham Tadoheisme atau Tadohenisasi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow seolah-olah tidak boleh menggunakan atribut-atribut tersebut yang seharusnya gelar tersebut yaitu gelar Abo’ dan gelar Bua’ sesuai dengan “Aturan tua atau hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow sejak dari zaman purba sampai raja terakhir tahun 1950 yang berhak disandang dan digunakan oleh pihak-pihak seperti fam-fam atau marga-marga yang sudah ditampilkan dan disebutkan di permulaan tulisan ini"

Adapun Mobakid yang dilaksanakan di eranya Tadohe sama seperti yang diadakan di era raj-raja Bolaang Mongondow jauh atau sebelum periode Tadohe’(1661-1670 M). Kekacauan penggunaan gelar “ABO’“ dan gelar “BUA’“ dan atribut-atribut golongan raja ini diakibatkan karena secara “PATRILINEAL(Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah)” dalam pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow dari zaman purba sampai dengan raja terakhir kerajaan Bolaang Mongondow yaitu Raja H. J. C. Manoppo

berdasarkan “HUKUM ADAT ATAUPUN HUKUM TUA” yang selama ini dalam penulisan sejarah dan hikayat raja-raja Bolaang Mongondow telah sengaja dihapuskan, dihilangkan, diplintir, dipotong-potong, dibengkokan, dikaburkan atau juga dikusutkan = kusut = kekacauan = Konfusi, dibelokkan, tidak dijelaskan secara konfrehensif dan holistik, diplesetkan, lalu didaulat tidak ada, dan lain sebagainya secara sengaja oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian pemuka atau tokoh adat yang mempunyai keturunan dari luar daerah

Bolaang Mongondow pada pada saat itu yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang mana hanya membahas mengenai status golongan Kohongian, Simpal, Tahoq, Yobu’at, Nonow, dan khusus golongan Raja atau Mododatu tetap sesuai dengan Aturan Tua yaitu Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”(adapun Amandemen tersebut selanjutnya tidak berlaku lagi karena bertentengan dengan hukum murni atau hukum tua kerajaan Bolaang Mongondow yaitu “dalam pasal 15 dimana dikatakan bahwa semua anak-anak ikut golongan pihak bapak”) kembali diluruskan di era pemerintahan Raja D. C. Manoppo dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 81 baris ke-25 kata pertama sampai baris ke-30 kata ke-2 berdasarkan hukum tua atau aturan tua yang mana Amandemen “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” oleh kelompok yang mengincar jabatan yang kebetulan dekat dengan sumbuh kekuasaan. Hal hal ini dibenarkan oleh W. Dunnebier sendiri(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72) yang mengatakan bahwa Amandemen yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang berbunyi :

“…..Pasal-pasal disebut(Tambahan penulis berdasarkan data yang ada = lebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”), yang saling berlawanan, pendapat penulis(W. Dunnebier) juga dapat dianggap sebagai suatu usaha percobaan untuk mengadakan perobahan terhadap aturan-lembaga tertua, justru beberapa pihak mempunyai kepentingan yang sangat besar artinya”.

Seperti dalam penulisan sejarah ada sekelompok orang dan keturunan tertentu merasa dirugikan dengan tulisan sejarah sehingga mereka berusaha melakukan pemolesan untuk menghindari catatan sejarah yang merugikan leluhur mereka atau membongkar keturunan asli mereka seperti penulisan penghapusan sejarah tentang asal keturunan dari suku luar atau melakukan pemolesan sejarah dengan memutar balikan fakta sejarah masa lalu guna mengikuti keinginan mereka yaitu suatu penulisan yang tidak objektif misalnya yang paling nyata adalah penulisan prosesi pengangkatan Raja Laurens Cornelis Manoppo yang sengaja dikaburkan oleh kelompok tertentu dapat kita lihat bersama dimana dalam suksesi pemelihan raja di era pasca meninggalnya Raja D. C. Manoppo tahun 1927 yang dimenangkan oleh Raja Laurens Cornelis Manoppo{Putra langsung dari Raja D. C. Manoppo dengan Boki’ Hagi Mokoagow putrinya Presiden Raja Luri Mokoagow(Cucu langsung dari Raja Cornelis Manoppo) yang memenuhi secara “Fit And Proper Test”} yang mana salah satu pesaing utamanya yaitu Jogugu Abram Patra Mokoginta atau dikenal dengan Jogugu A. P. Mokoginta adalah mewarisi keturunan Raja Eyato Puluhulawa(dari Gorontalo/ bukan Golongan Mododatu Kerajaan Bolaang Mongondow) atau ayah kandungnya Dodaton{kakeknya Mokoginta(asal usul marga Mokoginta) atau juga asal usulnya Jogugu A. P. Mokoginta secara patrilineal}yang dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I berusaha dikaburkan, diplesetkan lalu dikultuskan oleh penterjemah bukunya W. Dunnebier tahun 1984 tersebut untuk mengaburkan sejarah raja terpilih pada waktu itu tetapi walaupun begitu masih bisa kita bedakan lewat berbagai daftar-daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow secara patrilineal(berdasarkan beberapa penuturan dari keturunan Mokoginta tentang asal usul marga Mokoginta adalah berasal dari Raja Eyato Puluhulawa = dari Gorontalo = atau ayahnya Dodaton/ kakeknya Mokoginta = asal usul marga Mokoginta yang dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat keturunan Mokoginta kepada penulis).

Dengan begitu dapat menjelaskan kepada kita yang mana Mododatu dan yang mana bukan Mododatu dan dicocokkan dengan data-data sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang ada dan hal ini antara lainnya dapat kita lihat dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I halaman 106 pada baris ke-20(dua puluh) kata ke-7(tujuh) sampai dengan baris ke-24(dua puluh empat) kata pertama yang berbunyi :

“……,akan tetapi mendapat tantangan berat dari petugas-petugas Belanda dan beberapa pengemuka-adat setempat yang diam-diam dipelopori oleh W. Dunnebier(Tambahan penulis = W. Dunnebier berperan sebagai cendikiawan atau konsultan yang dipercaya oleh kerajaan Bolaang Mongondow), dengan alasan tidak berhak menjadi Raja karena keturunan,………..”(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 Hukum Adat atau Aturan Tua tentang pengangkatan Raja-Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berlaku sejak Punu’ Molantud Mokodoludut yang berbunyi : “Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”). Dan hasil plesetannya dalam W. Dunnebier tahun 1984 baris ke-29(dua puluh sembilan) kata ke-5(kelima) sampai dengan baris ke-30(tiga puluh) kata ke-7(tujuh) yang berbunyi :

“……(lihat tanda nomor @+33) diatas ini. Jelas, bahwa alasan tersebut dibuat-buat saja;……….”. juga contoh lainnya antaranya yaitu sejarah tentang asal-usul bangsawan-bangsawan Bolaang Mongondow hanya berasal dari Tadohe’(Sadohe’) dan Abo’ Loloda Mokoagow yaitu ayah kandung dari Raja Jacobus Manoppo yang juga bergelar Raja Loloda Mokoagow dan lain sebagainya oleh keturunan Tadohe’ cs dalam Tadoheisme untuk dikultuskan sedangkan dalam sejarah jauh sebelum era Tadohe’ di Bolaang Mongondow telah ada keturunan bangsawan atau para raja Bolaang Mongondow antara lainnya fam-fam atau marga-marga seperti :

“GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Dengan jelas upaya untuk mengicar status dan jabatan dalam kerajaan Bolaang Mongondow oleh pihak-pihak yang tidak berhak atau bukan golongan mododatu berusaha mengadakan pemolesan sejarah seperti penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut seperti Kulintang, Motubo atau dengan penamaan lain dan Toipoi atau dengan penamaan lain, gelar Abo’ dan Bua’, dan lain sebagainya dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seolah-oleh oleh marga tertentu mengatakan tidak berhak yang apabila kita adakan ferifikasi dan kajian sejarah ternyata yang berhak adalah fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan sebagai marga Mododatu tersebut yaitu marga-marga : “GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Sesuai beberapa pengakuan W. Dunnebier sendiri yang mana kesalahan-kesalahan penulisannya terhadap sejarah Bolaang Mongondow disisipkannya di hampir seluruh halaman bukunya yang berjudul “Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow tahun 1984” yang secara politik dikondisikan atau diadakan berdasarkan untuk kepentingan pengkultusan kepada para raja Bolaang Mongondow keturunan-keturunan Tadohe’ dalam mempertahankan kedudukan raja agar tidak pindah kepada pihak fam-fam (marga-marga) yang telah disebutkan di awal tulisan ini dengan harapan fam-fam tersebut tidak mengetahui, mengenal dan memahami kebesaran leluhurnya dengan pemahaman yang sistematis atau intelektual dan jiwa sebagai keturunan raja-raja Bolaang Mongondow atau sebagai keturnunan Para Datu Binangkang secara patrilineal.

Dengan upaya tersebut maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang, digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW” sebagai bentuk mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow yang terselubung selama ini yang penting untuk diangkat kembali agar sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang benar dan berimbang dapat dinikmati bersama terutama oleh para generasi yang akan datang”.

Adapun pemakaian atribut-atribut raja-raja dan kerajaan Bolaang Mongondow selama ini malahan sebagian besar bukan lagi para golongan asli Mododatu yang menggunakannya tetapi pihak yang bukan golongan Mododatu Bolaang Mongondow dengan ungkapan in Mogoguyang yang berbunyi :

“MOANTO’ MASA NA’AYA DOKABIDON DUMAYA-DAYAN TUMON MODODATU PADAHAL DE’ EMANBI’ MODODATU ANDEKA ADAT TA DIA’ KO ADAT-ADAT MINTAN” yang artinya sesuai hikayat maupun penuturan para tua-tua/ para orang tua, sekarang adat penghormatan tersebut kebanyakan sudah digunakan oleh pihak yang tidak berhak menggunakannya(bukan golongan mododatu kerajaan Bolaang Mongondow) dan hanya ikut-ikutan saja atau aturan yang tidak berdasarkan pada aturan atau sumber yang asli/aturan tua(Lihat W. Dunnebier 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3). Adapun hal-hal tersebut dapat dibuktikan secara bukti-bukti data-data sejarah baik dalam bentuk data-data, literatur-literatur sejarah daftar silsilah keturunan raja-raja Bolaang Mongondow maupun hikayat-hikayat yang menggunakan sistem pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow yang berlaku sejak zaman purba sampai raja terakhir Raja H. J. C. Manoppo yang mengambil sistem Patrilineal dalam setiap suksesi dan prosesi pengangkatan raja Bolaang Mongondow yang berbunyi :

“Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21, baris ke-15 kata pertama sampai dengan baris ke-16 kata ke-3)”, dan lain-lain. Yang apabila kita kaji maka dapat diperhadapkan kepada temuan-temuan yang mana salah satunya adalah bagaimana agar para fam-fam seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini oleh faham Tadoheisme supaya tidak mengetahui asal-muasalnya atau leluhurnya yang notabennya adalah juga keturunan Para Raja Loloda Mokoagow atau Para Datu Binangkang berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang ada yang oleh W. Dunnebier dan para penguasa beserta sebagian tokoh adat pada saat itu yaitu keturunannya Tadohe’(Sadohe’) secara politik dan lain sebagainya dianggap dapat mengancam eksistensi dan kedudukan para raja leluhur dan keturunan Raja Tadohe’.

Hal ini mungkin didasari oleh kepentingan politik, ekonomi, tidak mau disaingi karena takut bersaing, jabatan, kedudukan, penghidupan(keamanan mata pencaharian), eksistensi diri agar bagaimana supaya tidak ada saingan, politik, ekonomi, penghidupan, persaingan kerja, dan lain sebagainya oleh para penguasa maupun tokoh adat pada waktu itu supaya tidak ada saingan atau menghindari persaingan politik untuk kepentingan sendiri secara pribadi atau kelompok agar marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini tidak mengetahui asal-usulnya secara sistematis atau intelektual sebagai keturunan Para Raja Bolaang Mongondow atau Para Raja Loloda Mokoagow/Datu Binangkang yang sering dikenal dengan sebutan “KI MOKOAGOW” atau “ABO’ MOKOAGOW” yaitu mewarisi darah keturunan Para Raja Bolaang Mongondow yang dapat mengancam eksistensi keturunan dan leluhurnya Tadohe’ di berbagai segi dan bidang kehidupan dan penghidupan antara lainnya dengan cara menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow lalu digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut/ ketakutan untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.

Timbul pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan yang terjadi terhadap penulisan-penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow selama ini?, dan untuk kepentingan siapa upaya-upaya misinformation tersebut diadakan?. Inilah salah satu sisi dari sekian segi dan dimensi perihal sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow yang banyak dikaburkan oleh W. Dunnebier beserta beberapa para penguasa dan tokoh adat pada saat itu yang sengaja dikaburkan untuk kepentingan Keturunan Tadohe’ oleh Belanda dan para raja keturunan atau pihak leluhur dan keturunannya Tadohe’ pada saat itu.

Yang mana tulisan pengkultusan tersebut mulai marak sejak W. Dunnebier menulis sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow dalam bukunya yang berjudul “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow” yang diplesetkan juga oleh para penulis kontemporer sejarah raja-raja Bolaang Mongondow pengikut ala bantahan W. Dunnebier selama ini. Bersambung ke tulisan yang berjudul “PERIHAL SILSILA TAHUN 1836(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya.

ARTI RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG (2)

SAMBUNGAN ARTI RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG
(RALAT I)

Dari contoh yang sederhana tersebut, kita juga dapat melihat kasus penamaan kepada ayahnya Raja Jacobus Manoppo yang notabennya adalah juga putranya Tadohe’, di mana apakah dapat diperkenankan penulisan berulang, mengingat nama Loloda Mokoagow dalam kasus ini mempunyai dua konteks yang berbeda, yaitu pertama nama sebagai nama bawaan sejak kecil, dan ke-dua nama sebagai gelar yang diberikan secara adat pada waktu ia menjabat sebagai raja Bolaang Mongondow pada tahun 1670-1695 M, yang notabennya juga pernah diberikan kepada seluruh Punu-Punu’(Raja-Raja) Bolaang Mongondow lainnya sejak zaman purbakala termasuk yang pernah disandang oleh raja Tadohe’, raja Jacobus Manoppo dan lain sebagainya.

Jadi menurut penulis tata cara dan kaidah-kaidah penulisan untuk menghindari panulisan kata yang sama secara berulang tetap ada, tetapi kata yang sama dalam konteks yang berbeda jelas ada penjelasan khusus terhadapnya, apakah itu ditulis ulang atau bagaimana, tujuannya guna menghindari kekeliruan dalam penafsiran maupun pemahaman apa terlebih persoalan ini adalah menyangkut nama orang maupun nama jabatan yang sama yang dipakai oleh banyak orang secara turun temurun, seperti kasus nama atau penamaan gelar raja pada putranya Tadohe’ atau juga ayahnya Jacobus Manoppo, yang bernama Tuang Loloda Mokoagow. Jadi intinya adalah penamaan ganda pada nama Tule’ Loloda Mokoagow yang berbeda dalam konteks nama kecil dan konteks sebagai penamaan atau pewarta kepada nama gelar para raja yang pernah disandang oleh raja-raja Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah Tule’ Tadohe’, di mana Tadohe’ sendiri juga pernah menyandang gelar tersebut pada waktu menjadi raja dan disebut juga dengan nama “Punu’(Raja) Loloda Mokoagow” periode tahun (1661-1670 M). Adapun tahun 1600 M Tadohe’ memerintah itu hanya perkiraan W. Dunnebier saja di mana ia sendiri mengakui tidak dapat memastikan perihal tahun tersebut.

Selama ini dalam pembahasan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, salah satunya juga lebih berorientasi kepada seni dan budaya, dan belum pernah disoroti dari sisi-sisi ilmu politik dan pemerintahan, sedangkan kerajaan adalah pemerintahan yang pekerjaannya yaitu melakukan proses politik. Para budayawan atau seniman, mereka merasa tabu untuk merobah atau mengubah tulisan sejarah kerajan Bolaang Mongondow untuk dikaji dari berbagai sisi dan metode kajian politik maupun kajian pemerintahan. Hal ini bisa kita maklumi dari keterbatasan-keterbatasan para seniman maupun budayawan dalam melihat sisi-sisi proses perkembangan perpolitikan kerajaan Bolaang Mongondow. Menurut kaca mata seniman dan budayawan, mereka tidak mampu membaca unsur-unsur perpolitikan dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow padahal kehidupan kerajaan adalah proses perubahan politik yang selalu disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow DIGIRING KE KEBUDAYAAN(BUDAYA) DAN KESENIAN(SENI) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.

Dalam penulisan sejarah Bolaang Mongondow oleh W. Dunnebier dan diikuti oleh para penulis kontemporer pengikut ala bantahan W. Dunnebier dalam penulisannya terhadap sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kental dengan pemelintiran sejarah sebab banyak raja-raja Bolaang Mongondow lainnya tidak ditulis bahkan dihilang-hilangkan maupun diplesetkan lalu di daulat tidak ada, sebagai bukti dapat kita lihat dalam TULISAN W. DUNNEBIER tahun 1984 halaman 12, 13 yang berbunyi :

“Tentang para pengganti tertua dari Mokodoludut (atau “Raja Loloda Mokoagow” yang juga terkenal dengan nama “Datu Binangkang” berdasarkan sumber data dan literatur yang ada=Tambahan penulis), sejauh dapat diketahui oleh atau penulis(W. Dunnebier) riwayatnya turun-temurun sudah sangat kurang. Untuk itu hanya yang berikut yang dapat di paparkan : …..”, dan pada halaman-halaman yang lainnya.

Hal ini juga sesuai dengan pandapat ahli sejarah Inggris yang bernama Arnold J. Toynbee yang intinya kurang lebih bahwa dalam penulisan sejarah harus ada kesinambungan sejarah secara utuh dan menyeluruh dan tidak boleh dipenggal-penggal, dipotong-potong, dikusutkan/dikacaukan, dialihkan, dihilang-hilangkan/dihilangkan/tidak ditulis, diplestkan terus langsung didaulat tidak ada dimana hal ini merupakan suatu bentuk pemerkosaan terhadap peradaban tertentu untuk dimanipulasi lalu hasil manipulasi tersebut digolongkan atau dialihkan ke dalam peradaban yang lain dalam penulisan sejarah, seperti yang dilakukan oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu antara lainnya W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72 yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” terhadap penulisan sejarah raja-raja kerajaan Bolaang Mongondow termasuk dalam buku karya-karyanya dan para penulis kontemporer lokal lainnya.

Bersambung ke tulisan yang berjudul : “RAJA-RAJA BOLAANG MONGONDOW TERMASUK RAJA MANGGOPAKILAT JUGA DISEBUT DATU BINANGKANG ATAU RAJA LOLODA MOKOAGOW

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya.

ARTI RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG (1)

LOLODA’ : berasal dari gabungan awalan “Lo” dan kata “Londak”. Londak atau kehendak, artinya keinginan yang didasarkan atas kehendak dan keinginan dari orang itu sendiri. Lo yaitu awalan dalam kalimat yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berkesinambungan atau terus menerus untuk menggapai sesuatu keinginan, yang kalau kita gabungkan awalan Lo dengan kata Londak tersebut, maka akan menjadi kata “Loloda’ ”, yaitu kehendak atau paksaan, nafsu, sesuai keinginan dari orang yang melaksanakan, memerintahkan kepada yang diperintahkan ataupun dilakukan sendiri untuk segera dilakukan sesegera mungkin atau secepat mungkin.

MOKOAGOW : berasal dari gabungan kata “Moko” yaitu dapat berbuat atau mewujudkannya, dan kata “Agow” yaitu kepiawaian dalam tipu, tipu muslihat, tipu daya, menguasai, menaklukan dan lain sebagainya. Jadi kata Mokoagow artinya, yaitu kemampuan seseorang untuk dapat memiliki, menguasai ataupun menaklukan sesuatu karena kepintaran, kelihaian, kejeniusan, kepiawaian, kepandaian, keperkasaan, kekuatan, kemampuan, kekuasaan dan lain sebagainya.
BINANGKANG : berasal dari gabungan awalan “bi” dan kata “bangkang”. Bi yaitu awalan yang merujuk kepada sesuatu yang diperbuat atau dilakukan, dan kata “bangkang” artinya, yaitu tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya.

Sehingga apabila digabungkan menjadi kata “Mokoagow atau Binangkang” mempunyai artian sebagai wujud ketaklukan orang lain kepada seseorang yang dikenal karena ke Mokoagowannya atau kemampuan dan kepiawaiannya dalam menaklukan orang lain dan segala sesuatunya. Adapun seluruh raja-raja Bolaang Mongondow dan keturunannya selama ini khususnya dalam penggunaan nama pribadi biasanya juga digunakan nama panggilan “ABO’ untuk laki-laki dan BUA’ untuk wanita”di awal atau di depan nama kecil ataupun nama besar.

Adapun perbedaan dan persamaan kata “BINANGKANG” dengan kata “BINANGKANGAN” adalah dua kata yang sangat jauh berbeda artinya yang mana Binangkang terdiri dari awalan “bi” yaitu telah melakukan atau telah diperbuat dan kata “bangkang” yang artinya melakukan tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya, sehingga Binangkang artinya yaitu telah melakukan tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya. Sedangkang kata Binangkangan terdiri dari awalan “bi”, ”Bangkang”, dan akhiran “an”, yang mana akhiran “an” dalam kata binangkangan jelas sudah merubah arti yaitu merujuk kepada orang yang dikibuli bukan lagi pihak yang melakukan perbuatan menguasai, menaklukan, dan lain sebagainya sebagai wujud ketaklukan orang lain kepada seseorang yang dikenal karena sifat, tabiat dan kelakuan Binangkangnya(bukan Binangkangan) sehingga perbedaan antara kedua kata tersebut adalah di mana kata Binangkang merujuk kepada pribadi yang melakukan ekspansi sedangkan Binangkangan merujuk kepada pihak yang diekspansi, dikuasai atau dikibuli menimbulkan kerancuan akan tetapi bagi yang faham dan menguasai bahasa Mongondow secara utuh maka kerancuan tersebut akan mudah dijelaskan,

dan “Dalam sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow tidak ada gelar Datu Binangkangan tetapi yang ada adalah gelar Datu Binangkang”. Nah para penulis kontemporer karena tidak bisa atau tidak menguasai bahasa Mongondow yang mana tidak bisa menguraikan sesuai tata bahasa Mongondow berdasarkan keterbatasannya sehingga salah eja dan salah dalam mengartikan arti dari kata Binangkang dan kata Binangkangan secara holistic dan konfrehensif dalam segala pemahamannya. Dalam gelar Para Raja Bolaang Mongondow bukan Datu Binangkangan tetapi disebut “Datu Binangkang”. Jadi akhiran “an” dikeluarkan atau tidak dipakai.

Kejadian terhadap ayahnya Loloda Mokoagow ayahnya Raja Jacobus Manoppo atau putranya Raja Tadohe’ bukan karena ia dikibuli tetapi ayahnya Raja Jacobus Manoppo tersebut adalah mempunyai garis politik yaitu disekutui oleh Spanyol sedangkan Raja Jacobus Manoppo adalah bergaris politik yang disekutui oleh Belanda(pengganti Portugis) yang bergabung dalam garis politiknya Raja Paputungan sehingga kita bisa tahu bahwa ketidak cocokan tersebut karena konstalasi politik antara kedua pihak baik di kedua kerajaan Eropa tersebut maupun kedua dinasti Bolaang Mongondow yaitu dinasti keturunan-keturunan Raja Yayubangkai maupun dinasti keturunan-keturunan Raja Pondadat dan anaknya yang bernama Raja Ponamon, yang kedua dinasti Bolaang Mongondow tersebut notabennya adalah sama-sama keturunan langsung dari Punu’ Molantud Mokodoludut.

Jadi unsur politik dan perpolitikan yang terjadi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow sangat dipengaruhi oleh persaingan kedua dinasti keturunan Punu’ Molantud Mokodoludut yang mana Spanyol (pernah menjajah Portugis dan Belanda) berpihak kepada dinasti para keturunanatau Raja Yayubangkai, dan Belanda beserta Portugis(yang pernah dijajah Spanyol) berpihak kepada dinasti para keturunan Raja Pondadat dan anaknya Raja Ponamon yang mana antara Spanyol dan Belanda-Portugis seperti perpanjangan permusuhan ketiga kerajaan tersebut yang mempunyai permasalahan dendam lama di Eropa juga turut bergabung, berpihak, berkonstalasi dan memboncengi konstalasi persaingan perpolitikan antara keturunan-keturunan dari kedua putranya Punu’ Molantud Mokodoludut itu sendiri yaitu antara dinasti keturunan-keturunannya Raja Pondadat vs dinasti keturunan-keturunannya Raja Yayubangkai dalam memperebutkan tahta “Punu’ Molantud” kerajaan Bolaang Mongondow secara turun temurun.

Adapun sebagai penghargaan kepada kerajaan-kerajaan eropa tersebut maka para dinasti keturunan Punu’ Molantud tersebut memberikan tanah konsesi atau tanah/wilayah ijin pakai dalam jangka waktu tertentu yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Sebagai contoh Punu’ Molantud Paputungan atau Raja Loloda Mokoagow pernah memberikan tanah konsesi kepada Belanda sekitar tahun 1653 dan sebagai ketaatan Belanda kepada Raja Paputungan Belanda sangat menjunjung tinggi dan mengormati keturunan-keturunan Raja Paputungan termasuk cucunya Raja Paputungan yang bernama Raja Marcus Manoppo yang dapat kita lihat dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 52 MARCUS MANOPPO baris ke-17(tujuh belas) kata ke-6(enam) sampai baris ke-22(dua puluh dua) yang berbunyi :

“Dalam memori penyerahan tgl. 20 Agustus 1778 Gubernur Valckenaar lukiskan, “Marcus Manoppo seorang yang cakap mampu dan disegani, berasal dari keluarga terhormat”. (G. M., hal.130 dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 52). Dan dapat kita ketahui bersama bahwa dalam pengangkatan raja Bolaang Mongondow di periode raja-raja Manoppo Pemerintah Belanda memprioritaskan Raja-Raja Manoppo dari keturunan Paputungan, sebagai contoh yaitu Raja Eugenius(Egenus) Manoppo ibunya yang bernama Bua’ Pogu’ Paputungan adalah putri langsung dari Raja(Punu’) Molantud Paputungan dengan Bua’ Buako’ Manoppo(kakak kandung dari Raja Tadohe’), dan Raja Marcus Manoppo ayahnya bernama Punu’ Molantud Damopolli(Inta Kinalang) adalah putra langsung dari Punu’ Molantud Paputungan dengan Bua’ Buako’ Manoppo(kakak kandung dari Raja Tadohe’).

Jadi kita dapat mengetahui bahwa seluruh raja-raja Bolaang Mongondow yang dapat diketahui maupun sudah tidak dapat diketahui lagi, juga menyandang gelar yang sama berdasarkan data yang ada, yaitu raja-raja Bolaang Mongondow yang dikenal dengan nama “RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW” atau “PARA DATU BINANGKANG”, dan penamaan-penamaan lain dari fam-fam tersebut di Bolaang Mongondow maupun daerah lain, di mana yang lainnya sudah beralih fam, dengan menggunakan nama nenek, atau nama kakek, sebagai penamaan pada fam atau marga oleh keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang telah diuraikan sebelumnya sebagai “keturunan raja-raja atau kaum mododatu(golongan raja Mongondow)”.

Adapun bukti terhadap penamaan bahwa Raja Loloda Mokoagow itu bukan cuma ayahnya Raja Jacobus Manoppo dan Raja Makalunsenge yaitu dapat kita lihat dalam buku “Tidjschr. Ind. T. L. en Vl., deel XXXV pada halaman 32(yang juga berisikan antara lain pasal 2 berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”)”, mengatakan “Raja-Raja Loloda Mokoagow” atau “Radja-Radja Binangkong” yang mana bukan hanya menyebutkan “Raja” saja tetapi “Raja-Raja” yang menerangkan kata “Raja” secara jamak atau lebih dari satu orang yang artinya adalah banyak.

RAJA LOLODA MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG : Berasal dari gabungan kata “Punu’, Tule’, Datu, atau raja itu sendiri”; “Loloda”; “Mokoagow”; , dan “Binangkang”. Dengan mengacu kepada definisi dan artian, uraian kata, dan pengistilahan yang sudah berlaku sejak zaman purbakala sebagaimana tersebut di atas, dari berdasarkan sumber-sumber data dan literatur yang ada, maka sebutan ini mempunyai arti, yaitu Raja yang disegani karena kemampuan, kepiawaian, kekuatan dan kehendaknya dalam memerintah, menguasai dan menaklukkan daerah-daerah lainnya di bawah kekuasaan besarnya atau juga disebut “Sang Penakluk Besar Yang Disegani atau Datu Binangkang”.

Dengan berdasarkan penjelasan dan uraian-uraian tersebut di atas, disamping kita mendapatkan dan menemukan kejanggalan-kejanggalan atas penamaan Loloda Mokoagow itu sendiri, dalam upaya pengkultusan W.Dunnebier kepada putranya Tadohe’ atau juga ayah dari Raja Jacobus Manoppo dari maksud “Upaya keturunan Tadohe’ dalam Pentadohe’an raja-raja Bolaang Mongondow yang bukan Tadohe’ yang didaulat sebagai Tadohe’dalam sejarah yang diangkat oleh Dunnebier“, juga telah menjelaskan kepada kita akan kebohongan-kebohongan sejara yang berdampak secara sistemik yang dalam pendekatan ilmu sejarah disebut sebagai bentuk “mis information sejarah atau manipulasi data-data sejarah” guna untuk kepentingan penguasa-penguasa dan sebagian tokoh adat saat itu yang ditulis dalam buku karyanya yang berjudul “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow” Dalam penulisan sejarah Bolaang Mongondow oleh W. Dunnebier tersebut dan diikuti oleh para penulis kontemporer pengikut ala bantahan W. Dunnebier dalam penulisannya terhadap sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kental dengan
pemelintiran sejarah sebab banyak raja-raja Bolaang Mongondow lainnya tidak ditulis bahkan dihilang-hilangkan maupun diplesetkan lalu di daulat tidak ada.

Sebagai bukti dapat kita lihat dalam TULISAN W. DUNNEBIER tahun 1984 halaman 12, 13 yang berbunyi : “Tentang para pengganti tertua dari Mokodoludut (atau “Raja Loloda Mokoagow” yang juga terkenal dengan nama “Datu Binangkang” berdasarkan sumber data dan literatur yang ada=Tambahan penulis), sejauh dapat diketahui oleh penulis(W. Dunnebier) riwayatnya turun-temurun sudah sangat kurang. Untuk itu hanya yang berikut yang dapat di paparkan : …”, dan pada halaman-halaman yang lainnya. Hal ini juga sesuai dengan pandangan ahli sejarah Inggris Arnold J. Toynbee yang intinya kurang lebih bahwa dalam penulisan sejarah harus ada kesinambungan sejarah secara utuh dan menyeluruh dan tidak boleh dipenggal-penggal, dipotong-potong, dikusutkan/dikacaukan, dialihkan, dihilang-hilangkan/dihilangkan/tidak ditulis, diplestkan, dan lain sebagainya terus langsung didaulat tidak ada dimana hal ini merupakan suatu bentuk pemerkosaan terhadap peradaban tertentu untuk dimanipilasi lalu hasil manipulasi tersebut digolongkan atau dialihkan ke dalam peradaban yang lain dalam penulisan sejarah atau pembohohan sejarah, seperti yang dilakukan oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu terhadap penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang antara lainnya dengan menghilangkan dan tidak menulis sertakan fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan di dalam tulisan ini berdasarkan data-data yang ada termasuk bukunya yang berjudul “Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow yang artinya Mengenal Sejarah Raja-Raja Bolaang Mongondow”.

Sebagai bukti yang ada yaitu W. Dunnebier sendiri tidak bisa menerangkan yang mana Loloda Mokoagow itu, karena ternyata Loloda Mokoagow itu banyak, sehingga ia sendiri kebingungan dan akhirnya menyatakan tidak bisa menerangkan perihal tahun penamaan, ditujukan kepada siapa-siapa nama tersebut, dan siapa raja ini sebenarnya Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 30 baris ke-31 kata pertama sampai baris ke-32 kata ke-2 yang berbunyi :

“Dalam tahun berapakah Loloda’ Mokoagow Raja, penulias(W. Dunnebier) tidak dapat mengatakannya”. Kekeliruan W. Dunnebier tersebut dapat kita maklumi karena iapun sendiri hanya menyandarkan data-data maupun temuan lapangan yang hanya berdasarkan pada paparan dan penuturan-penuturan secara sepihak dari keturunan-keturunannya Tadohe’ yang notabennya juga adalah leluhur dari penulis sendiri yang diwarisi oleh penulis melalui jalur keturunan dari raja-raja Manoppo seperti : Jacobus Manoppo(1691-1730 M); Salomon Manoppo(1735-1748 M, dan 1756-1764 M); Manuel Manoppo(1779-1823 M); Egenus Manoppo(1764-1770 M); Markus Manoppo(1770-1779 M); Cornelis Manoppo(1823-1829 M);, dan Fransiscus Manoppo(1731-1735 M).

Juga dapat kita lihat pada daftar isi penulisan bukunya yaitu “Over De Vorsten Van Bolaang Monogndow” , ternyata literatur atau daftar pustaka dalam buku tersebut, tidak menunjukan dan mewakili sedikitpun sebagai bentuk keterwakilan fam-fam orang Bolaang Mongondow pada umumnya, di mana sesuai data yang ada adalah seluruhnya keturunan para raja Bolaang Mongondow selain dari pada keturunannya Raja Jacobus Manoppo dan dalam bilbiografi(daftar pustaka) tersebut Cuma melampirkan catatan dari pihak manoppo(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 86 sampai halaman 87 yang mana pada alaman 87 tersebut pada baris ke-3(tiga) kata pertama sampai dengan baris ke-6(enam) kata ke-4(empat) yang berbunyi :

“Salinan dari karya Raja Datoe Cornelis Manoppo yang hanya ditulis dengan tangan, bertanggal 31 Agustus 1909 dan berjudul : Hikayat kerajaan Bolaang Mongondow moelai dari zaman poerbakala hingga pada masa kini”. Sehingga menurut pandangan penulis dalam penulisan buku tersebut berdasarkan kepada bukti-bukti yang ada, ternyata lebih cocok juga diberi judul “Tadoheisme” atau juga “Pentadohean Raja-Raja Bolaang Mongondow yang Bukan Tadohe” sebagai upaya pengkultusan kepada Tadohe’ cs”, yang mulai marak nanti sejak buku tersebut dirilis termasuk pada tahun-tahun terakhir dirilisnya kembali pasca berakhirnya kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1950.

Adapun daftar silsila tahun 1836 adalah bentuk salinan langsung dari tulisan tangan Raja Jacobus Manoppo yang hampir sebagian sudah tidak jelas terbaca lagi seluruhnya dan dapat kita Lihat dalam W Dunnebier tahun 1984 halaman 43 atau halaman Fransiskus Manoppo baris ke-9 kata ke-9 sampai baris ke-10 kata ke-9 yang berbunyi sebagai berikut :

“……, namun nama-nama mereka dengan tulisan tangan aslinnya tidak terbaca seluruhnya”., sehingga dengan jelas menerangkan kepada kita bahwa datanya sudah tidak akurat lagi mewakili seluruh fam-fam orang Mongondow yang notabennya adalah semuanya adalah keturunan dari para raja Bolaang Mongondow itu sendiri, apa terlebih dalam buku tersebut hanya menguraikan leluhur dari raja-raja Manoppo saja, itupun tidak lengkap secara utuh, karena masih ada yang dihilangkan, antara lainnya seperti : Yayubangkai; Ponamon; Mamonto; Damokiong; Paputungan; Kolopita; Ginoga; Dakotegelan; Koinsing; Simbala; Raja(Tuang) Cornelis Kobandaha(asal usul marga Kobandaha yang dikenal juga dengan nama MOKOAGOW yang dijelaskan sebagai kakak beradik atau kakak kandungnya Raja Tadohe’ dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 15); Damopolii putranya Paputungan; Damopolii putranya Yayubangkai; Busisi; Makalalo; Mokodompit; Binangkang Tumulung Mokoagow dan fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini dikenal juga dengan salah satu dari para raja Bolaang Mongondow yang menggunakan nama gelar dan julukan “Mokoagow” dan lain sebagainya, Juga raja yang diangkat resmi lewat kontrak dengan pemerintah Belanda tanggal 30 Oktober tahun 1773, yaitu Raja Markus Manoppo atau cucu langsung dari raja Paputungan dan raja Jacobus Manoppo sendiri, diangkat sebagai raja dan terkenal namanya secara adat dengan gelar Raja Loloda Mokoagow atau juga nama panggilan sehari-harinya, yaitu “Ki Mokoagow atau Ki Abo’ Loloda Mokoagow”, ternyata secara terbukti dihilangkan di dalam daftar hikayat tersebut dalam tulisannya W. Dunnebier tahun 1984 halaman 39, ini sesuai juga dengan temuan lapangan lewat penuturan keturunan-keturunan raja ini di desa Nuangan, Tabang, Pobundayan, Poyowa Besar, Matali’ desa Paku di Bolaang Itang terletak di kabupaten Bolaang Mongondow Utara seperti keturunannya Abo’ Busang Limandatu Manoppo-Mokoagow(BLM), dan lain sebagainya di tempat-tempat lainnya.

Keterjebakan terhadap penamaan nama pribadi dan gelar raja Loloda Mokoagow oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu antara lainnya adalah sebagai berikut :

Adapun keterjebakan tentang penamaam “Loloda Mokoagow” oleh Dunnebier selama ini secara turun temurun, sengaja ataupun tidak disengaja, telah menghapuskan, memelintirkan, merobah, memutarbalikan, dan membelokkan makna dari penamaan Punu’ atau Raja Loloda Mokoagow itu sendiri, yang Dunnebier kultuskan hanya kepada putranya Tadohe’ atau juga ayah kandungnya Jacobus Manoppo, yang diakibatkan oleh keterbatasan Dunnebier dalam menerapkan, menjelaskan, menguraikan, ruang lingkup wawasannya, analisa, penjelasan yang kurang atau jauh sekali dari pada cukup, termasuk penggunaan bahasa dan lain sebagainya.

Sehingga keterjebakan penamaan tersebut telah menciptakan kekeliruan pengistilahan maupun pewartaan atau sebutan kepada nama atau juga gelar punu’-punu’(raja-raja) Bolaang Mongondow secara keseluruhan yang seolah-olah hanya dikenal pada nama kecil dari putra punu’ Tadohe’ karena akibat mempunyai nama yang sama atau GANDA(double atau juga pengertian dan pemahaman yang confusion/Konfusi=yang menyebabkan kekacauan, kebingungan, kekusutan/kusut dan kerusakan dalam pengistilahan dan pemahaman dalam tata bahasa dan tata penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow secara sistematis dan intelektual) yang disandangnya bersamaan secara kebetulan, yaitu sebagai berikut :

1. Loloda Mokoagow sebagai nama bawaan sejak kecil dari ayahnya Raja Jacobus Manoppo atau juga putra Tadohe’.

2. Loloda Mokoagow yaitu sebagai gelar kepala kerajaan(raja) Bolaang Mongondow yang sudah dipakai sejak zaman purbakala, yang pernah juga dijabat oleh seluruh leluhur-leluhurnya orang Bolaang Mongondow, di mana pula nama tersebut sering dipakai oleh keturunan-keturunan para punu’ Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah periode Tule’ Tadohe’ secara turun temurun, dan dapat dilihat pada daftar silsila dari berbagai sumber literatur dan data-data yang ada dimana juga pihak leluhurnya Tadohe’ termasuk Tadohe sendiri dimasa berada dalam kekuasaan pihak leluhurnya Raja Paputungan dan Tadohe beserta leluhur dan keturunan-keturunannya pernah menjabat dan berstatus sebagai Kohongian, Simpal, Tahiq, Yobuat, Nonow, atau ata(bawahan) sesuai siklus, roda perjalanan waktu dan silih bergantinya periode-periode kepemimpinan sebagai raja tertinggi maupun raja bawahan atau taklukan di bawah kekuasaan tertinggi raja-raja Bolaang Mongondow.

Dari penjelasan tersebut telah menjelaskan kepada kita bahwa kita bisa melihat, menangkap, dan membedakan perihal nama tersebut apakah hanya untuk nama kecil ataupun nama sebutan sebagai gelar jabatan raja secara turun-temurun. Untuk menghindari penggunaan nama yang ganda atau double semacam itu dalam tata bahasa manapun, selalu dihindari pengulangan kata yang sama, tetapi pada konteks nama ayahnya raja Jacobus Manoppo jelas ada bedanya, pengulangan nama punu’ Loloda Mokoagow tersebut biasa dipahami, akan tetapi untuk memberikan kejelasan dari substansi seperti pada kasus putranya Tadohe’, maka harus ada penjelasan yang rinci, konfrehensif, holistik dan sistematis, agar tidak terjadi kejanggalan dalam pemahaman terutama oleh generasi-generasi yang akan datang , agar sejarah yang benar dan berimbang itu tetap terjaga dan terpelihara kemurniannya dari kepentingan-kepentingan selain dari pada kepentingan ilmu pengetahuan, yang mempunyai kepentingan besar dalam upaya penghilangan dan pemelintiran identitas sejarah kerajaan Bolaang Mongondow.

Keterjebakan pemakaian kata dan tata bahasa yang terjadi dalam menjelaskan secara substansial penamaan nama gelar Datu Loloda Mokoagow kepada keturunan-keturunannya sebagai nama kecil saja, berbeda sekali dengan nama sebagai gelar jabatan bagi para Tuang kerajaan Bolaang Mongondow selama ini, memang namanya sama tetapi konteks penggunaan dan pemakaiaan nama tersebut jelas dapat kita bedakan, yaitu sebagai nama kecil kepada keturunan-keturunan pada umumnya, maupun sebagai pewarta pada nama jabatan. Sebagai Ilustrasi contoh yang sederhana lainnya terhadap penamaan ganda atau double semacam itu, antara lainnya sebagai berikut :

“Ada seorang pengusaha sukses bernama Pak Haji Wiliem Intau Orkay, beliau menggunakan nama “Haji” di depan namanya, karena atas pemberian ayah kandungnya yang bernama Pak Jordan Ki Ama Orkay kepada anaknya yang bernama Pak Haji Wiliem Intau Orkay tersebut sejak lahir.
Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay ini sudah menginjak usia 51 tahun. beliau telah menunaikan ibadah wajib yaitu rukun islam yang kelima bagi umat islam atau ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay pulang kembali ke tanah air dari selama perjalanan menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah, oleh masyarakat di manapun terutama umat islam, otomatis akan memberikan sebutan dan gelar kepada orang-orang yang telah usai menjalankan ibadah tersebut dengan gelar atau nama “Haji(Hi.)” bagi pria dan “Haja(Hj.)” bagi wanita di depan nama, seperti nama gelar yang biasa digunakan sebagai nama apakah itu gelar atau status kesarjanaan maupun status sosial, pangkat, jabatan, dan lain sebagainya.

Timbul pertanyaan. Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay selesai menunaikan ibadah tersebut, untuk nama panggilan Pak Haji akan digunakan nama yang bagaimana? Apakah masyarakat akan memanggilnya Pak Haji(Hi.) Haji Wiliem Intau Orkay? Yang mana sudah terjadi pengulangan kata yang sama pada kata haji pertama yang digunakan untuk gelar telah usai menunaikan ibadah haji, dan kata haji kedua yaitu nama yang digunakannya sejak ia masih kecil yang diberikan oleh Pak Jordan Ki Ama Orkay ayah dari Pak Haji Wiliem Intau Orkay tersebut.

Apakah kata atau nama tersebut diucapkan atau ditulis dua kali?. Disinipun kita akan dipertemukan dengan kendala pemakaian nama atau sebutan dalam konteks yang berbeda. yaitu nama sebagai nama kecil yang dipakai sejak lahir dan nama panggilan atau gelar kepada seseorang karena jabatan, gelar dan semacamnya yang sama di mana keduanya disandang oleh orang yang satu, yang dalam contoh kasus perihal penamaan pada nama orang di sini kita ibaratkan yaitu Pak Haji Wiliem Intau Orkay.

Untuk orang yang tidak menggunakan nama haji sebagai nama kecil sejak lahir otomatis penambahan nama atau gelar haji apabila sudah menunaikan ibadah tersebut tidak akan menemukan masalah dalam tata bahasa terutama dalam penamaan nama pribadi dan nama gelar jabatan dan lain sebagainya, tetapi khusus pada kasus nama yang ganda dari Pak Haji Wiliem Intau Orkay bagaimana?. Apakah kebetulan bila kita bertemu atau berpapasan dengannya kita akan memanggil dan menyapanya dengan sebutan Selamat pagi Pak Haji Haji?, Bagaimana kabarnya Pak Haji Haji?, Hallo apa kabar Pak Haji Haji?, dan seterusnya. (Nama atau pribadi Pak Haji Jordan Ki Amai Orkay dan Pak Wiliem Intau Orkay dari contoh ilustrasi di atas adalah hanya fiktif belaka, dan diambil berdasarkan kenyataan atau fenomena dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekedar saja digunakan hanya sebagai contoh perihal penamaan yang ganda atau sama pada seseorang). Bersambung ke tulisan yang berjudul “SAMBUNGAN ARTI RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow)

Silsilah Raja-Raja Bolaang Mingondow (6)

RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU PARA DATU BINANGKANG DALAM PENAMAAN(RALAT I)

Berdasarkan data-data dalam suatu artikel yang di dapat di Google-Internet yang berjudul LOLODA, NGARA MA BENO sumber yang jelas dan asli sesuai dengan rujukan artikel tersebut yang dikutip oleh penulis pada beberapa bagian yang penting dimana artikel tersebut mengatakan antara lainnya :

Sedangkan keterangan tentang Loloda sangatlah sedikit yang diketahui, secara tersamar diberitakan bahwa kerajaan Loloda telah memindahkan eksistensinya ke alam gaib! yang dikemudian hari dikenal dengan nama MORO!!! Adapun wilayahnya yang luas meliputi sebagian daratan pulau Halmahera itu direbut oleh Jailolo – yang sudah menggantikan kedudukan Loloda di daratan Halmahera yang luas itu.

Dari sumber-sumber lokal didapatkan cerita tentang keberadaan Loloda, dimana disebutkan bahwa asal mula Loloda itu berasal dari suatu kerajaan tua yang pernah berkuasa di Galela. Konon, kemudian di tahun 1322, setelah gunung berapi di Galela meletus dan mengancam kehidupan disana, maka, pusat kerajaan itu dipindahkan ke Loloda. Kepindahan ini terjadi pada masa Kolano Bakun Malamo, penguasa Galela terakhir.

Keterkaitan antara Loloda dengan kekuasaan lain di Sulawesi, dapatlah dilacak dari sejarah raja-raja Bolaang Mongondow. Kajian sejarah yang ditulis oleh W. Dunnebier, menjelaskan bahwa asal-usul kerajaan Bolaang Mongondow berpangkal pada seorang tokoh legendaris yang hidup di abad ke XIV bernama Loloda Mokoagow(Punu’ Molantud Mokodoludut kakek langsung dari Raja Damopolii putranya Raja Yayubangkai dan kakek langsung dari kakeknya Raja Damopolii putranya Raja Paputungan = Tambahan penulis berdasarkan data-data yang ada) .

Di sisi lain, tentang perihal asal kata dari nama Punu’ atau Raja Loloda Mokoagow atau juga Datu Binangkang, oleh penulis-penulis selama ini belum bisa memastikan secara menyeluruh akan pemahaman maupun artian yang holistik dan konfrehensif berdasarkan nama tersebut secara harfia, yang mana kita dapat uraikan dan artikan sesuai bahasa Mongondow berdasarkan literatur dan pemahaman yang ada didalam masyarakat dan bahasa Mongondow itu sendiri, yang uraiannya yaitu antara lain sebagai berikut :

PUNU’ atau RAJA : Berasal dari bahasa purba yang terbentuk dari gabungan kata “Punuk atau Punu’ “, yang artinya pangku yang biasa digunakan untuk perihal menerangkan memeluk sesuatu benda mati ataupun benda hidup, termasuk juga perumpamaan kepada bayi atau anak kecil yang dipeluk oleh orang tuanya secara turun temurun, yang kalau dihubungkan dalam konteks kekuasaan dan pemerintahan, maka pengertiannya merujuk kepada keturunan-keturunan raja atau pihak pewaris yang berhak memangku tangkup kepemimpinan tertinggi kerajaan, dalam hal ini adalah anak cucu raja yang dikenal dengan kaum atau golongan raja/“mododatu”, dengan perlakuan yang khusus atau istimewah seperti disayang-sayangi ataupun dimuliakan secara turun-temurun yang dalam “Hikayat raja-raja Bolaang Mongondow” atau “O Uman in Mogoguyang”, maksudnya yaitu “Secara garis asal usul keturunan hampir seluruh fam-fam atau marga-marga orang Bolaang Mongondow sekarang adalah seluruhnya keturunan raja-raja Bolaang Mongondow yang juga disebut dengan penamaan Ki Mokoagow yang mana merujuk kepada lebih dari sebagian besar keturunan-keturunannya yang tidak lagi menggunakan nama atau fam-fam Mokoagow tetapi sudah menggunakan nama nenek atau kakek yang digunakan sebagai fam atau marga secara turun temurun yang sudah tersebar dan menjadi fam-fam orang Mongondow sekarang seperti fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini”.

Tetapi secara garis keturunan atau lewat daftar silsila, hikayat, sejarah dan lain sebagainya, masih dapat kita temukan. Adapun untuk mengklasifikasikan nama-nama periode keturunan dengan penamaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ompu kon kinoyotan yaitu anak langsung atau keturunan pertama.
2. Ompu kon sinompunuk artinya cucu atau keturunan kedua.
3. Ompu kon dulud yang artinya cece atau keturunan ketiga.
4. Ompu kon Singkod yang artinya cicit atau keturunan keempat dan seterusnya secara turun temurun, dan bisa kita lihat dalam bagan penulisan keturunan raja-raja Bolaang Mongondow dari berbagai sumber yang ada.

Jika kita hubungkan dengan teori pemerintahan yang termasuk didalamnya, yaitu menjelaskan kerajaan, pemerintahan, dan lain sebagainya, maka pengertian “punu’ “ tersebut merujuk kepada orang yang memangku kekuasaan secara turun temurun dalam “Teori Monarki” yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam membedakan pemerintahan atas tiga bentuk dan dikembangkan oleh para ahli-ahli berikutnya. Adapun penamaan dengan kata raja kepada raja-raja Bolaang Mongondow yang oleh orang Belanda menyebutnya juga dengan penamaan “Raja Manado”, mulai berlaku dan merupakan sebutan gelar dikalangan eropa, di mana tanpa disadari sebutan raja kepada para raja Bolaang Mongondow baru dipakai secara resmi pada pembicaraan suatu laporan tentang Manado pada tahun 1671.

Tetapi sebelum pengistilahan oleh kalangan eropa tersebut mulai terbiasa dipakai sampai sekarang sebagai pewarta atau sebutan maupun penamaan kepada gelar raja-raja Bolaang Mongondow oleh kalangan Belanda dan lain-lain, dahulunya penggunaan istilah raja tersebut sebagai kepala kerajaan, dikenal dengan penamaan “Punu’ ; Tule’; Tuang; atau Datu”yang artinya tidak lain adalah raja itu sendiri , sebagai pewarta kepada sebutan atau gelar kepala-kepala atau raja-raja Bolaang Mongondow, dan khusus gelar “Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, atau Kepala Kampung dan semacamnya”, yaitu suatu gelar yang disadur dari luar Bolaang Mongondow yang dalam beberapa sumber digunakan oleh pemimpin wilayah bawahan para raja dan para bangsawan Bolaang Mongondow.

Dalam tata bahasa Mongondow pada umumnya tidak ada huruf “L” yang berdiri sendiri dalam pengucapannya tetapi dalam pengucapan huruf “L” harus digandeng dengan huruf “R” sebagai konsonan gandeng sehingga dalam praktek pengucapannya tidak ditulis seperti tata ejaan penulisan dalam bahasa Indonesia pada huruf “L” tetapi hampir mirip seperti pada pengucapan huruf “R” dalam tata bahasa Inggris yang apabila dieja dalam tata ejaan penulisan bahasa Indonesia maka diucapkan dengan “AR” atau “ar” yang mana tepat pada ucapan huruf “R” diucapkan dengan ujung lidah diletakkan pada langitan atas dalam rongga mulut, dan lebih jelasnya lihat dalam pengucapan huruf “R” yang sudah bersenyawa atau terangkai dalam sebuah kata yang terdiri dari beberapa rangkaian huruf yang membetuk sebuah kata dalam tata bahasa Inggris.

Begitu juga dengan kata “Kolano” maka pada tata ejaan dalam bahasa Mongondow lalu disalin atau ditulis dalam tata ejaan penulisan dalam bahasa yang berbeda maka akan menjadi “Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan lain sebagainya” sehingga apabila ditafsirkan dengan pola tata ejaan penulisan yang ada sekarang, jelas secara materi huruf yang membentuk kata-kata tersebut(Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan lain sebagainya) sudah mengalami perubahan atau perbedaan sehingga dalam penafsiranpun akan berujung kepada kesimpulan bahwa kata Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano itu tidak sama, yang mana tanpa kita sadari bahwa sebenarnya arti maupun asal usul terbentuknya termasuk dalam struktur pengucapan dalam bahasa Mongondow adalah sama tetapi karena perbedaan nama-nama tempat dan nama-nama orang dalam sejarah adalah disebabkan oleh pada waktu itu lebih menggunakan penuturan atau sejarah pada umumnya hanya melalui penuturan dan penutur itu akan terpengaruh oleh orang yang menceritakan dan kondisi wilayah orang tersebut berasal menyebabkan seolah-olah berbeda makna dan artinya dilihat secara materi huruf yang terangkai dan membentuk sebuah kata Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan sebagainya. Contoh sederhana yaitu : Huruf “R” apabila diucapkan oleh orang yang tidak dapat mengucapkan huruf “R” kemudian didengar oleh orang lain lalu ditulis maka tidak lagi ditulis dengan huruf “R” dan tidak akan menghasilkan huruf “R” lagi, dan lain sebagainya.

Adapun gelar tersebut(Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano) tidak pernah terjadi dalam sejarah raja-raja kerajaan Bolaang Mongondow, untuk gelar tersebut mulai ada atau marak sejak adanya pengkultusan gelar tersebut pada tahun 2007 dalam sejarah Bolaang Mongondow yang banyak menuai kritikan dari kalangan pemerhati sejarah kerajaan Bolaang Mongondow dan lain-lain baik secara langsung ataupun tidak langsung yang merupakan penggalan kata dari sebuah gelar yang dikultuskan tersebut, yang mana dalam sejarah kepangkatan mongondow para raja Loloda Mokoagow tidak layak menggunakannya karena para Raja Bolaang Mongondow memeggang tangkup raja teringgi atau yang dikenal dengan “Punu’(Raja) Molantud(Tertinggi)” di mana juga dalam “Pengangkatan raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21)”, di mana kata molantud seperti yang kita ketahui dalam bahasa Mongondow dibentuk dari awalan “Mo” yang menunjukan ungkapan dapat atau, “ter…”, “terhebat”, “terbaik”, “terdepan”, dan sebagainya dalam segala sesuatu, dan kata “Lantud” artinya yaitu tinggi.

Jadi kata “Mo” dan “Lantud” apabila digabungkan maka akan menjadi Molantud yang artinya adalah tertinggi, sehingga arti dari pada Punu’ Molantud itu sendiri adalah “Raja Tertinggi” bukan seperti anggapan beberapa penulis kontemporer yang dalam temuan penulis, para penulis kontemporer tersebut mengistilakan Punu Molantud adalah bogani madya, karena seperti yang kita ketahui nama gelar tersebut adalah raja yang berada dalam kedudukan tertinggi dari para raja-raja sedangkan penggunaan istilah ”bogani madya” yang dalam data-data sejarah Bolaang Mongondow selama ini tidak pernah ada karena madya sendiri tidak pernah terucap dalam pengistilahan kepangkatan dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, istilah tersebut yang ada cuma sekedar mengenakan pendengaran saja sehingga menciptakan istilah-istilah yang rancu dan tidak pernah ada dalam sejarah Bolaang Mongondow.

Adapun istilah bogani madya tersebut adalah hanya penamaan-penamaan dalam kategori managemen impression atau kesan manajemen yang dalam bahasa mongondow dapat diartikan dengan “Lonua’, Ambunganga, Monigala, Kandi, ataupun Garata’ “, sehingga kita dapat mengetahui bahwa “bogani tertinggi adalah Punu Molantud” itu sendiri bukan bogani madya berdasarkan salah satu literatur kontemporer yang ditemukan oleh penulis pada tulisan Tanggal 19 April tahun 2009 dalam pesona daerah yang mana tanpa adanya substansi pembanding yang cukup lalu keburu memberikan kesimpulan yang bersifat kesan manajemen itu sendiri dan bisa kita buktikan dan bandingkan dalam tulisan W. Dunnebier pada “kepangkatan Mongondow”(W. Dunnebier tahun 1984 halaman 69 – 70) di mana kedudukan para bogani berada di bawah para raja Bolaang Mongondow dan bukan sebaliknya. Bersambung ke tulisan yang berjudul “ARTI LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow

Silsilah Raja-Raja Bolaang Mingondow (5)

KEKELIRUAN PENYATUAN NAMA RAJA DAMOPOLII ATAU DATU KINALANG DALAM SEJARAH(RALAT II)

Untuk kekeliruan penyatuan nama Damopolii atau Raja Loloda Mokoagow(putranya Raja Yayubangkai) yang juga disebut dengan Kinalang(sebutan lain untuk raja-raja Bolaang Mongondow sejak dari zaman purba hingga berakhirnya kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1950) dengan Damopolii atau Ramopolii atau Raja Loloda Mokoagow(putranya Raja Paputungan=Raja Loloda Mokoagow yang juga disebut dengan Kinalang) telah menggiring sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kepada kekeliruan besar karena tanpa melihat data-data yang akurat sehingga mendaulat bahwa Raja Damopolii putranya Raja Yayubangkai dengan Raja Damopolii putranya Raja Paputungan adalah orang yang satu, yang mana walaupun namanya sama dan sama-sama pernah menjabat Punu’ Molantud tetapi keduanya adalah pribadi dan orang yang berbeda sehingga hal ini yang banyak menjebak dalam penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow dengan keliru dan salah menafsirkan dan memahami sejarah Bolaang Mongondow selama ini secara holistic dan konfrehensif terutama oleh para penulis sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kontemporer.

Kekeliruan tersebut dapat kita lihat dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 28 baris ke-16(enam belas) kata ke-2(kedua) sampai dengan baris ke-21(dua puluh satu) kata ke-2(dua), yang berbunyi : “…….Nama KINALANG INTA KI DAMOPOLII (K. adalah D.) membangkitkan dugaan, bahwa ke-perkasaan pahlawan RAMOPOLII(Raja Damopolii putranya Raja Paputungan yang juga disebut Kinalang = Tambahan penulis berdasarkan data-data yang ada) dari Minahasa, yang setelah menjadi Raja di Bolaang, menaklukan orang-orang Mongondow padanya, kemudian dialamatkan pada Kinalang(Raja Damopolii putranya Raja Yayubangkai), oleh menyatukannya dengan Romopolii orang yang satu”.

Dalam tahun 1693 Raja Loloda Mokoagow(keturunan Raja Yayubangkai) ayahnya Raja Jacobus Manoppo masih sempat melakukan penyerangan lagi ke Minahasa, di mana ia dipukul mundur oleh pengikut Raja Paputungan(Lokongbanua) atau Raja Loloda Mokoagow keturunan Raja Pondadat. Adapun para kepala-kepala utusan pihak keturunan Raja Paputungan(Raja Loloda Mokoagow) di Manado menutup suatu perjanjian (semacam persetujuan perdamaian) dengan para utusan yang diberi kuasa oleh Almarhum Raja Loloda Mokoagow(leluhur dari Raja Jacobus Manoppo) dihadapan para Pedagang-Kompeni Pieter Alsteyn dan Stephanus Thiery dan vaandrig(opsir cadangan) David Haak. Lihat kekuasaan tertinggi Raja-Raja Bolaang Mongondow terhadap Minahasa yang dibantah oleh W. Dunnebier dalam buku yang berjudul “Tijdschr. Ind. T. L., dan V. tahun 1869, halaman 505 v. dari J. G. F. Riedel”. Yang mana bantahan tersebut kembali balik dibantah sendiri oleh W. Dunnebier dengan mengacu pada buku yang sama yang berjudul “Tijdschr. Ind. T. L., dan V. tahun 1869 halaman 505 sampai halaman 524” yang berbunyi : “Tokoh-tokoh Utama tidak disebutkan disini, tetapi mereka adalah Ramopilli(Damopolii) dan Fijntandje(Rintek-Waang)” yang artinya jangankan menyebutkan seluruh raja-raja Bolaang Mongondow di mana substansi tersebut tidak menjelaskannya tetapi tanpa substansi yang memadai keburu mendaulat bahwa seluruh raja Bolaang Mongondow Cuma Damopolii putranya Yayubangkai dan tidak menyebutkan Damopolii putranya Raja Paputungan apalagi Raja-Raja Bolaang Mongondow lainnya lalu dengan data yang tidak cukup tersebut terburu-buru langsung mendaulat Damopolii di Minahasa yaitu putranya Raja Paputungan dan Damopolii dari Mongondow putranya Raja Yayubangkai adalah orang yang satu dan kekeliruan ini dapat juga kita lihat dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 28 baris ke-16(enam belas) kata ke-2(kedua) sampai dengan baris ke-21(dua puluh satu) kata ke-2(dua) yang telah dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini.

Adapun pelaksanaan Mobakid atau Musyawarah di bukit sebelah utara desa Pontodon bukan hanya terjadi di periodenya raja Tadohe tetapi juga terjadi di periode raja-raja Bolaang Mongondow jauh sebelum raja Tadohe’(berkuasa pada tahun 1661 sampai tahun 1670 M) karena dari sekian banyaknya jumlah tempat mobakid diantaranya adalah bukit di Tudu in Passi dan di sebelah utara desa Pontodon karena di bukit tersebut dijadikan sebagai salah satu tempat pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat penting para bogani karena beberapa leluhur dari raja-raja Bolaang Mongondow makamnya berada di sekitar tempat tersebut walaupun tanda makamnya sudah tidak ditemukan lagi untuk dijadikan simbol sebagai kebersamaan dan perekat persaudaraan dan lain sebagainya.

Kenapa dalam tulisan W. Dunnebier hanya menuliskan bahwa hal tersebut cuma terjadi di periodenya Tadohe’?. Alasannya adalah motif kepentingan politik, ekonomi, jabatan, kedudukan dan penghidupan para keturunan Tadohe’ agar kekuasaan tidak berpindah ke tangan marga-marga yang telah disebutkan di dalam tulisan ini karena secara politik W. Dunnebier dekat dengan sumbu kekuasaan di era pemerintahan raja-raja Manoppo terakhir, sehingga dengan beberapa temuan substansi dalam tulisan W. Dunnebier tahun 1984 dalam bukunya Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow halaman 12 hingga 13 yang berbunyi :

“Tentang para pengganti tertua dari Mokodoludut(“Raja Loloda Mokoagow” yang juga terkenal dengan nama “Datu Binangkang”- Tambahan penulis berdasarkan sumber data dan literatur yang ada) sejauh dapat diketahui oleh W. Dunnebier atau penulis riwayatnya turun-temurun sudah sangat kurang. Untuk itu hanya yang berikut yang dapat di paparkan : ……………”. Dengan sangat gambalang ia menulis bahwa yang dijelaskan dalam bukunya tersebut hanya berkisar riwayat-riwayat leluhur dan keturunan-keturunannya Tadohe’ secara sepihak sehingga dengan bukti-bukti sesuai pengakuan W. Dunnebier sendiri maka buku Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow tidak relevan disebut buku “Mengenal Sejarah Raja-Raja Bolaang Mongondow” tetapi lebih tepatnya sesuai temuan-temuan yang holistic dan konfrehensif yang ada berdasarkan juga pada buku tersebut, maka bukunya tersebut lebih relevan lebih tepat dan lebih benar disebut dan ditulis “BUKU SEJARAH KHUSUS LELUHUR DAN KETURUNAN-KETURUNANNYA RAJA TADOHE’ “.

Tentang peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan lembaga-lembaga sosial, politik, kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan yang berlaku sah sejak itu untuk seluruh kerajaan Bolaang Mongondow di era sebelum dan sesudah Punu’ Molantud Mokodoludut dan dilanjutkan oleh raja-raja Bolaang Mongondow sesudahnya termasuk di dalamnya yang diadakan di bukit sebelah utara desa Pontodon di periode raja-raja Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah periode Raja Tadohe’ singkron dengan teori-teori yang berkenaan dengan “TEORI NEGARA DAN PEMERINTAHAN” menurut para ahli antara lainnya : Teori Jean Bodin; Teorinya Aristoteles; Teorinya Socrates; Teori Thomas Hobes; dan lain-lain. Bersambung ke tulisan yang berjudul “RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU PARA DATU BINANGKANG DALAM PENAMAAN(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow)