Tuesday, October 4, 2011

Kerajaan Bolaang Mongondow

Peta Bolaang Mongondow

Kerajaan Bolaang Mongondow merupakan salah satu pemerintahan kerajaan yang pernah eksis di kawasan Sulawesi Utara. Peradaban konstitusional dengan prinsip demokrasi sudah dianut kerajaan ini sejak permulaan abad ke-13 Masehi. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung berumur cukup lama dan telah mengalami berbagai dinamika dalam perjalanan sejarahnya.

1. Sejarah
Peradaban Kerajaan Bolaang Mongondow didirikan oleh orang-orang dari Suku Mongondow. Pada awalnya, orang-orang Suku Mongondow bermukim di daerah dataran tinggi, yakni di Gunung Komasaan. Wilayah yang menjadi tempat asal orang-orang Suku Mongondow itu kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bintauna, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.

Secara garis besar, komunitas adat dalam lingkungan masyarakat Mongondow terbagi atas dua kelompok keluarga atau marga yang berawal dari dua pasangan suami dan istri. Orang-orang Suku Mongondow mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari pasangan Gumalangit dan Tendeduata serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat. Masing-masing dari pasangan ini menurunkan generasi yang kelak menyusun cikal-bakal silsilah dalam sistem kekerabatan suku bangsa Mongondow (http://id.wikipedia.org).

Jumlah masyarakat Suku Mongondow yang semakin lama semakin bertambah banyak membuat penyebaran populasi mereka kian meluas. Pada abad ke-8 dan 9 M, orang-orang Suku Mongondow menyebar sampai ke daerah-daerah di luar tempat asal mereka, termasuk hingga ke daerah Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia’, Tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow, dan lain sebagainya. Tuntutan meninggalkan kampung halaman bukan menjadi masalah bagi Suku Mongondow karena kebetulan pada zaman itu orang-orang Mongondow masih menganut gaya hidup yang berpindah-pindah dan bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang sudah tersedia di alam.

Mata pencaharian orang-orang Mongondow adalah berburu hewan, menangkap ikan, mengolah sagu dan mencari umbi di hutan. Selain itu, mereka pada umumnya belum mengenal cara bercocok tanam (http://id.wikipedia.org). Jumlah peredaran orang-orang Suku Mongondow pada saat itu cukup banyak dan tersebar merata dari kawasan pesisir pantai hingga ke wilayah perdalaman atau di daerah-daerah pegunungan.

a. Riwayat Terbentuknya Kerajaan Bolaang Mongondow
Perkembangan kuantitas orang-orang Suku Mongondow yang semakin besar di sejumlah titik daerah lantas membentuk sejumlah komunitas adat. Masing-masing kelompok adat dalam satu keturunan sub-etnis Suku Mongondow ini dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Bogani, bisa laki-laki ataupun perempuan. Seorang Bogani dapat dipilih dengan memenuhi persyaratan, antara lain memiliki kemampuan fisik yang kuat, bersifat pemberani, bersikap bijaksana, berpikiran cerdas, disegani oleh segenap warga serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keselamatan seluruh anggota kelompok dari gangguan musuh yang datang menyerang (www.kotamobagukota.go.id).

Seorang raja kecil atau Bogani biasanya dibantu oleh beberapa orang pembantu sesuai formasi yang dibutuhkan dalam melaksanakan pemerintahan adat yang masih sederhana itu. Para pendamping Bogani dinamakan Tonawat yang terdiri dari orang-orang yang mengetahui tentang ilmu perbintangan, ahli penyakit dan cara pengobatannya, serta mereka yang mengemban tugas sebagai penasehat pemerintahan Sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang bersifat massal, diadakan perundingan demi mencapai kesepakatan dari semua pihak. Selain itu, pada saat tertentu, seluruh Bogani berkumpul untuk bermusyawarah (www.geocities.ws).

Wilayah pemerintahan komunitas kelompok suku yang digalang dan diketuai oleh seorang Bogani disebut dengan nama Totabuan (http://marsa84.multiply.com). Tiap-tiap Totabuan mempunyai sistem pemerintahan dan adat-istiadat yang mengandung kekhususan tertentu. Dengan demikian, pada waktu itu penduduk Suku Mongondow telah merintis suatu bentuk peradaban dengan pola dan struktur pemerintahan yang sudah mulai tertata dan terkoordinasi.

Antara kelompok sub-suku yang satu dengan yang lain tidak jarang terlibat sengketa meskipun di kalangan para Bogani sudah terdapat forum musyawarah. Berbagai pertikaian tersebut bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ketidaksepahaman mengenai batas wilayah, harga diri, terjadinya kesalahpahaman tentang suatu masalah, dan seterusnya. Perselisihan yang kerap meletus itu sebetulnya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan menjadikan masyarakat yang sebenarnya masih terhitung dalam satu lingkaran darah tersebut menjadi terpecah-belah. Atas dasar pemikiran itu, pada penghujung abad ke-12 M, terpercik pemikiran progresif dari para kepala kelompok suku untuk membentuk suatu kesatuan pemerintahan yang lebih solid dan kuat.

Para pemuka komunitas adat pun melangsungkan rapat guna berembug untuk membuka wacana dan menyamakan pandangan demi terciptanya penyatuan seluruh kelompok suku yang ada. Selain etnis Mongondow, sebenarnya masih ada tiga etnis lain yang turut berpartisipasi dalam membentuk kerangka pemerintahan baru. Ketiga etnis tersebut yaitu etnis Mokapok, Bintauna, dan Bolango. Syamsul Mokoginta dalam artikelnya menyebutkan bahwa keseluruhan etnis ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri yang secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian, keempat etnis yang ada di lingkungan itu merupakan satuan masyarakat adat yang masing-masing memiliki ciri khas dan identitas sendiri (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Tepat pada tahun 1400 M, peleburan seluruh komunitas adat pun terwujud dan terbentuklah suatu pemerintahan besar yang tidak lain adalah Kerajaan Bolaang Mongondow. Nama Bolaang Mongondow adalah perpaduan dari kata Bolaang dan Mongondow. Bolaang (golaang) mengandung arti “menjadi terang”, “terbuka”, atau “tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun”. Selain itu, Bolaang juga menjadi nama suatu kawasan permukiman yang berlokasi di pesisir tepi pantai sebelah utara. Dengan demikian, istilah bolaang, berasal dari kata bolango atau balangon, juga dapat diartikan sebagai tepi laut atau pesisir pantai (http://www.bolmong.go.id).

Sedangkan istilah mongondow diambil dari kata momondow yang berarti ”berseru tanda kemenangan”, selain juga digunakan untuk penamaan suku. Di samping itu, muncul pula nama Rata Mongondow untuk menyebut daerah perdalaman. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat, baik yang berdiam di pesisir pantai maupun yang menetap di wilayah perdalaman dan perbukitan, maka lahirlah kesatuan wilayah yang kemudian disebut dengan nama Bolaang Mongondow (http://www.bolmong.go.id).

Kalangan perintis Kerajaan Bolaang Mongondow tampaknya sudah mengenal asas demokrasi. Hal tersebut terlihat dari konsep yang digunakan dalam prosesi pemilihan pemimpin utama (raja), yakni dengan tata cara yang disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak” (http://marsa84.multiply.com). Dengan mengacu pada mekanisme demokrasi purba itu, maka terpilihlah pemimpin perdana Kerajaan Bolaang Mongondow yang bernama Mokodoludut. Setiap raja yang memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow berhak menyandang gelar yang dalam bahasa lokal disebut sebagai Tompunu’on atau Punu’ (http://id.wikipedia.org).

Salah satu faktor paling penting yang membuat Punu’ Mokodoludut terpilih sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow secara mutlak dan aklamasi disebabkan karena asal-usul kelahiran Mokodoludut itu sendiri. Menurut cerita rakyat yang diyakini oleh sebagian masyarakat Bolaang Mongondow, banyak orang yang datang untuk melihat di hari ketika Mokodoludut dilahirkan. Kemunculan pertama Mokodoludut di dunia dianggap sebagai kejadian yang ajaib dan bersifat gaib.

Dalam legenda dikisahkan bahwa pada suatu hari, pasangan suami-istri bernama Kueno dan Obayow menemukan benda yang berwujud seperti telur hanyut di sungai. Setelah dipungut, benda aneh tersebut ternyata kantung berisi bayi yang baru lahir dan masih terbungkus rahim ibu yang melahirkannya ke alam semesta. Semua orang terheran-heran dan lantas mempercayai bahwa bayi itu keluar dari sebuah telur. Jabang bayi itu lalu diberi nama Mokodoludut, diambil dari kata nodoludut yang bermakna “penyebab bunyi gaduh dari banyak kaki yang berjalan”. Kelahiran Mokolududut semakin terasa bernuansa mistis karena berlangsung dalam cuaca hujan lebat dan disertai gemuruh suara guntur serta kilatan halilintar yang sambar-menyambar (www.geocities.ws).

b. Eksistensi Kerajaan Bolaang Mongondow
Punu’ Mokolududut memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow terhitung sedari tahun 1400 M. Raja pertama Bolaang Mongondow ini membangun istana, dalam bahasa lokal disebut dengan istilah komalig, di Gunung Bumbungon sebagai pusat untuk mengatur jalannya pemerintahan (http://gmibm.tripod.com). Pada era kepemimpinan Punu’ Mokolududut, kehidupan Kerajaan Bolaang Mongondow berjalan dengan baik dan teratur. Kemajuan di segala perikehidupan masyarakat kerajaan diperoleh dengan relatif pesat.

Hubungan diplomasi dengan pihak-pihak luar kerajaan pun mulai digagas. Salah seorang yang paling berperan dalam menjalin relasi dengan pihak luar adalah anak perempuan Punu’ Mokolududut yang bernama Ginsapondo. Putri kerajaan ini mempelopori terhubungnya kemitraan niaga dengan kaum saudagar Minahasa yang banyak mendirikan permukiman di areal pesisir pantai (Ridwan Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).

Di bawah kepemimpinan Punu’ Mokolududut, masyarakat Kerajaan Bolaang Mongondow juga mulai mengenal kesenian. Di ranah seni sastra, misalnya, dikenal seni itu-itum, yakni semacam nyanyian doa yang disenandungkan dalam acara-acara tertentu, misalnya pada waktu upacara pelantikan pejabat kerajaan. Selain itu diperkenalkan juga odi-odi (semacam sumpah atau ikrar) serta jenis vokal yaitu totampit atau sastra bermelodi yang kemudian kerap dilagukan oleh warga Kerajaan Bolaang Mongondow sembari menjalani aktivitas sehari-hari (www.geocities.ws).

Punu’ Mokolududut duduk di singgasana tertinggi Kerajaan Bolaang Mongondow selama kurang lebih 60 tahun dan berakhir pada tahun 1460 M. Kondisi Kerajaan Bolaang Mongondow sepeninggal Punu’ Mokolududut masih berjalan dengan relatif baik. Kehidupan warga kerajaan semakin bertambah sejahtera karena didukung oleh aktivitas perdagangan yang bagus dan cukup maju kendati pola perniagaan yang dilakukan pada masa itu masih menggunakan sistem barter atau saling menukar barang. Pada era-era ini Kerajaan Bolaang Mongondow mulai menjalin hubungan dengan pihak asing, antara lain dengan pedagang-pedagang dari Spanyol, Portugis, dan Belanda yang pada kala itu masih berstatus sebagai kongsi dagang yang kemudian lazim dikenal dengan nama Verenignde Oost-indie Compagnie (VOC) alias kompeni (www.geocities.ws).
Kehidupan dan hubungan antar masyarakat yang terjalin di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow pun berlangsung dengan damai. Meskipun komposisi rakyat kerajaan berasal dari golongan kelompok yang berlainan dengan aneka ragam perbedaannya, kerukunan antar warga terjalin dengan baik karena tidak adanya tingkatan atau strata sosial dalam tatanan masyarakat. Suasana yang aman dan terkendali serta tanpa perbedaan kelas sosial yang merupakan warisan dari Punu’ Mokolududut tersebut berlangsung dalam kondisi yang stabil hingga masa pemerintahan raja-raja di era-era berikutnya. Perubahan yang sedikit mewarnai perjalanan sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow terjadi pada tahun 1480 M adalah pergeseran ibukota kerajaan dari yang semula berada di Gunung Bumbungon dipindahkan ke Kotobangon. Perpindahan sentra pemerintahan ini berlangsung pada masa kepemimpinan Punu’ Damopolii yang bertahta pada kurun 1480 – 1510 M (http://gmibm.tripod.com).

Reformasi yang cukup mencolok baru terjadi ketika Punu’ Tadohe (1600 – 1650 M) menempati kedudukan sebagai orang nomor satu di Kerajaan Bolaang Mongondow. Semenjak periode ini, kebijakan pemerintah kerajaan mulai mendapat pengaruh dari orang-orang Belanda. Walaupun hanya berkapasitas sebagai mitra dagang, namun tampaknya Belanda mulai mencoba untuk turut campur tangan dalam mempengaruhi urusan internal Kerajaan Bolaang Mongondow.

Di sisi lain, Punu’ Tadohe dikenal sebagai sosok pemimpin yang cakap, cerdas, dan mau menerima masukan yang dibawa oleh pihak asing. Progresivitas yang dilakukan oleh Punu’ Tadohe, misalnya, adalah penerapan sistem bercocok tanam padi, jagung, dan kelapa yang dikenalkan oleh bangsa Spanyol. Begitu juga dengan Belanda yang ternyata mampu memberikan pengaruh yang diterima oleh Punu’ Tadohe, salah satunya adalah digantinya gelar Punu’ yang sebelumnya lekat sebagai gelar kehormatan untuk raja menjadi Datu (www.geocities.ws).
Belanda juga berhasil membujuk Punu’ (Datu) Tadohe untuk memberlakukan perubahan dalam sistem sosial masyarakat. Sejak saat itu, strata sosial masyarakat Kerajaan Bolaang Mongondow dipisah menjadi dua kasta, ialah golongan Kinalang yang berisikan kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan, serta golongan Paloko’ yang merupakan kasta untuk rakyat kebanyakan. Akan tetapi, bukan berarti gagasan pembagian kelas sosial tersebut tidak memuat manfaat yang positif. Kaum Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan golongan Kinalang diwajibkan bisa mengangkat tingkat penghidupan kaum Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang.

Era pemerintahan Tadohe juga menorehkan catatan emas dengan berhasil mempersatukan seluruh komunitas rakyat yang selama ini masih hidup mengelompok sendiri-sendiri untuk disatukan di bawah naungan kebesaran panji-panji Bolaang Mongondow (http://www.kotamobagukota.go.id). Hubungan antara kelompok masyarakat diperbaiki dengan pembukaan jalan untuk tranportasi serta pengaturan pemerintahan di tingkat duku (padukuhan) dan desa.

Kaidah demokrasi kian dijalankan dengan baik, misalnya dengan diberlakukannya pemilihan langsung oleh rakyat dalam pemilihan kepala desa (www.geocities.ws). Pada masa pemerintahan Tadohe ini juga mulai dikenal mata uang sebagai alat transaksi perdagangan yang sebelumnya masih menggunakan sistem tukar barang (www.bolmong.go.id). Atas sejumlah prestasi gemilang yang diguratkan selama orde kekuasaannya, Tadohe boleh dibilang cukup berhasil dalam mengantarkan Kerajaan Bolaang Mongondow menuju ke arah pintu gerbang kemajuan.

Penerus tahta Tadohe adalah Raja Loloda’ Mokoagouw atau Datu Binangkang yang memerintah sekurun 1653–1694 M. Pada masa ini, dakwah Islam mulai masuk ke wilayah Bolaang Mongondow. Raja Loloda’ sendiri telah menjadi seorang muslim sejak usia remaja dari hasil pendalaman agamanya di Manado (http://marsa84.multiply.com). Sang raja dikenal sebagai tokoh pemimpin yang agresif. Di bawah komandonya, pasukan tempur Kerajaan Bolaang Mongondow berhasil menaklukkan dan menguasai wilayah Manado. Akibat serangan itu, rakyat Manado terpaksa mengungsi ke Pulau Sangir dan mendapat perlindungan dari Belanda (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Berbeda dengan sang ayah, hubungan Raja Loloda’ dan Belanda tidak berjalan harmonis. Kubu kompeni berulangkali melecehkan kewibawaan Raja Loloda’, bahkan melancarkan gerakan adu domba di lingkungan internal kerajaan. Raja Loloda’ yang merasa sangat terganggu dengan kekacauan yang disebabkan oleh Belanda kemudian mengalihkan ibukota kerajaan dari Kotobangon ke Amurang pada sekitar tahun 1665 M (http://gmibm.tripod.com).

Raja Loloda’ sejatinya sudah mempersiapkan salah seorang anak lelakinya sebagai putera mahkota. Akan tetapi, Belanda juga sudah punya calon sendiri, yakni putra Raja Loloda’ lainnya dari istri selir yang berasal dari Minahasa. Kandidat yang dijagokan Belanda itu, bernama Yakobus Manoppo, berdomisili di Manado dan memperoleh pendidikan Barat. Sang pangeran ini adalah penganut agama Kristen Protestan, ia dibaptis oleh orang-orang Belanda yang tinggal di Minahasa.

Pada tahun 1694 M, Raja Loloda’ menghembuskan nafas penghabisan. Belanda bergegas memainkan perannya dalam suksesi pergantian kepemimpinan. Akhirnya, berkat campur tangan bangsa penjajah, Yakobus Manoppo dinobatkan sebagai pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow yang berikutnya. Pada orde pemerintahan Yakobus Manoppo, kedudukan pusat kerajaan bergeser lagi, kali ini dari Amungan dipindahkan ke Bolaang Pantai Utara (Lasabuda, dalam http://totabuanku.blogspot.com).

Ketika Kerajaan Bolaang Mongondow dipimpin oleh Raja Salomon Manoppo yang bertahta sejak tahun 1735 M, terjadi konfrontasi dengan kubu Belanda. Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari mencari suaka ke Kerajaan Bolaang Mongondow akibat penindasan yang dilakukan oleh pejabat daerah di sana. Residen Manado yang merupakan wakil Belanda, meminta supaya para pelarian tersebut dikembalikan ke Minahasa. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Salomon, dan ini berarti, genderang perang melawan penjajah telah ditabuh (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Di waktu yang hampir bersamaan, Raja Salomon juga sedang menghadapi perkara tentang perbatasan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow dengan Kerajaan Kaidipang. Belanda yang menyokong Kerajaan Kaidipang lantas menanamkan hasutan agar Kerajaan Kaidipang menyerang Kerajaan Bolaang Mongondow. Akibatnya, Raja Salomon ditangkap dan dipenjara di Ternate, kemudian dipindahkan ke Batavia. Pada tahun 1748 M, Raja Solomon dijatuhi hukuman pengasingan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) selama kurang lebih 8 tahun (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Hukuman dan pembuangan Raja Salomon memantik berbagai kerusuhan di Bolaang Mongondow. Kericuhan semakin parah karena terjadinya peristwa pembunuhan berlatar-belakang politis yang dilakukan oleh keluarga kerajaan yang berambisi naik tahta. Namun, mayoritas rakyat Bolaang Mongondow bersikukuh menuntut supaya Raja Salomon segera dikembalikan. Untuk menghindari situasi chaos agar tidak semakin memburuk, Belanda memenuhi permintaan itu dan pada tahun 1756 M, Raja Solomon kembali menduduki tampuk kekuasaan sebagai Raja Bolaang Mongondow (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com).

Dinamika perubahan bergulir kembali pada masa pemerintahan Raja Cornelius Manoppo yang bertahta pada periode 1825–1829. Di rezim ini, syiar agama Islam berkembang dengan subur. Bahkan, Islam dinyatakan sebagai agama raja dan menjadi agama resmi kerajaan. Kegemilangan ajaran Islam ini dapat terjadi berkat andil seorang pendakwah bernama Syarif Aloewi yang datang dari Gorontalo. Syarif Aloewi kemudian dinikahkan dengan salah seorang puteri Raja Cornelius Manoppo (www.kotamobagukota.go.id).

Penerapan hukum Islam semakin digalakkan di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow pada masa pemerintahan Raja Yakobus Manuel Manoppo (1833–1858). Pada bulan September 1849, mulai diterapkan aturan tentang ritual perkawinan dan tata cara berpakaian serta sanksi bagi pelaku tindakan kriminal dan pelanggaran pidana seperti membunuh, mencuri, berselingkuh/berzina, dan lain-lainnya (Mokoginta, dalam http://totabuanmadani.wordpress.com). Diakui atau tidak, ajaran Islam telah turut mewarnai perkembangan kebudayaan dalam sendi-sendi kehidupan warga Bolaang Mongondow. Namun, sejauh ini belum diketahui faktor penyebab mengapa nama-nama raja Bolaang Mongondow masih bernuansa Eropa (Nasrani) meskipun sudah memeluk agama Islam.

c. Bolaang Mongondow di Era Kolonial dan Kemerdekaan
Ketenangan Bolaang Mongondow lagi-lagi terusik oleh ambisi agresi Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1901, armada militer Belanda dengan cara kekerasan memaksa masuk ke wilayah Bolaang Mongondow melalui Minahasa Selatan, setelah upaya mereka menyerbu lewat laut tidak kunjung membuahkan hasil. Di bawah pimpinan Anton Cornelius Veenhuizen, tentara perang Belanda merangsek sampai ke halaman istana di Bolaang Pantai Utara. Prajurit Kerajaan Bolaang Mongondow yang kalah persenjataan tidak mampu berbuat banyak, demikian pula dengan pemangku tahta Kerajaan Bolaang Mongondow saat itu, yakni Raja Riedel Manuel Manoppo (www.geocities.ws).

Raja Riedel Manuel Manoppo tidak sudi tunduk kepada Belanda. Akibatnya, Belanda kemudian menurunkan kedudukan Raja Riedel Manuel Manoppo dan menggantikannya dengan melantik Datu Cornelis Manoppo sebagai penguasa Kerajaan Bolaang Mongondow yang baru. Pusat pemerintahan kerajaan pun dikembalikan dari Bolaang Pantai Utara ke Kotobangon (www.bolmong.go.id). Dahulu kala, Kotobangon pernah menjadi ibukota Kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1480 M saat dipimpin Punu’ Damopolii (http://gmibm.tripod.com).

Di luar istana, rakyat Bolaang Mongondow melakukan perlawanan di bawah arahan salah seorang kerabat kerajaan yang bernama Hatibi Dibo Mokoagow. Pejuang pemberani ini memimpin rakyat melawan Belanda dengan memotong tiang bendera Belanda yang dipancang di halaman istana. Tiang bendera triwarna yang dipasang di pelabuhan Lombagian (Inobonto) pun tidak luput dari sasaran pemangkasan. Namun, pada tahun 1904 Hatibi Dibo Mokoagow tertangkap oleh Belanda dan kemudian ditembak mati. Pimpinan perjuangan rakyat dilanjutkan oleh Sangadi Eman yang berasal dari Pontodon kendati perlawanan itu kembali bisa dipatahkan oleh kubu Belanda (www.geocities.ws).

Sejak saat itu, kehidupan di lingkungan Kerajaan Bolaang Mongondow praktis berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1906, sekolah-sekolah kolonial mulai dibangun, termasuk Sekolah Rakyat (SR) yang dikelola oleh kalangan misionaris Nasrani. Sekolah-sekolah bikinan Belanda itu didirikan di sejumlah desa yang ada di wilayah Bolaang Mongondow dengan guru-guru yang didatangkan dari Minahasa. Pada awal pendirian sekolah tersebut, jumlah murid yang tertampung adalah 1.605 orang (www.bolmong.go.id).

Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mendirikan sekolah menengah Holland Inlandshe School (HIS) di Kotamobagu pada tahun 1911. Setahun kemudian, sekolah zending yang dikelola oleh lembaga misionaris dibuka di Dumoga. Pendirian sekolah-sekolah serupa kian gencar dilakukan, yakni di daerah Tabang, Tungoi, Poigar, Matali, dan Lolak, pada tahun 1926. Selanjutnya, pada tahun 1937, dibuka sebuah sekolah Gubernemen, yakni Vervolg School, di Kotamobagu (www.geocities.ws).

Pembangunan sekolah-sekolah dan berbagai fasilitas pelayanan publik lainnya memang memberi nilai positif bagi taraf hidup rakyat Bolaang Mongondow. Akan tetapi di sisi lain, kedaulatan Kerajaan Bolaang Mongondow tidak diakui secara penuh dan tak lagi memiliki kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan. Keadaan yang seperti ini berlangsung cukup lama hingga menjelang kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942. Kondisi yang terjadi pada masa pendudukan Jepang tidak berubah, kedudukan raja hanya dijadikan sebagai simbol semata tanpa mempunyai kekuatan politik.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow meleburkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar. Kemudian, pada tahun 1953, Bolaang Mongondow masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah Bolaang Mongondow selanjutnya dipisahkan menjadi kabupaten pada tanggal 23 Maret 1954.

Sejak itu, Bolaang Mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Tanggal 23 Maret pun diabadikan sebagai hari peringatan ulang tahun Kabupaten Bolaang Mongondow (www.bolmong.go.id). Dengan demikian, berakhir sudah riwayat Kerajaan Bolaang Mongondow yang sudah melakoni eksistensinya selama ratusan tahun, dan berganti dengan format pemerintahan yang lebih mutakhir sebagai kabupaten. Tokoh yang tercatat sebagai pemimpin Kerajaan Bolaang Mongondow yang terakhir adalah Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo yang berkuasa pada masa pascakemerdekaan, yakni tahun 1947 hingga 1950.
Seiring dengan berjalannya Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan pemekaran wilayah. Pemekaran tersebut membagi bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow menjadi sejumlah wilayah administratif, antara lain Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).

2. Silsilah
Berikut daftar nama-nama penguasa yang pernah memimpin Kerajaan Bolaang Mongondow yang dihimpun dari beberapa sumber:
1. Punu’ Mokodoludut (1400 – 1460 M).
2. Punu’ Yayubangkai (1460 – 1480 M).
3. Punu’ Damopolii (1480 – 1510 M).
4. Punu’ Busisi (1510 – 1540 M).
5. Punu’ Mokodompit (1560 – 1600 M).
6. Punu’ Tadohe (1600 – 1650 M).
7. Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang (1653 – 1694 M).
8. Raja Yakobus Manoppo (1694 – 1695 M).
9. Raja Fransiscus Manoppo (1695 – 1731 M).
10. Raja Salomon Manoppo (1735 – 1748 M dan 1756 – 1764 M).
11. Raja Egenius Manoppo (1764 – 1767 M).
12. Raja Christofel Manoppo (1767 – 1770 M).
13. Raja Markus Manoppo (1770 – 1773 M).
14. Raja Manuel Manoppo (1773 – 1779 M).
15. Raja Cornelius Manoppo (1825 – 1829).
16. Raja Ismail Cornelis Manoppo (1829 – 1833).
17. Raja Yakobus Manuel Manoppo (1833 – 1858).
18. Raja Adreanus Cornelis Manoppo (1858 – 1862).
19. Raja Yohanes Manuel Manoppo (1862).
20. Raja Abraham Sugeha atau Datu’ Pinonigad (1886 – 1893).
21. Raja Riedel Manuel Manoppo (1893 – 1901).
22. Raja Datu Cornelius Manoppo (1901 – 1928).
23. Raja Laurens Cornelius Manoppo (1928 – 1938).
24. Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo (1947 – 1950). (Mokoginta, dalam

3. Sistem Pemerintahan
Orang-orang Bolaang Mongondow sudah menganut prinsip-prinsip demokrasi sejak awal berdirinya kerajaan. Tradisi mereka mengenal tata cara yang disebut singok in lipu molantud yang berarti “keputusan tertinggi dalam suatu pendapat terletak pada keputusan orang banyak” (http://marsa84.multiply.com). Mekanisme seperti ini digunakan dalam pemilihan pemimpin pertama Kerajaan Bolaang Mongondow dan pada perkembangannya kemudian diterapkan juga dalam pemilihan kepala desa yang bernaung di bawah kuasa kerajaan.

Kerajaan Bolaang Mongondow memiliki sistem pemerintahan yang diberlakukan secara konsisten dan konsekuen sejak masa kepemimpinan Punu’ Tadohe (1600–1650 M). Pemerintahan pusat dipimpin oleh seorang raja atau Punu’ atau Datu sebagai penguasa tertinggi. Seorang raja dipilih dari anak atau cucu raja laki-laki melalui keputusan Dewan Musyawarah Rakyat yang diketuai oleh seorang perdana menteri. Suksesi raja dapat terjadi karena raja meninggal dunia, sakit, atau diturunkan dengan paksa karena tidak mampu mengemban amanat hukum adat kerajaan (Lasabuda, http://totabuanku.blogspot.com).

Perdana menteri kerajaan disebut juga dengan istilah Sadaha Tompunuon. Tugas dari pengampu jabatan ini adalah sebagai pemegang hukum adat kerajaan, penyimpan harta benda dan pusaka milik kerajaan, membagi hak untuk raja dan pejabat-pejabat kerajaan, serta memimpin Dewan Musyawarah Rakyat. Posisi perdana menteri dijabat oleh keturunan Tompunuon, yaitu orang yang ahli menghafal. Keturunan Tompunuon biasanya berasal dari Inalie dan Amalie, yakni pemimpin komunitas adat (Bogani) dari Dumoga yang dulu membesarkan dan mendidik Mokodoludut, pemimpin pertama Kerajaan Bolaang Mongondow (http://gmibm.tripod.com).
Lembaga Dewan Musyawarah Rakyat, selain berfungsi sebagai institusi yang berhak memilih, mengangkat, dan memberhentikan raja, juga mengemban tugas untuk memutuskan berbagai persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan dan amandemen hukum adat Kerajaan Bolaang Mongondow. Di bawah pimpinan perdana menteri atau Sadaha Tompunuon sebagai ketua, Dewan Musyawarah Rakyat juga dimotori oleh Panghulu Passi dan Panghulu Lolayan sebagai anggota istimewa serta para kepala desa yang bergelar Hukum Major sebagai anggota biasa (http://gmibm.tripod.com).

Panghulu adalah jabatan kepala wilayah adat. Kerajaan Bolaang Mongondow mempunyai 4 (empat) wilayah adat, yakni masing-masing: Passi, Lolayan, Kotabunan, dan Bolaang. Khusus wilayah Passi dan Lolayan, pemimpin wilayah adat disebut Kohongian in Passi dan Kohongian in Lolayan, yang diberi gelar Panghulu. Sedangkan wilayah adat Kotabunan dan Bolaang biasanya dijabat oleh keluarga raja, misalnya Abraham Patra Mokoginta sebagai Panghulu Kotabunan, Samer Abraham Sugeha selaku Panghulu Bolaang, atau Riedel Manuel Manoppo yang sebelum naik tahta menjadi raja pernah menjabat sebagai Panghulu Kotabunan (Lasabuda, http://totabuanku.blogspot.com).

Selain itu, tata pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Bolaang Mongondow juga mempunyai sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan tingkat desa, yakni Hukum Major, Kapita Raja, Sangadi, dan Kimalaha. Hukum Major adalah pemimpin dari beberapa desa yang berwilayah besar. Kapita Raja adalah kepala desa dari sebuah desa kecil dan berasal dari keturunan Kohongian. Sangadi adalah kepala desa dari sebuah desa besar juga bisa kecil yang berasal dari keturunan pemuka masyarakat setempat. Sedangkan Kimalaha adalah sebutan kepala desa yang memimpin suatu desa yang besar (http://gmibm.tripod.com).

4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah yang dahulu dikuasai oleh Kerajaan Bolaang Mongondow sangat luas. Di masa sekarang, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow telah menjelma menjadi wilayah-wilayah yang termasuk dalam lingkup administratif Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu (http://id.wikipedia.org).

Banyak nama tempat yang ditemukan dan pernah menjadi bagian dari area kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Sebagian dari tempat-tempat tersebut di masa sekarang telah berubah statusnya menjadi kecamatan, kelurahan, atau padukuhan. Beberapa tempat itu antara lain: Tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Mahag, Siniow, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tonsawang, Poigar, Bolaang, Pontak, Buyat, Amurang, Kotabunan, Basaan, Popo Mongondow, Kotabaru, Gunung Sia’, Kotamobagu, Werdhi Agung, Kembang Mertha, Mopuya, Mopugad, Tumokang, Pusian, Pontodon, Lombagian, Dumoga, Tabang, Tungoi, Matali, Lolak, dan lain-lainnya. Selain itu, Kerajaan Bolaang Mongondow juga pernah menguasai wilayah Manado pada era pemerintahan Raja Loloda’ Mokoagouw (1653–1694 M)

ARTKEL TERKAIT



No comments: