Tuesday, October 4, 2011

Silsilah Raja-Raja Bolaang Mingondow (6)

RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU PARA DATU BINANGKANG DALAM PENAMAAN(RALAT I)

Berdasarkan data-data dalam suatu artikel yang di dapat di Google-Internet yang berjudul LOLODA, NGARA MA BENO sumber yang jelas dan asli sesuai dengan rujukan artikel tersebut yang dikutip oleh penulis pada beberapa bagian yang penting dimana artikel tersebut mengatakan antara lainnya :

Sedangkan keterangan tentang Loloda sangatlah sedikit yang diketahui, secara tersamar diberitakan bahwa kerajaan Loloda telah memindahkan eksistensinya ke alam gaib! yang dikemudian hari dikenal dengan nama MORO!!! Adapun wilayahnya yang luas meliputi sebagian daratan pulau Halmahera itu direbut oleh Jailolo – yang sudah menggantikan kedudukan Loloda di daratan Halmahera yang luas itu.

Dari sumber-sumber lokal didapatkan cerita tentang keberadaan Loloda, dimana disebutkan bahwa asal mula Loloda itu berasal dari suatu kerajaan tua yang pernah berkuasa di Galela. Konon, kemudian di tahun 1322, setelah gunung berapi di Galela meletus dan mengancam kehidupan disana, maka, pusat kerajaan itu dipindahkan ke Loloda. Kepindahan ini terjadi pada masa Kolano Bakun Malamo, penguasa Galela terakhir.

Keterkaitan antara Loloda dengan kekuasaan lain di Sulawesi, dapatlah dilacak dari sejarah raja-raja Bolaang Mongondow. Kajian sejarah yang ditulis oleh W. Dunnebier, menjelaskan bahwa asal-usul kerajaan Bolaang Mongondow berpangkal pada seorang tokoh legendaris yang hidup di abad ke XIV bernama Loloda Mokoagow(Punu’ Molantud Mokodoludut kakek langsung dari Raja Damopolii putranya Raja Yayubangkai dan kakek langsung dari kakeknya Raja Damopolii putranya Raja Paputungan = Tambahan penulis berdasarkan data-data yang ada) .

Di sisi lain, tentang perihal asal kata dari nama Punu’ atau Raja Loloda Mokoagow atau juga Datu Binangkang, oleh penulis-penulis selama ini belum bisa memastikan secara menyeluruh akan pemahaman maupun artian yang holistik dan konfrehensif berdasarkan nama tersebut secara harfia, yang mana kita dapat uraikan dan artikan sesuai bahasa Mongondow berdasarkan literatur dan pemahaman yang ada didalam masyarakat dan bahasa Mongondow itu sendiri, yang uraiannya yaitu antara lain sebagai berikut :

PUNU’ atau RAJA : Berasal dari bahasa purba yang terbentuk dari gabungan kata “Punuk atau Punu’ “, yang artinya pangku yang biasa digunakan untuk perihal menerangkan memeluk sesuatu benda mati ataupun benda hidup, termasuk juga perumpamaan kepada bayi atau anak kecil yang dipeluk oleh orang tuanya secara turun temurun, yang kalau dihubungkan dalam konteks kekuasaan dan pemerintahan, maka pengertiannya merujuk kepada keturunan-keturunan raja atau pihak pewaris yang berhak memangku tangkup kepemimpinan tertinggi kerajaan, dalam hal ini adalah anak cucu raja yang dikenal dengan kaum atau golongan raja/“mododatu”, dengan perlakuan yang khusus atau istimewah seperti disayang-sayangi ataupun dimuliakan secara turun-temurun yang dalam “Hikayat raja-raja Bolaang Mongondow” atau “O Uman in Mogoguyang”, maksudnya yaitu “Secara garis asal usul keturunan hampir seluruh fam-fam atau marga-marga orang Bolaang Mongondow sekarang adalah seluruhnya keturunan raja-raja Bolaang Mongondow yang juga disebut dengan penamaan Ki Mokoagow yang mana merujuk kepada lebih dari sebagian besar keturunan-keturunannya yang tidak lagi menggunakan nama atau fam-fam Mokoagow tetapi sudah menggunakan nama nenek atau kakek yang digunakan sebagai fam atau marga secara turun temurun yang sudah tersebar dan menjadi fam-fam orang Mongondow sekarang seperti fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini”.

Tetapi secara garis keturunan atau lewat daftar silsila, hikayat, sejarah dan lain sebagainya, masih dapat kita temukan. Adapun untuk mengklasifikasikan nama-nama periode keturunan dengan penamaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ompu kon kinoyotan yaitu anak langsung atau keturunan pertama.
2. Ompu kon sinompunuk artinya cucu atau keturunan kedua.
3. Ompu kon dulud yang artinya cece atau keturunan ketiga.
4. Ompu kon Singkod yang artinya cicit atau keturunan keempat dan seterusnya secara turun temurun, dan bisa kita lihat dalam bagan penulisan keturunan raja-raja Bolaang Mongondow dari berbagai sumber yang ada.

Jika kita hubungkan dengan teori pemerintahan yang termasuk didalamnya, yaitu menjelaskan kerajaan, pemerintahan, dan lain sebagainya, maka pengertian “punu’ “ tersebut merujuk kepada orang yang memangku kekuasaan secara turun temurun dalam “Teori Monarki” yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam membedakan pemerintahan atas tiga bentuk dan dikembangkan oleh para ahli-ahli berikutnya. Adapun penamaan dengan kata raja kepada raja-raja Bolaang Mongondow yang oleh orang Belanda menyebutnya juga dengan penamaan “Raja Manado”, mulai berlaku dan merupakan sebutan gelar dikalangan eropa, di mana tanpa disadari sebutan raja kepada para raja Bolaang Mongondow baru dipakai secara resmi pada pembicaraan suatu laporan tentang Manado pada tahun 1671.

Tetapi sebelum pengistilahan oleh kalangan eropa tersebut mulai terbiasa dipakai sampai sekarang sebagai pewarta atau sebutan maupun penamaan kepada gelar raja-raja Bolaang Mongondow oleh kalangan Belanda dan lain-lain, dahulunya penggunaan istilah raja tersebut sebagai kepala kerajaan, dikenal dengan penamaan “Punu’ ; Tule’; Tuang; atau Datu”yang artinya tidak lain adalah raja itu sendiri , sebagai pewarta kepada sebutan atau gelar kepala-kepala atau raja-raja Bolaang Mongondow, dan khusus gelar “Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, atau Kepala Kampung dan semacamnya”, yaitu suatu gelar yang disadur dari luar Bolaang Mongondow yang dalam beberapa sumber digunakan oleh pemimpin wilayah bawahan para raja dan para bangsawan Bolaang Mongondow.

Dalam tata bahasa Mongondow pada umumnya tidak ada huruf “L” yang berdiri sendiri dalam pengucapannya tetapi dalam pengucapan huruf “L” harus digandeng dengan huruf “R” sebagai konsonan gandeng sehingga dalam praktek pengucapannya tidak ditulis seperti tata ejaan penulisan dalam bahasa Indonesia pada huruf “L” tetapi hampir mirip seperti pada pengucapan huruf “R” dalam tata bahasa Inggris yang apabila dieja dalam tata ejaan penulisan bahasa Indonesia maka diucapkan dengan “AR” atau “ar” yang mana tepat pada ucapan huruf “R” diucapkan dengan ujung lidah diletakkan pada langitan atas dalam rongga mulut, dan lebih jelasnya lihat dalam pengucapan huruf “R” yang sudah bersenyawa atau terangkai dalam sebuah kata yang terdiri dari beberapa rangkaian huruf yang membetuk sebuah kata dalam tata bahasa Inggris.

Begitu juga dengan kata “Kolano” maka pada tata ejaan dalam bahasa Mongondow lalu disalin atau ditulis dalam tata ejaan penulisan dalam bahasa yang berbeda maka akan menjadi “Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan lain sebagainya” sehingga apabila ditafsirkan dengan pola tata ejaan penulisan yang ada sekarang, jelas secara materi huruf yang membentuk kata-kata tersebut(Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan lain sebagainya) sudah mengalami perubahan atau perbedaan sehingga dalam penafsiranpun akan berujung kepada kesimpulan bahwa kata Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano itu tidak sama, yang mana tanpa kita sadari bahwa sebenarnya arti maupun asal usul terbentuknya termasuk dalam struktur pengucapan dalam bahasa Mongondow adalah sama tetapi karena perbedaan nama-nama tempat dan nama-nama orang dalam sejarah adalah disebabkan oleh pada waktu itu lebih menggunakan penuturan atau sejarah pada umumnya hanya melalui penuturan dan penutur itu akan terpengaruh oleh orang yang menceritakan dan kondisi wilayah orang tersebut berasal menyebabkan seolah-olah berbeda makna dan artinya dilihat secara materi huruf yang terangkai dan membentuk sebuah kata Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano, dan sebagainya. Contoh sederhana yaitu : Huruf “R” apabila diucapkan oleh orang yang tidak dapat mengucapkan huruf “R” kemudian didengar oleh orang lain lalu ditulis maka tidak lagi ditulis dengan huruf “R” dan tidak akan menghasilkan huruf “R” lagi, dan lain sebagainya.

Adapun gelar tersebut(Kolano, Kolrano, Korano, Kulano, Kulrano) tidak pernah terjadi dalam sejarah raja-raja kerajaan Bolaang Mongondow, untuk gelar tersebut mulai ada atau marak sejak adanya pengkultusan gelar tersebut pada tahun 2007 dalam sejarah Bolaang Mongondow yang banyak menuai kritikan dari kalangan pemerhati sejarah kerajaan Bolaang Mongondow dan lain-lain baik secara langsung ataupun tidak langsung yang merupakan penggalan kata dari sebuah gelar yang dikultuskan tersebut, yang mana dalam sejarah kepangkatan mongondow para raja Loloda Mokoagow tidak layak menggunakannya karena para Raja Bolaang Mongondow memeggang tangkup raja teringgi atau yang dikenal dengan “Punu’(Raja) Molantud(Tertinggi)” di mana juga dalam “Pengangkatan raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21)”, di mana kata molantud seperti yang kita ketahui dalam bahasa Mongondow dibentuk dari awalan “Mo” yang menunjukan ungkapan dapat atau, “ter…”, “terhebat”, “terbaik”, “terdepan”, dan sebagainya dalam segala sesuatu, dan kata “Lantud” artinya yaitu tinggi.

Jadi kata “Mo” dan “Lantud” apabila digabungkan maka akan menjadi Molantud yang artinya adalah tertinggi, sehingga arti dari pada Punu’ Molantud itu sendiri adalah “Raja Tertinggi” bukan seperti anggapan beberapa penulis kontemporer yang dalam temuan penulis, para penulis kontemporer tersebut mengistilakan Punu Molantud adalah bogani madya, karena seperti yang kita ketahui nama gelar tersebut adalah raja yang berada dalam kedudukan tertinggi dari para raja-raja sedangkan penggunaan istilah ”bogani madya” yang dalam data-data sejarah Bolaang Mongondow selama ini tidak pernah ada karena madya sendiri tidak pernah terucap dalam pengistilahan kepangkatan dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, istilah tersebut yang ada cuma sekedar mengenakan pendengaran saja sehingga menciptakan istilah-istilah yang rancu dan tidak pernah ada dalam sejarah Bolaang Mongondow.

Adapun istilah bogani madya tersebut adalah hanya penamaan-penamaan dalam kategori managemen impression atau kesan manajemen yang dalam bahasa mongondow dapat diartikan dengan “Lonua’, Ambunganga, Monigala, Kandi, ataupun Garata’ “, sehingga kita dapat mengetahui bahwa “bogani tertinggi adalah Punu Molantud” itu sendiri bukan bogani madya berdasarkan salah satu literatur kontemporer yang ditemukan oleh penulis pada tulisan Tanggal 19 April tahun 2009 dalam pesona daerah yang mana tanpa adanya substansi pembanding yang cukup lalu keburu memberikan kesimpulan yang bersifat kesan manajemen itu sendiri dan bisa kita buktikan dan bandingkan dalam tulisan W. Dunnebier pada “kepangkatan Mongondow”(W. Dunnebier tahun 1984 halaman 69 – 70) di mana kedudukan para bogani berada di bawah para raja Bolaang Mongondow dan bukan sebaliknya. Bersambung ke tulisan yang berjudul “ARTI LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow

ARTKEL TERKAIT



No comments: