Showing posts with label Ramalan Lontara Bugis. Show all posts
Showing posts with label Ramalan Lontara Bugis. Show all posts

Monday, April 23, 2012

Silsilah Kerajaan Rappang


Adapun Rappang berasal dari kata Rappeng, dalam bahasa Bugis, Rappeng berarti dahan/ranting yang hanyut. Dimana pada zaman dahulu, sungai yang mengalir di Rappang mempunyai lebar yang besar dan pada bagian hulunya banyak terdapat hutan belukar yang lebat. Dan apabila musim hujan telah tiba, maka dahan dari pohon-pohon itu hanyut dan membentuk daratan, menjadi tempat pemukiman dan kemudian diberi nama dengan Rappang.

Silsilah kerajaan Sidenreng menurut Lontaraq MULA RI TIMPAKNA TANA’E RI SIDENRENG


Pada kesempatan ini saya mau berbagi mengenai silsilah Kerajaan Sidenreng menurut Lontaraq MULA RI TIMPAKNA TANA’E RI SIDENRENG. Anda dapat membaca sebelumnya mengenai silsilah Kerajaan Sidenreng menurut Panduan Maccera Arajang di Massepe Tahun 2006 dan silsilah Kerajaan Rappang.

Dalam buku Lontaraq MULA RI TIMPAKNA TANA’E RI SIDENRENG, halaman 147, konon Raja Sangalla, seorang Raja di Tana Toraja (waktu itu Tana Toraja masih dalam wilayah Kerajaan Luwu) mempunyai 9 (sembilan) orang anak yaitu :

1. La Maddaremmeng
2. La Wewanriwu
3. La Togellipu
4. La Pasampoi
5. La Pakolongi
6. La Pababbari
7. La Panaungi
8. La Mappasessu
9. La Mappatunru

Dalam lontaraq yang lain disebutkan ada 8 (delapan) orang bersaudara dari Sangalla, yaitu; La Maddaremmeng, La Wewanriu, La Tongeq Lipu, La Pasompai, La Pakolongi, La Pabebbareng, La Mappasessuq dan La Mappatunruq.

Wednesday, September 28, 2011

RAJA-RAJA MALAYSIA BERDARAH BUGIS

Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

“Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja,” kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

“Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase,” paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

“Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru,” katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`

MACCAPAI = MAJAPAHIT?

I La galigo itu kitab sastra, maka bercampur myth (mitos).. mitosnya lebih banyak dari faktanya. namun ada sedikit fakta yang meninggalkan beberapa bukti hingga sekarang. maka ahli sejarah hanya memakainya untuk mengenal kebudayaan Bugis sebelum abad 14. Bukan sumber sejarah baku.

Ramai orang tidak tahu sejarah ini. mereka hanya tahu Negarakertagama yang mengklaim Luwu itu wilayah taklukan Majapahit. Dari sisi Luwu dan penelitian arkeolog Indonesia dan australia dalam Oxis Project dan Kedatuan Luwu, tak seperti itu.

MACCAPAI = MAJAPAHIT?

Sedikit Dalam naskah La Galigo, singkat saja yang mungkin berhubungan dengan pulau Jawa dan mungkin Majapahit.
Nama nama Raja Luwu menurut Buku Andi Jemma Datu Luwu
Nama-Nama Raja Luwu yang yang terdapat dalam Silsilah Melayu dan Bugis pada masa Galigo

SITI MALANGKE (Datue ri Malangke’?) ratu di tanah Bugis Silayang,

DATU PALINGI’I (Datu Palinge’?): buku Galigo : Mutia Unru’ Datu Palinge ri Senrijawa, permaisuri La Patiganna Aji’ Sangkuru Wira, Patoto’-e).

PATUTUI’(Galigo : Patotoe, suami Mutia Unru’ Datu Palinge’, jadi bukan anaknya Datu Palinge, nama asli La Patiganna).

BETARA GURU (Galigo : La Toge’langi bergelar Batara Guru, Raja Pertama Luwu’).

BETARA LATTO’( Galigo : La Tiuleng, bergelar Batara Lattu’, Raja Luwu II).

SAWERIGADING ( Galigo : La Maddukelleng To Appanyompa bergelar Sawerigading, Opunna Ware’-tidak pernah menjadi Raja Luwu’. Ia adalah suami We Cudai Daeng Ri Sompa, Datunna Tana Ugi’(Ratu Bugis II).

LA GALIGO ( Galigo : La Galigo To Padammani, Datunna Tana Ugi’ III dan tidak pernah menjadi Raja Luwu’).

TATA ( Galigo : La Tenritatta’, Pajung Masagalae ri Luwu’, Raja Luwu III dan terakhir pada periode Galigo).

Berlanjut hingga Nama-Nama Raja Luwu awal menurut Silsilah Melayu dan Bugis pada masa Lontara’ Sejarah

SAUNG RI WARA’ LATTALAKA (=Saung ri ware’?) naskah GALIGO : SIMPURUSIANG, anak We Tenri Abeng, saudara kembar Sawerigading, dan Remmang ri Langi’: raja pertama periode Lontara’Sejarah)

SIAJANGE KURINNA (Lontara’: ANAKAJI yang kawin dengan We Tappacina, anak Datue ri MACCAPAI (MAJAPAHIT): Datu Luwu II).

saya persingkat, seterusnya hingga Datu Luwu’ yang terakhir, ANDI’ PATIWARE’ alias ANDI’DJEMMA BARUE.

Dalam Buku H.M Sanusi Daeng Mattata yang saya pegang sekarang ini, ditulis pada tahun 1960an,(beliau lahir pada tahun 1909 di Cappasolo Luwu pernah menjadi sekretaris pribadi Raja Luwu, Andi Jemma Datu Luwu yang terakhir dan Sekaligus menjadi Sekretaris Kerajaan Luwu), juga menerjemahkan kata Maccapai dalam naskah Galigo menjadi Majapahit seperti dibawah ini;

Datu No.1. Batara Guru. nama dalam kitab la galigo; La toge'langi'(baginda mempunyai 3 permaisuri. Dari permaisurinya yang pertama Enyilitomo lahir seorang puteranya yang bernama Batara Lattu, dan dari permaisurinya yang bernama Wesaungiriu, lahir dua anaknya, yaitu Lapanguriseng Toappananrang dan Leleulung. Sedangkan dari permaisurinya yang bernama Leleuleng lahir tiga anaknya, yaitu Latemmalureng, Datu Maogoe dan Latemmalolo.

Datu no. 2. Batara Lattu.(dalam kitab La galigo; La Tiuleng) Inilah ayah Sawerigading dan Etenriabeng.

Datu no. 3. Simpurusiang, puteri Etenriabeng.

Datu no. 4. Anakaji, putera baginda Simpurusiang. Menurut kitab I La Galigo, Baginda Anakaji kawin dengan seorang puteri dari kerajaan Maccapai atau Majapahit.
Jika dalam dialek Jawa, pengucapan Majapahit terdengar 'J' nya lebih jelas, maka kemungkinan, raja Luwu menyebutnya dengan MaCCaPai' karena ejaan luwu tidak lazim pengucapan konsonan akhir dengan huruf T. Dalam tradisi Kerajaan Luwu, yang berhak menjadi Raja adalah putra mahkota dengan keturunan Raja yang jelas. putri raja tidak diizinkan menikah dengan raja dari luar Luwu, karena itu bisa diartikan tunduknya Luwu kepada kerajaan lain. kecuali salah satu putri Luwu yang menikah dengan putra mahkota bugis Bone diluar wilayah Luwu, yaitu di Bugis Wajo.sedangkan jika putra mahkota kawin dengan putri raja kerajaan lain, maka dianggap kekeluargaan, bukan penaklukan wilayah lain. Jika Maccapai adalah Majapahit, mengapa putra mahkota Luwu, Anakaji menginginkan puteri raja Maccapai?

Menurut banyak pakar, bagian awal epos pra la galigo mungkin terjadi pada abad ke 9 - 10. atau 11. Sedangkan DR. Christian Pelras mengatakan bagian kisah Sawerigading atau yang mirip dengan itu mungkin terjadi pada abad ke-12.

Dilihat dari silsilahnya, BataraLattu, nama dalam kitab La Galigo; La Tiuleng ( batara yang dimaksud terjemahan dari Bahasa Bugis Bittara atau betara yang berarti jauh diatas sana), memiliki dua anak bernama Saweri Gading dan saudara perempuannya bernama We tenriabeng, Sawerigading memiliki anak salah satunya bernama La Galigo hasil dari perkawinannya dengan putri Cina atau indocina? atau kampung cina wajo? yang bernama We Chu Da'i, dan We Tenriabeng memiliki anak bernama Simpurusiang (keponakan Sawerigading) dan Simpurusiang memiliki anak bernama Anakaji, jadi Anakaji masih cucu Sawerigading, atau anaknya keponakannya Sawerigading. inilah yang kawin dengan putri We Tappacina. We Tappacina Anak Datue ri Maccapai (anak Raja di Majapahit?), We julukan untuk putri Raja, Tappacina rada bertampang Cina. entah nama aslinya siapa.

"We estimated than Anakaji ruled at the end of the thirteenth century. According to a Lontara' Luwu' kept by Andi Sumange'rukka, datu Pattojo in Soppeng.."
Mengapa Anakaji ingin menikah dengan Anak Raja Maccapai yang katanya tappacina bertampang cina? Entahlah. kita lanjutkan dengan ringkasan perjalanan Sawerigading.
Berawal dari rasa kecewa Sawerigading yang ditolak keinginannya untuk menikah dengan We tenriabeng,.dan bersamaan dia menerima kenyataan pahit bahwa we Tenriabeng ternyata saudara perempuannya sendiri, maka disaat sakit hati Sawerigading mengucapkan sumpah tidak akan pulang ke Luwu, dia ingin menuju Cina yang menurut We Tenriabeng disana ada putri raja yang kecantikannya mirip dengannya, namanya I We Chu Da'i.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. dan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Bali, Jawa Rilau dan Jawa Ritengnga,(Jawa sebelah Timur dan bagian Tengah), Sunra Rilau dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda bagian Timur dan Sunda Barat) Bakke diduga Pulau bangka, dan Melaka. Ia juga menjelajah hingga ke Asia Tenggara dari satu negeri ke negeri lain hingga ke Timur Jauh.

Dikisahkan Swerigading bersama pasukannya juga mengalami banyak peperangan. diantara kapal kapal laut itu, Sawerigading berada di kapal yang paling besar dan sering menabuh nekara gong raksasa agar dentumannya dapat didengar oleh lawan lawannya di laut dan pantai.
pertempuran Sawerigading salah satunya melawan Sattia Bonga alias Lompeng ri Jawa. dalam tulisan Daeng Mallonjo di Palopo, setelah Sattia Bonga dikalahkan, Sawerigading lalu mengajukan pertanyaan kepada Sattia Bonga sebagai berikut:

"Apakah masih ada pahlawan saudara yang akan mengadakan perlawanan ?"

"Engkau wahai Tuan laksana angin sedang kami laksana daun Kayu.dimana angin bertiup disitulah kami terdampar". Pengakuan kekalahan Sattia Bonga kepada Sawerigading yang akhirnya Sawerigading memberikan bantuan kepada sattia Bonga untuk mengangkut pasukannya kepangkalannya.(maka disebutkan Sattia Bonga di Jawa Wolio). wolio itu di Buton. Setelah semua musuh yang menantang Sawerigading dikalahkan, perjalanan pun diteruskan.

Beberapa tahun setelah menikah dengan We Cu Da'i, Sawerigading memutuskan pulang ke Luwu, namun karena melanggar sumpahnya bahwa dia tidak ingin kembali ke Luwu, maka dia diusir. mahkamah Luwu tidak ingin sikap melanggar janji menjadi kebiasaan buruk generasi selanjutnya. tinggallah We Cu Dai yang sedang mengandung I la Galigo di Luwu, karena Luwu membutuhkan keturunan jelas dari Raja untuk menjadi putra mahkota. meski I la Galigo juga tidak menjadi Raja seperti ayahnya dan juga menjadi kapten kapal. dalam bahasa sastra Galigo, Sawerigading di benamkan di bawah bumi, ada yang mengartikan tenggelam, ada yang mengartikan dia harus pergi dari Luwu menuju daerah daerah kerajaan lain yang dianggap 'dibawah' atau di daerah selatan daerah yang pernah dia jelajahi sebelumnya. maklum, sastrawan jaman dulu tidak mengerti kalau bumi itu bulat. tahunya melihat horizon laut seperti menurun kebawah. Menurut Sekretaris Raja Luwu, Daeng Mattata, tegasnya Sawerigading diusir dan sawerigading menjadi pengembara.

Pertanyaan1, kemana Sawerigading, atau tokoh yang serupa dengan si mister gading ini jika dia ada, beserta beberapa anaknya yang mungkin separuh cina yang lahir duluan, kakak kakak La Galigo pergi?

Taranate (Ternate di Maluku)?, Gima (diduga Bima atau Sumbawa)?, Bali, Jawa Rilau dan Jawa Ritengnga,(Jawa bagian Timur dan Tengah)?, Sunra Rilau dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda bagian Timur dan Sunda sebelah Barat)? Pulau bangka? Sumatra? atau Melaka?.

Pertanyaan 2, Jika semua pra Galigo murni 100% mitos, maka Anakaji masuk dalam pasca galigo, jika benar Maccapai itu Majapahit seperti yang dipercaya oleh Andi Jemma Datu Luwu, bukan mancapai yang mungkin di sebelah tenggara sulawesi, mengapa Anakaji maunya dengan yang berpenampilan TappaCina atau bertampang cina dari Majapahit?

Pertanyaan 3, dalam penelitian terbaru arkeolog, maka dibuat teori terbaru kemungkinan hubungan dagang Majapahit dan Luwu, dimana Luwu mungkin menjadi pemasok bahan dan senjata senjata pusaka untuk perlengkapan perang Majapahit.

maka pertanyaannya, mengapa Luwu rela membuatkan apa yang dianggap keramat oleh Kerajaan dan dijadikan barang dagangan kepada Majapahit? mengapa bukan bahan pammaro'nya (pamornya) saja? padahal mulai dari abad 12 hingga 19 dimana kerajaan lain disulawesi selatan mulai menjadi kuat dan tidak ingin dipengaruhi oleh Luwu , maka benturan antar kerajaan kerajaan tidak bisa dihindari, masing masing mulai saling meyerang dan tidak mau tunduk satu sama lain. periode sejarah mengerikan ini yang dinamakan Sianre Bale ( ikan makan ikan). Atau Sianre Baleni Tawwe ( ayolah ikan makan ikan, saling makan lah saling gigitlah, apa yang terjadi terjadilah)

Sulawesi - Makassar, Angka 7 & Huruf K

Sulawesi - Makassar, Angka 7 & Huruf K
Oleh : Husaen Manggabarani


“Maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah
Allah.” (QS. Al Baqarah: 115)

“Sesungguhnya pada langit dan bumibenar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang beriman.”
(QS. Al Jaatsiyah: 3)

Asy-Syaikh Al-Imamul-ajallu Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Alhamdani pernah mengatakan dalam bukunya yang berjudul As Sab’iyyaatu fil Mawaa’idhil Barriyyaat bahwa Zat Pencipta - Yang sangat besar kekuasaanNya dan sangat tinggi kalimatNya serta berkesinambungan nikmat-nikmatNya, telah menghiasi 7 perkara dengan 7 perkara dan menghiasi pula bagi tiap-tiap perkara itu dengan 7 perkara lainnya, untuk memberikan kepada orang-orang berilmu bahwasanya angka 7 itu mempunyai rahasia yang sangat besar dan kedudukan yang agung di sisi Allah SWT.

Baik dalam tulisan Arab maupun dalam tulisan Arab Indonesia, Kalimat Tauhid ini tetap saja berjumlah 7 kata.

Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasul Allah.
Jumlah kata yang terdiri dari 7 kata tersebut sebenarnya bukan hal yang kebetulan saja, tetapi merupakan rahasia Allah SWT yang mengandung beberapa petunjuk bagi manusia.

Penulisan ini hanya memaparkan tentang hal-hal yang berkenaan dengan angka 7, dan tidak memaparkan hal-hal tersebut dengan 7 perkara lainnya.

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yaasiin: 82)
Kalimat “Kun Fayakun” ( ) sendiri terdapat pada 7 surah dalam dalam Al Qur’an, yaitu: Al Baqarah: 117, Ali Imran: 47 & 59, Al An’aam: 73, An Nahl: 40, Maryam: 35, Yaasiin: 82, Al Mu’min: 68.

5 Huruf 2 Huruf = 7 Huruf
5 Melambangkan Rukun Islam
2 Melambangkan 2 Kalimat Syahadat
Artinya bahwa dari Kelima Rukun yang terdapat dalam Rukun Islam tersebut, maka rukun yang pertama: “Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat” adalah yang merupakan “intisari” dari kelima rukun tersebut.

Sebab pengucapan Dua Kalimat Syahadat merupakan dasar atau langkah awal dalam menjalankan ibadah menurut aturan Syariat Islam dan apabila hidup ini diakhiri dengan kalimat tersebut yang tentunya juga menjalankan makna dan tujuan kalimat tersebut, maka Surga tempatnya. Penjabaran dari makna dan tujuan Dua Kalimat Syahadat, semuanya terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang pada dasarnya menjabarkan keempat rukun lainnya dari Rukun Islam tadi.

Makna 7 kata pada Dua Kalimat Syahadat tersebut adalah:

• Dalam Al Qur’an terdapat 7 Surah yang panjang, yaitu Al Baqarah, Ali Imran, Al Maidah, An Nisaa’, Al An’aam, Al A’raaf, Yunus.
• Dalam Al Qur’an juga terdapat surah Al Fatihah yang terdiri dari 7 ayat.
• Dalam Al Qur’an dikatakan terdapat 7 Surga dan 7 Neraka.
• Dalam Al Qur’an pun dikatakan terdapat 7 Lapis Langit dan 7 Lapis Bumi.
• Dalam Ilmu Geologi dijelaskan secara ilmiah bahwa langit yang mereka tafsirkan merupakan Atmosfer adalah terdiri dari 7 lapisan, yaitu: Troposfer, Stratosfer, Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer, Eksosfer. Sedangkan bumi juga terdiri dari 7 lapisan, yaitu: Top Soil dan Alluvial, Lithosphere, Upper Mantle, Transition Zone, Lower Mantle, Outer Core, Inner Core.

Dalam Al Qur’an Allah SWT telah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu Tujuh Buah Jalan dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami)”. (QS. Al Mu’minuun: 17)

• Di dunia ini terdapat 7 Benua, yaitu: Benua Asia, Benua Amerika Latin, Benua Amerika Utara, Benua Australia, Benua Eropa, Benua Afrika, Benua Antartika.
• Di dunia ini terdapat 7 Keajaiban Dunia, yaitu: Borobudur di Indonesia, Taj Mahal di India, Menara Pisa di Italia, Menara Eiffel di Perancis, Piramid di Mesir, Colosseum di Roma-Italia, Tembok Raksasa di Cina.
• Di dunia ini terdapat 7 Samudra, yaitu: Samudra Antlantik, Samudra Pasifik, Samudra Hindia, Samudra Antartika, Lautan Cina Selatan, Lautan Karibia, Lautan Tengah.
• Bahkan kita hidup sehari-hari dalam angka 7, yaitu dalam seminggu ada 7 hari.
• Ketika Jamaah Haji beribadah melakukan Tawah di Ka’bah juga sebanyak 7 kali putaran, Sa’i 7 kali putaran, Melontar Jumrah 7 kali.
• Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk mendidik anak untuk mengerjakan shalat lima waktu dimulai pada usia 7 tahun.
• Begitu pula dengan Adzan yang sering dikumandangkan setiap hendak shalat oleh seorang Muadzin terdiri atas 7 Kalimat Suci.
• Disunnatkan kita melaksanakan shalat sunnat Dluha yang dimulai dari jam 7 hingga jam 11 pagi.
• Titian Shirathal Mustakim yang akan dilewati kelak di Akhirat berdasarkan suatu Hadits Nabi adalah rambut yang dibelah 7. Dan masih banyak lagi hal-hal yang menyangkut keagungan angka 7.

Dalam Al Qur’an Allah SWT telah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin: 4)

Hubungan ayat di atas dengan kaitannya angka 7 pada diri manusia adalah sebagai berikut:

1. Pada Diri Manusia terdapat 7 Anggota Tubuh, yaitu: Satu Kepala, Satu Leher, Satu Badan, Dua Tangan, Dua Kaki.

2. Pada Diri Manusia terdapat 7 Anggota Badan, yaitu: Dua Tangan, Dua Kaki, Dua Lutut, Satu Wajah. Kesemuanya itu dipakai dalam 7 hal menyangkut peribadatan, yaitu: Dua Tangan untuk berdoa, Dua Kaki untuk berdiri tertib, Dua lutut untuk duduk berkhidmat, Satu Wajah untuk sujud.

3. Pada Diri Manusia terdapat 7 Anggota Sujud, yaitu: Satu Kepala, Dua Tangan, dua Lutut, Dua Kaki.

4. Pada Diri Manusia terdapat 7 sumber Dosa Lahiriah, yaitu: Mata,Telinga, Mulut, Dua Tangan, Perut, Dua Kaki, dan Kemaluan.

5. Lubang yang nampak pada Diri Manusia di luar pori-pori, yaitu: Dua Lubang Hidung, Dua Lubang Telinga, Satu Mulut, dan Dua Lubang Pembuangan (Kemaluan).

6. Setiap bayi yang lahir dari rahim seorang wanita secara dini (premature) pada bulan ke 7 lebih kuat kesempatan hidupnya dibanding lahir dini pada bulan ke 6 atau bulan ke 8.

7. Bahkan Tulang Leher Manusia terdapat ada 7 Ruas Tulang.

Dalam Al Qur’an Allah SWT telah berfirman:
“Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) dari pada urat lehernya”. (QS. Qaaf: 16
Kalaulah kita bisa menafsirkan dengan kalimat bebas untuk memahami bahwa Allah SWT lebih dekat dari urat leher, maka :

“Kami lebih dekat (carilah Kami) pada tempat yang
berhubungan dengan angka 7.”

Dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa angka 7 adalah “Angka Yang Agung”. Agung berarti “Yang Diutamakan” atau bisa juga dikatakan sebagai “Yang Dilebihkan”.

Artinya daerah yang berhubungan dengan angka 7 adalah merupakan “Tempat Yang Agung” atau “Yang Diutamakan” atau “Yang Dilebihkan”. Wallahu a’lam.
Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Turmudzy ra. yang artinya bahwa di dalam Al Qur’an ada sebuah surah yang kedudukannya paling mulia dari surah-surah yang lain, yaitu Surah Al Baqarah. Di dalamnya terdapat satu ayat yang merupakan penghulu dari segala ayat, sebuah ayat yang agung, yaitu Ayat Kursy.

Ada beberapa kitab yang menerangkan keistimewaan Ayat Kursy. Ayat Kursy membicarakan mengenai Zat Allah, Sifat-SifatNya dan Fi’il-Fi’ilNya.
Di dalam Ayat Kursy terdapat 17 Sifat-Sifat Allah yang diterangkan baik secara terang maupun secara tersembunyi. Ayat Kursy tersusun dalam 50 kata, 170 huruf, dan terdapat 17 huruf Mim dan 17 huruf Waw. Kesemua angka tersebut di atas pada dasarnya merujuk ke angka 7.

Dikatakan Ayat Kursy karena dalam ayat tersebut terdapat kata Kursiy, yang artinya Singgasana yang megah lagi mempunyai martabat. Namun bukan yang dimaksud sebagai kursiy tempat duduk Tuhan, tetapi adalah Kekuasaan Allah yang meliputi langit dan bumi.

Manusia adalah merupakan ciptaan Allah SWT yang paling agung dari semua ciptaan Allah SWT yang ada. Kalau kita mau mengamati walau sejenak saja mengenai angka 7 di sekitar kita, tentu kita dapat merasakan bahwa sebenarnya kita semua telah berada dan telah bergaul dengan kemisteriusan angka 7. Hanya saja kita tidak bisa mengambil suatu pelajaran ada hikmah apa di balik semua ini.

Kita bahkan tidak menyangka bahwa dalam kesehari-harian seringkali kita membutuhkan yang namanya musik untuk mengusir kejenuhan dan stress dalam diri. Rangkaian nada yang menghasilkan suatu alunan musik yang sangat merdu tersebut merupakan hasil dari angka 7, yaitu proses solmisasi yang terdiri dari tangga nada yang berbeda tinggi rendahnya; Do Re Mi Fa So La Si. Coba bayangkan betapa banyak sudah lagu yang dihasilkan di seluruh dunia, dari dulu hingga kini, dan yang masih akan dibuat, hanyalah merupakan hasil dari angka 7 tadi.

Sering kita mendengar istilah ceramah Kultum yang merupakan kependekan dari Kuliah Tujuh Menit. Bahkan di dunia film pun hingga kini kita kenal sebuah film yang paling terkenal dengan nama 007. Begitu pula dengan nama sebuah minuman segar (soft drink) yang seringkali kita minum yang dibuat oleh orang-orang barat dan sering diplesetkan banyak orang, yaitu 7 UP (7 Ujung Pandang).

Apakah kesemua hal tersebut adalah kebetulan belaka? Tidak. Hal itu bukanlah sebuah kebetulan belaka. Setuju atau tidak setuju, hal tersebut adalah semua berasal dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta dari semua gerak dan pikir manusia.

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu” (QS. Ash Shaffaat: 96)

Berangkat dari ayat di atas, ada hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan renungan bagi kita yang menyangkut dengan angka 7. Tanpa disadari ternyata di seluruh Indonesia ini, hanya Sulawesi Selatanlah satu-satunya daerah yang selalu mendapatkan simbol angka 7.

Sulawesi Selatan yang beribu kotakan Makassar ini terletak pada Pulau Sulawesi. Sulawesi adalah merupakan salah satu pulau besar dari beberapa pulau besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Sulawesi merupakan pulau yang terletak di sebelah Timur wilayah Indonesia. Sulawesi yang nama lainnya adalah Celebes (dibaca Selebes), merupakan kata yang berasal dari bahasa Portugis. Celebes merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu Cele artinya Badik/Keris dan Bes dari kata Besi. Jadi kira-kira Celebes artinya Badik Besi. Pun kata Celebes terdiri dari 7 huruf.

Sulawesi Selatan terletak pada daerah Indonesia Bagian Timur pada Pembagian Wilayah dan terletak pada daerah Indonesia Bagian Tengah pada Pembagian Waktu.
Pulau Sulawesi merupakan Titik Tengah (Sentral) antara Wilayah Indonesia Barat dan Wilayah Indonesia Timur.

Kalaulah kita melihat kembali hadits Nabi yang berbunyi: “Sebaik-baik urusan adalah yang di tengah-tengah”, berarti pulau Sulawesi sebagai Titik Tengah (Sentral) tentu mempunyai arti khusus yang tersirat.

Jadi seandainya saja kata Indonesia Timur dan kata Indonesia Tengah disatukan atau digabungkan akan menjadi sebuah kalimat sederhana, tetapi mengandung makna yang tersirat, yaitu Indonesia Timur Tengah.

Ada apa dengan Sulawesi khususnya bagian Selatan yang beribu kotakan Makassar ini? Sengaja atau tidak sengaja mengapa harus Makassar yang harus menjadi tempat bersatunya hal-hal yang berbau angka 7 ?

1. Komando Daerah Militer (KODAM) 7 WIRABUANA terletak di Makassar. Wira berarti Pahlawan, Utama, Teladan, Luhur, Pejuang, sedangkan Buana berarti Dunia. Jadi Wirabuana berarti Pahlawan Dunia.

2. Pembagian wilayah kerja dari Perusahaan Umum Perumahan Umum Nasional (PERUM PERUMNAS), Makassar berada pada wilayah 7.

3. Pembagian wilayah kerja PT. Pertambangan Minyak Nasional (PT. PERTAMINA) Makassar berada pada wilayah 7.

4. Begitu pula dengan wilayah kerja P.T Telekomunikasi (P.T TELKOM) Makassar juga berada pada wilayah 7.

5. Pada bidang keagamaan, dahulunya Sulawesi Selatan terkenal sebagai Serambi Medinah, yang hanya saja istilah tersebut kurang dikenal baik bagi orang-orang Sulawesi Selatan sendiri maupun orang-orang yang di luar suku Sulawesi Selatan. Demikian juga bahwa Sulawesi Selatan terkenal dengan tokoh agamanya yang mengajarkan agama yang dikenal dengan sebutan WALI PITU (WALI 7), yaitu Wali Allah yang berjumlah 7 orang. Meskipun sebenarnya Wali Allah itu yang ada di Sulawesi Selatan tidak hanya berjumlah 7 orang, melainkan banyak dan hidup pada waktu yang berbeda, tetapi yang lebih dikenal itu berjumlah 7 orang. Sebagaimana di daerah Jawa yang dikenal dengan WALISONGO-nya (WALI 9). Hanya saja kalau kita mau membandingkan antara angka 7 dan angka 9, memang masing-masing mempunyai hikmah sendiri-sendiri.

Tetapi harus diingat bahwa banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-Hadits Rasul yang selalu merujuk kepada angka 7. Bahkan di daerah Cirebon pun terkenal dengan ADZAN 7. Menurut cerita orang-orang Cirebon bahwa dalam sejarah perjalanan para WALISONGO (WALI 9) pernah terjadi suatu peristiwa yang sebenarnya itu merupakan petunjuk bagi orang-orang Jawa akan kebenaran dan kekeramatan angka 7. Peristiwa itu terjadi di masa Sunan Gunung Jati yang ketika itu daerah Cirebon sedang terkena wabah penyakit yang banyak membunuh masyarakat Cirebon pada waktu itu. Kemudian sang Sunan mendapat petunjuk untuk menghilangkan wabah penyakit tersebut adalah dengan melakukan adzan secara serempak sebanyak 9 orang. Setelah dilakukan pembacaan adzan secara serempak oleh 9 orang, tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat keras disertai dengan jatuhnya 2 orang yang sedang adzan tersebut, hingga akhirnya ke 2 orang tersebut meninggal. Sehingga yang tetap hidup adalah berjumlah 7 orang. Tapi sumber lain mengatakan bahwa adzan 7 tersebut dilakukan agar masyarakat bisa mendengar suara adzan yang dilantunkan oleh 7 orang. Terlepas dari dua versi cerita tersebut, yang jelas bahwa hal tersebut adalah merujuk ke angka 7.

Beberapa hal menyangkut angka 7.

1. Dengan menghitung huruf sesuai jumlah huruf yang tertulis.
o Karbala, tanah tempat pembantaian keturunan Cucu Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Husain as. beserta beberapa pengikutnya.
Yatsrib, nama kota Madinah dahulu kala.
o Madinah, nama kota tempat Rasulullah saw berhijrah dan membangun masjid pertama.
o Amerika, negara adidaya yang mengklaim dirinya sebagai Polisi Dunia.
o Vietnam, negara yang pernah mempermalukan Amerika dalam Perang Vietnam.
o Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun.
o Jakarta, ibukota negara Indonesia.
o Titanic, kapal terbesar yang tenggelam pada tahun 1912.
o Nasakom, merupakan paham yang pernah ditawarkan Presiden Republik Indonesia yang pertama Ir. Soekarno untuk menyatukan gerakan Nasional-Komunis-Agama untuk bersatu dalam menentukan nasib bangsa Indonesia, namun mendapat tantangan dari berbagai pihak.
o Ambalat, merupakan daerah perbatasan antara Indonesia yang diklaim oleh Malaysia sebagai daerah miliknya.
o Tsunami, termasuk bencana alam yang paling ditakuti oleh seluruh manusia. Bencana ini pernah menimpa saudara kita di Aceh 26 Desember 2005 dan merupakan bencana terbesar di dunia dalam beberapa ratus tahun terakhir.
o Al Qaeda, pejuang Islam yang disebut sebagai teroris dunia.

2. Huruf yang sama dihitung sebagai satu huruf.

o MC Donald, tempat yang sangat digandrungi oleh konsumen makanan siap saji.
o Presiden, jabatan tertinggi dalam suatu negara.
o Reshuffle, isu marak dalam suatu pelaksanaan pemerintahan yang merupakan hak mutlak seorang Presiden dalam merombak kabinetnya. Dan masih banyak lagi seputar tempat dan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita dari dulu hingga kini.
Peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan 574. “Adam Air” sendiri terdiri dari 7 huruf. Kalau kita berlandaskan hadits Nabi yang berbunyi: “Sebaik-baik urusan adalah yang di tengah-tengah”, maka nomor penerbangan Adam Air tersebut merujuk ke angka 7. Dan kalaulah kita membuka Al Qur’an sebagai “Petunjuk bagi orang yang bertakwa”, maka surah ke 7 jatuh pada Surah Al A’raaf. Al A’raaf artinya adalah “Tempat Yang Tinggi”. Nah bukankah pesawat Adam Air jatuh dari tempat yang tinggi ? Kejadiannya di bulan Januari yang juga terdiri dari 7 huruf dan pada tahun yang juga merujuk ke angka 7, yaitu 2007.

Demikian juga dengan jatuhnya pesawat Garuda pada tanggal 7 Maret 2007 di Jogjakarta. Tanggal dan tahunnya merujuk ke angka 7. Bahkan kata “Garuda” sendiri yang dimulai dari huruf G dimana huruf G bila dihitung berdasar deret hitung, maka huruf G jatuh pada hitungan ke 7. Pada kecelakaan tersebut stasiun TV yang pertama meliput adalah Courtesy Channel 7 Australia.

Tentang huruf G, bukankah lambang negara Indonesia adalah Burung Garuda. Bangsa Indonesia lama dipimpin oleh Orde Baru di bawah tangan Golongan Karya (Golkar). Banyaknya terjadi bencana alam di Indonesia adalah bencana Gempa Bumi.

Berbentuk Huruf K

Pulau Sulawesi merupakan salah satu dari sekian ribu pulau yang ada di seluruh dunia, yang jika dilihat dari bentuk fisiknya menyerupai huruf “K” ini, tentunya tidak begitu saja terbentuk.

Pembentukan pulau Sulawesi atau pulau-pulau yang lain, bukan merupakan hal yang kebetulan terjadi, tetapi semua hal tersebut merupakan rancangan ilahi yang pasti mempunyai maksud dan tujuan bagi manusia.

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main, Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.(Ad Dukhaan: 38-39)

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”.(Al Baqarah: 269)

“Dan bumi serta penghamparannya” (Asy-Syams: 6)

Mengapa pulau SULAWESI terbentuk mirip dengan huruf K? Adakah hikmah di balik terbentuknya?

Menurut para ahli Geologi, bahwa terbentuknya pulau Sulawesi yang terjadi secara alamiah oleh proses alam, memang berbeda dengan proses terbentuknya pulau-pulau yang lain di Negara Kepulauan Nusantara ini, bahkan hanya beberapa pulau di dunia yang mempunyai kesamaan dalam proses terbentuknya. Pulau Sulawesi terbentuk dari proses Endogen, yaitu proses yang terjadi karena adanya Pengangkatan dari dalam perut bumi. Artinya pembentukan pulau Sulawesi terjadi dengan sendirinya, tidak seperti pulau-pulau lain yang proses pembentukannya merupakan hasil Patahan/Pelepasan Daratan dari suatu Daratan Utama/Benua. Seperti pulau Jawa yang dulunya bersatu dengan pulau Sumatra dan bersatu dengan Malaysia terus ke daratan Asia.

Pulau Kalimantan dulunya bersatu dengan sebagian daerah Malaysia terus ke Philipina terus ke daratan Asia. Pulau Maluku dulunya bersatu dengan Irian Jaya (kini Papua) bersatu dengan Papua New Guinea terus ke daratan Australia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya persamaan flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) di antara masing-masing wilayah tersebut. Berbeda halnya dengan pulau Sulawesi yang memang dulunya terbentuk dengan sendirinya dari proses Endogen. Jadi pulau Sulawesi terbentuk bukan dari proses perpisahan daratan oleh proses alam dari dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia apalagi benua-benua lain. Hal ini terbukti dari ada beberapa jenis flora dan fauna yang tidak ada samanya di dunia, sebagai contoh hewan Anoang (sejenis hewan Rusa) dan hewan Kerbau Belang (Tedong Bonga) di Tana Toraja.

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah”. (QS. Shaad: 27)

Apakah proses Pengangkatan dari perut bumi itu merupakan Tanda bahwa Orang-orang Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan akan terangkat derajatnya ? Dalam hal apa ? Atau adakah sesuatu kebenaran yang Allah SWT akan mengangkatnya ke permukaan bumi ini? Wallahu a’lam.

Bukankah beberapa peristiwa penting seperti pertikaian di Ambon, Palu dan Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka-nya (GAM = merujuk ke huruf G) setidaknya bisa diredam dengan turun tangannya beberapa orang Sulawesi Selatan. Untuk penyelesaian masalah GAM sendiri harus diadakan perjanjian damai di Helsinki (7 jenis huruf).

Kalau benar bahwa sesuatu kebenaran akan terangkat atau muncul di atas daratan pulau Sulawesi khususnya pada Sulawesi Selatan yang beribukotakan Makassar ini, maka hal itu sangatlah sesuai dengan arti dan makna dari nama “Makassar” itu sendiri. Nama Makassar berasal dari kata “Mangkasara” yang artinya “Menjelma” atau “Mewujud”. Sebenarnya nama Makassar sendiri banyak versi asal-muasalnya, namun semua versi itu menujukkan satu arti, yaitu “Menjelmanya ajaran Islam” di tanah Sulawesi Selatan, yaitu di Kerajaan Tallo-Gowa.

Kota Makassar sendiri dinyatakan lahir pada tahun 1607.
Walaupun nama Makassar pernah berubah menjadi Ujung Pandang (7 jenis huruf), namun nama Makassar kembali disahkan oleh Presiden (7 jenis huruf) RI, yaitu Bapak BJ Habibie, yang biasa dipanggil Pak Habibie (7 huruf).

Huruf K yang tampak pada bentuk pulau Sulawesi, tentu mempunyai hikmah. Salah satu hikmah yang terkandung mungkin merupakan kependekan dari sebuah kata yang mempunyai arti yang melambangkan sebuah isyarat dari Sang Penguasa Alam Jagat Raya ini.

Hikmahnya

Setiap orang yang diutus oleh Allah untuk membawa dan mengajarkan kebenaran, berarti dia adalah “Utusan” atau “Khalifah” yang artinya “Pengganti”. Siapakah yang digantikannya? Yaitu yang “Mengutusnya”. Kalau yang mengutusnya adalah “Raja”, berarti orang yang diutusnya pun adalah “Raja”, artinya “Khalifah Raja” atau “Pengganti Raja”. Nah sekarang siapakah yang akan menyangka bahwa suatu saat kelak Bahasa Inggris akan menjadi Bahasa Internasional. Berarti huruf “K” adalah “KING” artinya “Raja”.

Hampir semua bahasa di muka bumi ini yang kata-katanya dimulai dari huruf K, berarti “Raja” atau “Pemimpin” atau “Pemerintah / Pemberi Perintah”.

Bagi orang Jawa
Bagi orang Makassar
Bagi orang Bugis
Bagi orang Maluku
Bagi orang Papua
Bagi orang Inggris
Bagi orang Belanda
Bagi orang Jerman
Bagi orang Jepang
Bagi orang Cina
Bagi orang India
Bagi orang Mongolia
Bagi orang Yunani
Bagi orang Iran
Bagi orang Arab K berarti Kanjeng (Gelar Raja), Kyai (Ulama), Ki Semar (Orang Yang Bijaksana),
K berarti Karaeng (Raja)
K berarti (To) Karajae ((Orang) Yang Diagungkan)
K berarti Kulano (Raja)
K berarti Korano atau Kendor (Raja)
K berarti King (Raja), Knight (Kesatria)
K berarti Koningin (Raja atau Ratu)
K berarti Konig (Raja)
K berarti Kokuoo atau Kizoku (Raja)
K berarti Kwang Im (Dewi Kasih Sayang), Kung/Kun (Ilmu)
K berarti Khresna (Dewa Kedamaian)
K berarti Khan (Agung)
K berarti Kaisar (Raja)
K berarti Kisra (Raja)
K dapat ditafsirkan sebagai KUN.

KUN adalah Kata Perintah (Fi’il Amr) yang artinya “Jadilah”. Maksudnya bahwa Kata Perintah itu bukan hanya ditujukan pada proses penciptaan sesuatu yang merupakan Hak Mutlak Dia. Tetapi Dia akan mengutus seorang manusia untuk “Pembawa Perintah” untuk mengarahkan atau menjadikan manusia untuk kembali kepada jalur kebenaran sesuai Al Qur’an dan Al Hadits.

Jadi orang tersebut akan datang untuk membangun masyarakat yang Karim (Mulia) dan menghancurkan masyarakat yang Kafir (Ingkar). Kata Karim dan Kafir keduanya merujuk ke huruf K.

Dalam Al Qur’an sendiri banyak sekali kata-kata yang mempunyai arti yang khusus yang dimulai dengan huruf K, seperti kata “Kursiy” yang artinya “Singgasana” dalam Ayat Kursiy, kata “Kahfi” (Nama Goa tempat dimana 7 orang Pemuda yang ditidurkan oleh Allah SWT selama kurang lebih 309 tahun) dalam Surah Al Kahfi.

Bagi seorang dokter K berarti Vitamin K, yaitu vitamin yang berguna dalam pembekuan darah. Bila terjadi luka yang mengakibatkan darah mengalir, maka Vitamin K inilah yang bertugas untuk membekukan darah agar membendung darah yang banyak keluar.
Bagi pecandu ikan hias K berarti Koi, yaitu sejenis ikan hias yang bagi orang Jepang melambangkan “Kebangkitan” dan “Cinta Kasih”. Dan masih banyak lagi.

Berdasarkan keterangan dari awal sampai akhir, cobalah kita amati gambar Masjidil Haram di Mekkah dan hubungannya dengan gambar/sketsa kepulauan Nusantara (Indonesia).

Indonesia Timur Tengah

berdasarkan deret hitung, huruf K jatuh pada deret ke 11 dan huruf Kaf ( ) dalam bahasa Arab, jatuh pada deret ke 22, jadi anggaplah angka 11 dikali dengan angka 2 (sebagai simbol Dua Kalimat Syahadat) maka:

11 x 2 = 22

Dua Kalimat Syahadat terdiri dari 7 kata Suci , jadi bila ditulis secara acak maka akan menjadi :

kenapa sulawesi tidak berbentuk huruf Kaf ( ), tetapi berbentuk huruf K, mungkin ini petunjuk dari Allah SWT bahwa ada "sesuatu" yang akan "diangkat" atau "dimunculkan" atau "di jelmakan" dari Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan yang ada hubungannya dengan bangsa Arab sebagai sumber Agama Islam, Wallahu A'lam.

Cobalah kita tengok para pemain Olah Raga sepak bola, rata-rata yang bernomor punggung 7 dan 11 yang sering menjadi momok bagi lawan-lawannya.

Pulau Sulawesi mempunyai kemiripan dengan salah satu pulau yang terletak di kepuluaan Maluku. Hanya saja ukurannya yang sangat jauh berbeda. Dari bukti sejarah, dahulu kala di masa-masa berdirinya kerajaan, kerajaan yang ada di Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kerajaan di Maluku. Mereka bagaikan dan bahkan memang bersaudara.

Kita coba melihat hikmahnya. Kita tentu sudah pasti mengetahui Sabda Rasulullah saw. yang menganjurkan kita untuk Shalat Sunnat Dhuha, yang dimulai dari jam 07.00 – 11.00. Berawal dari angka 7 dan berakhir dengan angka 11. Selisih waktu dari jam 7 ke jam 11 adalah 4 jam. Nah pulau Sulawesi utamanya Sulsel dan pulau Maluku yang bagaikan huruf K ini, sebenarnya asal-muasalnya juga terdiri dari 4 suku atau 4 kerajaan (kebangsawanan). Angka 4 melambangkan 4 unsur: Tanah, Air, Angin, Api, yang membangun tubuh manusia. Juga melambangkan 4 hal: Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma’rifat, yang membangun Islam. Kata Allah, Muhammad, Ahmad dan Islam dalam bahasa Arab pun terdiri dari 4 huruf Hujaiyyah.

Bahkan nomor kode untuk telpon interlokal daerah Makassar adalah 0411 ( 0 + 4 = 11). Angka 4 melambangkan 4 suku awal di Sulsel dan angka 11 melambangkan huruf K bentuk pulau Sulawesi itu sendiri. Angka 0 mungkin melambangkan suatu angka yang masih belum jelas keadaan dan keberadaannya. Artinya bahwa angka 7 yang dilambangkan dengan angka 0 adalah merupakan angka yang masih misteri. Dan masih banyak lagi.

Sulawesi ( bagaian Selatan) terdiri dari : Suku Tana Toraja (Tator), Suku Makassar, Suku Bugis dan Suku Mandar. Dari keempat suku tersebut, Suku Tana Torajalah yang sangat tertua yang dalam sejarah dikatakan sebagai penduduk asli pulau Sulawesi. Hingga kini para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui dari mana sebenarnya datangnya orang-orang Tana Toraja ini yang sudah lama mendiami daratan Sulawesi khususnya bagian selatan. Sebab sangatlah aneh jika hanya orang-orang Tana Toraja saja di Nusantara bahkan Asia Tenggara dan sekitar Asia lainnya yang bisa mengawetkan mayat seperti di Mesir. Bahkan bisa menjalankan mayat seperti di negeri China. Ukiran dan manik-manik perhiasannya pun sama tuanya dengan manik-manik yang ditemukan di Pegunungan Himalaya.

Begitu pula dengan Maluku terdiri dari 4 suku atau 4 kerajaan, yang dikenal dengan sebutan “Maluku Kie Raha”. Artinya “Maluku 4 Kerajaan (Gunung)”. Kata “Kie” sendiri yang artinya “Empat” merujuk ke huruf K. Empat kerajaan itu adalah: Jailolo, Bacan, Tidore dan Ternate. Untuk lebih jelasnya silahkan mempelajari sejarah Maluku Kie Raha.

Bila dihitung berdasarkan deret hitung, maka huruf K akan jatuh pada deret hitungan ke 11. Kalau berbicara mengenai angka 11, kita tentu teringat dengan 12 orang murid Nabi Isa as. yang berkhianat salah satunya yang bernama Yudas Escariot, sehingga tinggal 11 orang. Begitu pula dengan 11 orang saudara Nabi Yusuf as. yang membuang dan meninggalkannya di dalam sumur tua. Begitu pula dalam hadits Rasulullah saw. pernah berpesan bahwa barangsiapa yang membaca Al Ikhlas sebanyak 11 kali setelah Shalat Subuh, maka syaitan tidak akan dapat menggodanya, walaupun syaitan bersungguh-sungguh merayunya. Di lain Hadits pun Beliau berpesan bahwa untuk mengobati orang yang sakit gila, maka bacakanlah 11 kali Ayat Kusiy ke dalam bejana lalu memandikannya, insya Allah akan pulih. Masih banyak seputar kemuliaan angka 11.
Kita tentu masih mengingat peristiwa hancurnya gedung menara kembar World Trade Centre di New York, Amerika pada tanggal 11 September 2001. September sendiri terdiri dari 7 jenis huruf, dimana tiga huruf “e” dihitung satu huruf. Menara kembar tersebut berdiri bagaikan angka 11.

Menurut Primbon Kejawen orang-orang Jawa, ada dikatakan bahwa:

“Akan ada muncul peradaban baru yang dibawa oleh bangsa berkulit sawo matang. Warna kulit lainnya sudah mendapatkan masa kejayaannya. Yang mewakili bangsa kulit sawo matang itu adalah Indonesia. Kejayaan itu akan dibawa oleh seorang pemuda yang akan muncul di Pertengahan Wilayah Indonesia. Pemuda itu akan keluar dari Indonesia pertama kalinya akan menuju ke wilayah Semar dan memasuki Pusar Semar. Pemuda itu akan dipilih oleh masyarakat karena kejujurannya dan mempunyai ilmu pemahaman yang tinggi. Pemuda itu disebut sebagai Kiyai Ketibal (Kiyai yang tidak memakai sendal). Artinya Kiyai yang dekat dengan rakyat”.

Kalimat bahwa Kiyai Ketibal (merujuk ke huruf K) akan muncul dari Pertengahan Wilayah Indonesia, kami melihatnya sebagai yang dimaksudkan adalah Sulawesi. Dan akan keluar pertama kalinya dari Sulawesi menuju ke arah Semar, dan memasuki Pusar Semar, berarti yang dimaksudkan adalah daerah Kalimantan. Adapun daerah yang disebut sebagai daerah Pusar Semar, masih belum jelas bagi kami, sebab ada empat daerah yang masuk dalam kategori sebagai daerah Pusar Semar, yaitu Bontang, Tenggarong, Samarinda dan Balikpapan. Tetapi kami lebih cenderung untuk mengatakan bahwa daerah Pusar Semar adalah “Bontang”, sebab kata “Bontang” terdiri dari 7 huruf. Jadi akan keluar pertama kalinya ke arah pulau Kalimantan (berhuruf awal K) dengan memasuki gerbang 7 (Bontang).

Seandainya pulau Kalimantan diganti dengan gambar Semar, maka nampaklah Tangan Semar seolah-olah menunjuk ke arah pulau Sulawesi.
Jadi kalau digambarkan akan nampak seperti gambar di bawah ini:

Berdasarkan ramalan Primbon Kejawen di atas, muncullah pertanyaan bahwa siapakah pemuda yang dimaksudkan tersebut dan dalam hal apa serta apa yang sebenarnya dibawa oleh dia sehingga dia dipilih oleh rakyat ? Dipilih jadi apa ? Mengapa harus keluar Sulawesi dan masuk ke daerah Pusar Semar (Kalimantan)? Kenapa tidak ke Jakarta sebagai Ibukota negara?

Jawabnya kita tunggu saja saatnya. Wallahu A’lam.

“Maha suci Allah yang telah menjadikan khazanah- khazanahNya antara Kaf dan Nun.” (Hadits)

Lontara Pananrang

Lontara Pananrang

PANANRANG TASSIPARIAMAE (8 TAHUN)

1. Taung Alipu : 1 tetti’na = salasa naomporang Muharram, maraja namaponco bosinna, masero lempe’na, biasa malise pattaungenna, jaji buana ase nenniya taneng-tanenge rilalenna tassipariamae. Iyanae taung kaminang masahoro na malise nenniya madeceng pattaungenna. Jaji asseddinna pallontara pappananrangnge iyanaro naripancaji pammulataung rilalenna sipariamae (8 taung).

2. Taung H : 5 tetti’na = sabtu naomporangnge muharram, lalo tengnga pattaungenna, masero bosinna, makurang sokku biasa taneng-tanengnge, ajung kajung mabbuai, lalo tengngai buana ase (wasesae-singaseri), biasa sawei lasa-lasae, masero kecce’e.

3. Taung Jim : 3 tetti’na = kammisi naomporang muharram, situju-tuju bosinna, maponco bare’na, lalo tengnga pattaungenna, jaji buana taneng-tanengnge, iyakiya makurang sokku buana wesesae, bettuanna makurang lise’na galungnge, biasa mapella keadaanna rupataue, parellui ritu simata tomatike, nasaba maega anana mate, masempoi balu-balu’e sibawa anu rianre.

4. Taung Zei : 7 tetti’na = aseneng naomporang muharram, masero bosinna, maraja lempe’na, biasa riengngala riuwae asewe, biasa makkasolang balawoe, lalotengnga buana wesesae (ase), biasato masero lette, tau malasae magattimui paja.

5. Taung Daleng Riolo : 4 tetti’na = juma’i naomporang muharram, lalo tengnga bosinna, maponco bare’na, jaji buana taneng-tanengnge, biasa masala buana wesesae, biasa masala buana wesesae, iyakkeppaha engka saisana pallontarae masengngi taung makapa namalamung peri’na ripapole wassele’e namasero pellana tikkana, narekko taddapini lamattanetelangi biasa ritu duppai arelle tauwe, jaji buana taneng-tanengnge, maseroto kecce’e, masempo dalle’i pakkere’e.

6. Taung Ba : 2 tetti’na = araba naomporang muharram, kerengngi kecce’e, bosinna biasa masero ritasi’e sibawa ripottanangnge nenniya lempe’na maseroto. Biasa senna masala wesesae, biasa duppa warelle tauwe, jaji lise’na taneng-taneng makkalolo’e, lalotengnga buana taneng-taneng mallice-lice’e, pella tikkana biasa temmaka serona, maega senna pattellarenna, iyanaritu taung bawang, bali taung, taung barelle, taung balesui (taung makkasolang), de’to namadeceng buana ajung kajungnge (majarang), biasa masempo anu rianre, saweto lasa-lasae.

7. Taung Wau : 6 tetti’na = aha’i naomporang muharram, biasa masero basinna, maraja lempe’na, masero kecce’e, lalotangnga pattaungengnge (ase) biasa manre balisue, biasa riengngala maruwae ase, saweto lasa-lasae, peddi matae, maega urane makkandang tau mattampu, biasato mapella keadaangnge.

8. Taung Daleng Rimunri : 4 tetti’na = juma’i naomporang muharram, lalo tengnga pattaungenna, maponco bosinna, madodong anginna, makurang lempe’na, masero tikka’e, jaji buana taneng-tanengnge, anging bare’e biasa ritu maladde akkasolanna, biasa duppa arelle tauwe, narekko mate ului bare’e, wesesae biasa jaji biasa to sala, masempoi dalle’na pakkere’e, biasato masero hawa kecce’e, biasa mapella keadaangnge.

PAPPAKAINGE

Narekko mattajengngi bosi mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna uleng Muharram naengka mua bosie namasero, namaraja lempe’na, mannessani ritu tuoulumi pattaungnge namaega mua bosinna rilalenna ritu.

Jaji madeceng manengmui uruwaena tungke-tungke pananrangnge rilalenna sitaungnge ritu. Naiyamua narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna namadodong, maponco bosinna, madodong maponco’to bosinna pananrangnge, mabaiccu’to lempe’na.

Narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge ritu mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna nade’siseng bosinna, mappannessani ritu mateului pattaungengnge, jaji weddingngi jaji timo’e, iyarega serangnge iyanaritu ittana 3 uleng, 5 uleng, 7 uleng, iyarega timo 9 ulengna. Makkutoparo de’nappabbati sangadinna elonapa Puangnge Jaji, Amin, Wassalam...

PAPPAKAINGE

1. Naiya riasengnge Nakase Taung iyanaritu: sitaung nawawa akkasolanna, iga-iga tau missengngi narekko maelo’i pugau seddi hajat, pada-padanna maelo’i mappabbotting, biasa tomatoatta de’ nallorangngi ripugau, nasaba’ mabbiasa engka akkasolanna ritu.

2. Makkutoparo riasengnge Nakase Uleng (garutu) iyanaritu 3 uleng nawawa akkasolanna. Iga-iga tau maelo pugau seddi hajat iyarega jama-jamang pada-padanna mappabbotting iyarega maelo lao jokka-jokka mabela (lao sompe), biasa tomatoatta de’nallorangngi riougau nasaba mabbiasa engka ritu akkasolanna.

3. Nasaba engkanna akuasangenna Puang Allah Ta’ala, narimakkuannanaro biasa engka jaji bahaya narekko napugau’i tauwe rilalenna ritu (esso Nakase Taung sibawa Nakase Uleng (garutu).

OMPORENNA ULENG MADECENGNGE / MAJA’E AGI-AGI MAELO RIPUGAU RILALENNA RITU

1. Siwenni : esso anynyarang asenna, ana-ana jaji malampe sunge’i pegaui passurong Puang, matturu’i ripajajianna, masempo dalle’i nasaba esso ripancajinna Nabi Adam. Agi-agi pura tempeddingngi riappammulang.

2. Duampenni : esso jonga asenna, najajiangngi ana’ pertama, maupe’i namasiga mallakkai, apa iyanaritu naripancaji neneta Hawa. Agi-agi madecengnge wedding mua ripugau, rilaoangngi sompe, runtu’ki alabang, tapi de’ nawedding rilaoangngi mammusu.

3. Tellumpenni : esso macang asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Kabil ana’na Adam. Ana-ana jaji madorakai ripajajianna, maja’i riappabbottingeng, majai riattanengeng, rilaoangngi mabela nakennai sukkara, iyanaro naripassu’ Adam-Hawa pole ri surugana Puang Allah Ta’ala.

4. Eppa wenninna : esso meyong asenna, najajiangngi ana baraniwi, makessingngi riappanorang bine, tapi ompo 4-5-6-7-13-15-17 majai riappammulang mattaneng ase nasaba nanrei ule, makessing muto rilaoang mabela, narekko tau kawing pangkagarengngi nadenaullei massarang, narekko riakkalangngi inreng denariullei waja’i.

5. Lima ompo : esso kalapui asenna, najajiangngi ana madorakai ripajajianna, nakase’i de nawedding riappanorang bine.

6. Enneng ompo : esso tedong asenna, makessing mua rilaoang mabela, runtu’ki alabang, makessing muto rikawingang, najajiang ana tanra maccai mabbicara toriolo, pugau’i passurong Puang, tapi kasi-asiwi, makessingngi riangelliang tedong (saping) iyarega olo-kolo mawijai, makessingngi riakkabbureng wakke nasaba teai lobbang wakke’na ritu, makessing muto riappanorang bine (ase).

7. Pitu ompo : esso balawo asenna, tempeddingngi riakkalang inreng nasaba tenriullei waja’i, maja’ toi riellauang wae galung nasaba nanrei kare ase ritu, tapi makessingngi riakkebbureng pakkakkasa no’ ri salo’e/ri tasi’e, madeceng muto rikawingeng nasaba weddingngi sugi.

8. Aruwa ompo : esso sapingngi asenna, ana-ana jaji malomo patulungngi ripadanna tau, masempo dalle’i, madecengngi rikawingeng nenniya riappatettongeng bola nasaba mattiro camming asenna, madeceng muto rilaoang sompe (tega-tega), madeceng riappammulang balu-balu.

9. Asera ompo : esso asui asenna, madecengngi riappammulang mattaneng rigalungnge sibawa waena galungnge mappammula malaki’ wae galung, mauni sibotolo’ muna naripenre riakkeangnge, najajiangngi ana-ana madorakai ripajajianna sibawa ri Puang Allah Ta’ala. Narekko rikawingengngi malomoi massarang iyarega matei masitta makkunraie.

10. Seppulo ompo : esso nagai asenna, maja’i riappammulang mattaneng rigalungnge/ridare’e, makessing tosi rilaloang mangolo riarungnge, makessing riabbottingeng, najajiangngi ana’ maupe’i.

11. 11 ompo : esso bembe’i asenna, makessingngi nasaba iyanaritu nariputtama Nabi Adam ri surugae, najajiangngi ana’ turu’, maupe’i, malampe sunge’i napugau’i passuroangna Puang Allah Ta’ala.

12. 12 ompo : esso gajai asenna, temmagagai tau laloe, toriwelaiye, tau ripoleiye nasaba iya najajiang Nabi Muhammad SAW, najajiang ana maupe’i pogau’i passuroang, madeceng riappanorang bine, agi-aginna madecengngi nasaba barakka’na Nabitta Muhammad SAW.

13. 13 ompo : esso singa asenna, nakase’i (maja’i) nasaba esso ritununna api Nabi Ibrahim, ripakkerina Raja Namrud, najajiangngi ana mabbiasai ujangeng, rilaoangngi mabela biasai nakennaki lasa ritengnga laleng atau mateki rilaotta.

14. 14 ompo : esso serigala asenna, sininna jama-jamang madecengnge salama’i ripugau, makessingngi rilaoang mammusu, dangkang, sibawa rikawingeng nasaba iyanaritu narijajiang Nabi Sulaiman, najajiangngi ana sugi’i.

15. 15 ompo : esso iti asenna, ana-ana jaji pogau’i passuroang, naniriwi pappesangka, turu’i ripajajianna, riammasei ri padanna tau, macanti’i tappana nasaba najajiangnge Nabi Yusuf, tempeddingngi riappatettongeng bola nasaba teyai nasalai lasa punnana, rilaoangngi sompe nakennaki lasa atau halangeng.

16. 16 ompo : esso bawi asenna, nakase’i nasaba esso ribuanna Nabi Yusuf rikalebbongnge ri padaranena, ana-ana jaji ujangengngi, agi-agi maja’i ripugau kecuali mattaneng ikkaju ki’, mabbuai, madecengngi riakkabbureng onrong doi’ teyai lobbang.

17. 17 ompo : esso jarakenniai asenna, madecengngi rilaoang mangolo riarungnge, rilaoang madduta teyai tenritarima, rilaoangngi riwanua laingnge madecengngi.

18. 18 ompo : esso balipeng asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Nabi Isa, najajiangngi ana macanti’i, iyatonaro naripancaji matanna essoe, salama’i rilaoang mabela atau sompe, narekko jajiang ana napeddiri ati tomatoanna, tapi pogau’i passuroang Puang Allah Ta’ala.

19. 19 ompo : esso lancengngi asenna, najajiang ana pogau’i passurongna Puang Allah Ta’ala, malomoi sugi, malomo atiwi ripadanna tau sibawa ripajajianna, esso najajiangnge Nabi Yakub, makessingngi rilaoang dangkang.

20. 20 ompo : esso ula’ asenna, makessing ladde rilaoang madduta, najajiangngi ana teyai tessugi, esso najajiangnge Nabi Ismail.

21. 21 ompo : esso tau asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Fir’auna, tau rigellie ri Puang Allah Ta’ala, narekko riappattettongengngi bola teyai tennanre api, narekko riappammulangngi tennung atau riassapparengngi tennung teyai tenriaddorang tau mate, ponco’na ada appakeng parewa agi-agi aja’na naripammulai, kuaenna parewa bola tempeddingngi riala, pada-padai narekko ompo siwenniwi akerekenna.

22. 22 ompo : esso aloi asenna, narekko anu madecengmua, salama’i ripugau’, esso naripancajianna malaika’e, najajiangngi ana tanra turu’i ripajajianna, turusitoi passurong Puang Allah Ta’ala, salama’i rilaoang sompe, rilaoangngi mammusu ricau’i balie, ko ‘idi rilaoi idi tosi ricau’.

23. 23 ompo : esso incale asenna, makessingngi riabbottingeng, sawei mawase’ki, riangelliang appakeng temmaradde’i ridi, tapi makessingngi riangelliang balu-balu, magatti’i tarala namakessing sarona.

24. 24 ompo : esso balipengi asenna, makessingngi riappabbottingeng, najajiangngi ana masempo dalle’i nasaba timunnami kedo jajisi pattujunna, makessingto riangelliang alo-kolo nasaba mawijai ritu.

25. 25 ompo : esso balawoi asenna, nakase’i nasaba nakennai lupu kampongnge, pituttaungngi tika, najajiangngi Nabi Ibrahima, ana jaji matturu’i ri Puang Allah Ta’ala sibawa topajajianna, narekko riappabbottingengngi teyai temmassarang, pangkagarengngi mallaibine, makessingi rilaoang massinge pappainreng nasaba teyai tenriwaja, mauni maega muna.

26. 26 ompo : esso serigala asenna, makessingi rilaoangngi sompe, riabbotingengngi ana jawiji sugi, makessing riattanengeng agi-agi makessing maneng mui ri jama.
27. 27 ompo : esso Nabi asenna, makessingngi rilaoang mabela, riappangujuang menre ritana Mekkah, makessingto riappanorang bine, riappattettongeng bola, riakkalang inreng nasaba masitta’i riwaja, riappakkennang pangulu bangkung, passorong bessi, riakkabbureng addeneng, massuro mallanro kawali tappi.

28. 28 ompo : esso kalapu asenna, najajiang ana pogau’i passurong, makessingngi riakkabbureng wakke olokolo nasaba mawijai, makessing to riabbottingeng.

29. 29 ompo : esso sikadongngi asenna, madeceng riallantikeng tomapparenta nasaba mattuppu batui batena mapparenta, madeceng to riangelliang balu-balu nasaba magatti’i taralla, naekiya maja’i riangelliang appakeng nasaba nalai pelolang atau tabbei, madecetto rilaoang sompe, riattanengeng, agi-agi jama-jamang madeceng manengi ritu.

30. 30 ompo : esso manu asenna, makessingi rilaoang dangkang nasaba salama’i iyatonaro naripaturung dalle’e risininna ripancajie, makessingngi riellau doangeng rimunri sempajang assara’, iyatonae esso kaminang macoa, appettung bicaratoi sininna pananrangnge rilangi’e, ana jaji malampe sunge’i namasempo dalle’i napugau’i passuroanna Puang Allah Ta’ala, iyatona riaseng tepu lotong.

Dalam Versi Bahasa Indonesia.

Lontara’ Laongruma adalah naskah yang memuat tentang tata cara bercocok tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi. Naskah ini juga memuat tentang prakiraan serangan hama tanaman bila ditanam pada waktu tertentu dalam bulan-bulan tertentu, dan bahkan juga dapat diprediksi musim-musim wabah penyakit (sai =Bugis).

Naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan, menurut jenis dan isinya dapat dikategorikan sebagai berikut :

• Lontara’ Patturiolong/ade’ (memuat tentang aturan-aturan hukum dalam hubungan sosial kemasyarakatan),
• Lontara’ Pabbura (memuat tentang ramuan-ramuan obat/obat-obatan),
• Lontara’ Bilang (memuat tentang catatan harian/agenda peristiwa penting dalam kerajaan),
• Pappaseng (memuat tentang pesan-pesan/nasehat orang-orang bijak),
• Kutika (memuat tentang waktu/hari yang baik dan buruk atau tentang nasib dan peruntungan),
• Lontara’ Laongruma/Pananrang (memuat tentang tata cara bercocok tanam, iklim dan curah hujan). (H.Johan Nyompa, 1986: 4)
Ompona Muharram = Terbitnya bulan Muharram.

Apabila terbitnya bulan muharram jatuh pada:

1. Hari Sabtu; maka musim dingin akan panjang, panen padi melimpah ruah, dan tentram kerajaan.

2. Hari Ahad; musim sangat dingin terutama yang tinggal dibantaran sungai, serta buah-buahan melipah ruah.

3. Hari Senin; wabah penyakit meraja lela, banyak orang yang meninggal, kurang curah hujannnya, banyak orang yang melahirkan anaknya laki-laki, terjadi keresahan atau kesusahan dalam kampong.

4. Hari Selasa; tidak ada hasil pada musim timur, banyak curah hujan dan petirnya, banyak orang yang sakit akan tetapi tidak sampai meninggal.

5. Hari Rabu; musim dinginnya kurang, mudah mencari reseki.

6. Hari Kamis; tidak ada hasil pada musim timur, banyak orang yang melahirkan dan buah-buahan melipah.

7. Hari Jumat; para pedagang bakal meraup keuntungan besar, bahkan semua orang meskipun yang lemah juga tetap ada reskinya, hasil panen juga melimpah, serta buah-buahan juga melimpah.

Penanggalan hari satu sampai tiga puluh :

1. Tanggal 1;Esso annyaranngi; tidak baik untuk merantau, baik untuk urusan pemerintahan, hari kelahiran Adam

2. Tanggal 2 ; Esso jongai asenna; baik untuk perkawinan, baik untuk jualan, hari kelahiran Hawa

3. Tanggal 3 ; Esso sikui asenna; tidak baik untuk semua jenis pekerjaan,

4. Tanggal 4 ; Esso meongngi asennna; baik untuk membangun rumah, pernikahan

5. Tanggal 5 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan tidak baik, tenggelamnya nabi Nuh

6. Tanggal 6 ; Esso tedongngi asenna; baik untuk pembelian kerbau, tidak baik untuk merantau, dan membeli pakaian

7. Tanggal 7 ; Esso balawoi asennna; bila beutang tidak dapat diabayar

8. Tanggal 8 ; Esso Banua alipengngi asennna; baik untuk bepergian, pernikahan.

9. Tanggal 9 ; Esso nagai asenna; bagus untuk bepergian

10. Tanggal 10 ; Esso nagai asenna; baik untuk meratau, mendirikan rumah, menanam

11. Tanggal 11 ; Esso macangngi asenna; hari masuknya surga Nabi Adam, baik untuk kembali ke pantai

12. Tanggal 12 ; Esso macangngi asenna; baik untuk jaual-jualan

13. Tanggal 13 ; Esso gajai asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.

14. Tanggal 14 ; Esso pulandoi asenna; baik untuk semua pekerjaan keculai merantau

15. Tanggal 15 ; Esso balei asenna; baik untuk membuat perahu

16. Tanggal 16 ; Esso bawi asenna; baik untuk menanam dan tidak dengan yang lainnya

17. Tanggal 17 ; Esso jarikaniai asenna; baik untuk semua pekerjaan termasuk merantau, melamar, menghadap Raja.

18. Tanggal 18 ; Esso balipengngi asenna; baik untuk merantau, pernikahan, mendirikan rumah, dan menanam.

19. Tanggal 19 ; Esso lawenngi asenna; bagus untuk melamar

20. Tanggal 20 ; Esso ala-alai asenna; baik untuk melamar orang akan senang menerima kedatangan kita.

21. Tanggal 21 ; Esso nahase; kurang kebaikannnya

22. Tanggal 22 ; Esso assiuddaningeng asenna; baik untuk merantau, mendirikan rumah, pernikahan, dan menanam

23. Tanggal 23 ; Esso ilesso’I asenna; baik untuk merantau, menanam, pernikahan, dan tidak baik untuk yang lain.

24. Tanggal 24 ; Esso pariai asenna; kurang kebaikan

25. Tanggal 25 ; Esso Pasessoroa asenna; kurang kebaikan

26. Tanggal 26 ; Esso suniai asenna; baik untuk merantau,menanam, kalau berutang akan cepat dibayar, baik untuk nelayang

27. Tanggal 27 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar

28. Tanggal 28 ; Esso Alapung asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar

29. Tanggal 29 ; Esso itii asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.

30. Tanggal 30 ; Esso nanu’ asennna; baik untuk menebang kayu, tidak dimakan rayap, kalau ada anak yang lahir akan murah reskinya.

Dalam lontara pananrang, setiap hari mulai jumat sampai kamis dibagi kedalam lima waktu yaitu :

1. Pagi,
2. Antara pagi dan tengah hari (abbue-bueng),
3. Tengah hari,
4. Lewat tengah hari,
5. Sore hari.

Tuesday, September 27, 2011

Primbon Lontara Bugis

( Bagian 1 )

Primbon yang disadur dari bahasa Jawa, yang berarti peruntungan, ternyata juga dipakai oleh orang Bugis di masa lalu, sebagai pedoman untuk menentukan bulan serta hari-hari baik untuk melakukan suatu kegiatan atau memulai suatu pekerjaan. Primbon versi Bugis ini, banyak dipengaruhi oleh budaya Islam dalam menentukan suatu pedoman, dengan memakai penanggalan Islam, serta jumlah hari yang ditentukan dengan peredaran bulan.

Primbon ini lebih akrab di masyarakat Bugis disebut sebagai Lontara, karena dulunya ditulis di atas daun lontar atau enau. Lontara tersebut telah disimpan bertahun-tahun oleh keluarga H. Syamsuddin, yang menurutnya, merupakan peninggalan nenek moyangnya yang berada di kabupaten Bone.

“Nenek kami dulunya adalah salah satu panrita (ulama) di kerajaan Bone” ujar H.Syamsuddin ketika ditemui MITOS di kediamannya, di Angkona kabupaten Luwu Timur. Dan dengan sukarela mengartikannya kepada MITOS untuk disampaikan sebagai salah satu pedoman hidup untuk masyarakat Sulawesi Selatan.

Adapun isinya adalah sebagai berikut :

Pedoman setiap bulan

1. Bulan Muharram
- Tidak bisa mendirikan rumah
- Tidak bisa melaksanakan pernikahan : Kalau dilaksanakan sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga.

2. Bulan Safar.
- Baik untuk mendirikan rumah : Selalu mendapat rezeki tiada henti.
- Apabila dilaksanakan pernikahan rezeki selalu melimpah

3. Bulan Rabiul Awwal
- Apabila mendirikan rumah tidak pernah putus mendapatkan kesukaran hidup
- Seringkali mendapat duka cita.
- Apabila dilakukan pernikahan selalu mendapat kesusahan hidup berumah tangga.

4. Bulan Rabiul Akhir.
- Bagus untuk mendirikan rumah, selalu mendapat rezeki yang tiada henti.
- Apabila dilakukan pernikahan selalu berselisih faham antar suami dengan istri.

5. Bulan Jumadil Awwal.
- Apabila dilakukan pernikahan akan cepat akrab dan mesra
- Apabila mendirikan rumah akan murah rezeki.

6. Bulan Jumadil Akhir
- Apabila mendirikan rumah sering terjadi pertengkaran dalam rumah.
- Apabila dilakukan pernikahan akan murah rezeki.

7. Bulan Rajab.
- Apabila didirikan rumah sering terjadi kebakaran.
- Apabila dilakukan pernikahan akan cepat mendapat keturunan.

8. Bulan Sya’ban.
- Apabila mendirikan rumah rezeki tiada putus.
- Apabila melakukan pernikahan sering mendapat susah.

9. Bulan Ramadhan.
- Apabila mendirikan rumah, semua maksud akan tercapai / berhasil.
- Apabila dilaksanakan pernikahan akan menjadi melarat.

10. Bulan Syawal.
- Apabila mendirikan rumah, lambat selesai rumahnya. Walaupun cepat selesai namun sering terjadi
- Apabila dilakukan pernikahan akan sering terjadi pertengkaran.

11.Bulan Dzulkhaidah.
- Apabila mendirikan rumah, banyak memperoleh keturunan dan panjang umur.
- Apabila dilaksanakan pernikahan akan sering terjadi perselisihan dalam rumah tangga.

12.Bulan Dzulhijjah
- Bagus untuk mendirikan rumah.
- Apabila dilakukan pernikahan cepat mendapatkan harta.
- Apabila melakukan suatu kegiatan akan mendapat berkah.

Semua ini berpulang kepada Tuhan yang maha esa, ini hanya merupakan petuah dari orang-orang terdahulu yang pernah terjadi pada mereka secara berulang-ulang. Sehingga mereka memcatat kejadian tersebut diatas lontara untuk kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup. Tak salah kiranya kita sebagai anak cucu untuk menjadikan perbandingan bagi keselamatan dan kesejahteraan hidup kita

Thursday, September 22, 2011

The Lontara script

The Lontara script is descended from the Brahmi script of ancient India. The name lontara derives from the Malay word for the palmyra palm, lontar, the leaves of which are the traditional material for manuscripts in India, South East Asia and Indonesia.

Notable features

Type of writing system: syllabic alphabet / alphasyllabary
Direction of writing: left to right in horizontal lines
In common with other Brahmi-derived syllabic alphabets, each consonant has an inherent vowel [a], other vowels are indicated by adding diacritics above or below a consonant.

Used to write:

Bugis or Buginese (ᨅᨔ ᨕᨘᨁᨗ), Makassarese (ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ) and Mandar, Austronesian languages spoken on the Indonesian island of Sulawesi.

Both scripts were once used to write laws, treaties, maps, etc in Bugis, but are now only used for marriage ceremonies. The Makasar script is still widely used to write Makasar, although the Latin alphabet is officially favoured.

Lontara script for Bugis
Consonants


Vowels

Sample text in the Lontara script in Bugis

Sample text in Bugis (Latin alphabet)

Sininna rupa tau ri jajiangngi rilinoe nappunnai manengngi riasengnge alebbireng . Nappunai riasengnge akkaleng, nappunai riasengnge ati marennni na sibole bolena pada sipakatau pada massalasureng.

Translation

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.
(Article 1 of the Universal Declaration of Human Rights)

History

buginese (Basa Ugi, elsewhere also Bahasa Bugis, Bugis, Bugi, De) is the language spoken by about four million people mainly in the southern part of Sulawesi, Indonesia.

he word Buginese derives from the word Bahasa Bugis in Malay. In Buginese, it is called Basa Ugi while the Bugis people are called To Ugi. Ugi in Buginese means The First King which refers to the first king of the ancient Bugis kingdom, Cina.

Little is known about the early history of this language due to the lack of written records. The earliest written record of this language is Sureq Galigo, the epic creation myth of the Bugis people.

Another written source of Buginese is Lontara, a term which refers to the traditional script and historical record as well. However the earliest historical record of Lontara dates to around the 17th century and cannot be accepted as a reliable source of history since it was influenced by myths.

Prior to the Dutch arrival in the 18th[clarification needed] century, a missionary, B.F. Matthews, translated the bible into Buginese, which made him the first European to acquire knowledge of the language. He was also one of the first Europeans to master Makassarese. The dictionaries and grammar books compiled by him and the literature and folkfore texts he published remain basic sources of information about both languages.

But unlike most other Brahmic scripts of India, the Buginese script traditionally does not have any virama sign (or alternate half-form for vowel-less consonnants, or subjoined form for non-initial consonnants in clusters) to suppress the inherent vowel, so it is normally impossible to write consonnant clusters (a few ones were added later, derived from ligatures, to mark the prenasalisation), geminated consonnants or final consonnants.

Older texts, however, usually did not use diacritics at all, and readers were expected to identify words from context and thus provide the correct pronunciation. As one might expect, this led to erroneous readings; for example, bolo could be misread as bala by new readers.

DAM DAN HAWA MENURUT NASKAH LONTARA BUGIS

Naia apongenna taue Adameq
Naia rialae Adameg eppaq i
Seua ni tana tanana tana Hindi
Maddua na tanana Mekka
Mattelu na tanana
Tomporeng Kesso
Maeppaq na tanana
Mageribi


(Adapun asal manusia,
Adamlah dia
Yang diambil Adam, empat
Yang pertama tanah,
tanahnya Hindia
Yang kedua tanah Mekkah
Yang ketiga tanah Timur,
tempat Matahari Terbit
Yang keempat tanah Barat,
tanah Magribi

Maka diambil intinya
Lalu diambil intinya api,
intinya angin dan intinya air
Lalu oleh Jibril dibentukkan manusia,
Lalu oleh Allah Taala
Jibril disuruh menaruh nyawa
Maka jadilah nyawa Adam
Jibril disuruh membawa ke sorga
Dan tulang rusuk kiri Adam dicabut
dan dijadikan perempuan
Dia bernama Hawa
Mereka berdua dimasukkan sorga
Dan dibawa ke pohon Tobi.

Mereka melihat pohon Tobi itu
Iblis datang berkata: Hai Adam,
kok lama kamu di pohon Tobi
Mengapa tidak makan buahnya?
Aku yang disebut malaekat mulia
Allah Taala itu menyuruhmu agar
kamu makan buah itu
Karena tidak tahan keinginan,
dimakannya
Malaekat penunggu sorga datang
Memijit kerongkongannya
Leher Adam benjol
Hawa pun ikut bernafsu
karena pohon Tobi itu
Pohon Tobi berdarah
Maka mereka diusir dari sorga
Malaekat berkata pada Adam
Andai kamu kekal di sorga
seluruh anakcucu juga kekal di situ

Adam dimakan nafsu tanpa penutup
Hawa dimakan 9 nafsu
dengan 9 penutup
Maka Adam dan Hawa bernafsu
Hawa malu
Dia lari, sembunyi
Hawa tidak didapatkan Adam
sampai malam.)

Wednesday, September 21, 2011

PROSES PEMBUATAN KAPAL PHINISI


anah beru, tanah leluhur para arsitek perahu Phinisi. Di tanah inilah Panrita Lopi melahirkan karya besar mereka. Menciptakan perahu yang hingga saat ini masih melayari pesisir pantai nusantara. Dimuali dari awal sejarah Bugis klasik hingga zaman cybernetic perahu Pinisi tetap anggun meniti arus, membelah ombak menggapai pantai tujuan. Masih segar dalam ingatan ketika pinisi Amanagappa dengan gagah berlayar ke semenanjung Madagaskar. Juga Hati Herage dan Damarsagara yang berlayar ke Australia dan Jepang. Seolah ingin memperlihatkan pada dunia bahwa inilah anak bangsa yang telah menoreh kisah dalam lontara zaman berzaman. Sejenak, ingin rasanya berada di Bonto Bahari dan menyaksikan kepiawaian pencipta perahu-perahu handal yang dengan mahir melahirkan karya besar mereka. Sungguh, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa setiap jengkal badan perahu sarat dengan nilai falsafah.

Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal handal dalam arung samudra.

a. Proses Pencarian Bahan Dasar


Proses pencarian kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan kapal pinisi diawali dengan penentuan hari baik yang dipandang menguntungkan. Lazimnya, hari ini dipilih pada hari ke lima dan ketujuh bulan berjalan. Penentuan hari ini didasari oleh nilai filosofi yakni jika hari kelima maka itu berarti Naparilimai dale’na. Lima dalam bahasa bugis berarti angka lima yang juga berarti telapak tangan. Naparilimai dale’na dapat dimaknakan dale’ atau rezeki diharapkan nantinya akan berada ditelapak tangan. Atau dengan makna lain rezeki mudah dicari jika kelak perahu yang akan dibuat dimanfaatkan untuk mencari rezeki atau keuntungan. JIka dipilih hari ketujuh, maka itu berarti Natujuangenggi dalle’na. Natujuang dalam bahasa Bugis berarti diniatkan atau dapat pula berarti didapatkan. Natujuangenggi dalle’na memberi makna kemudahan dalam memperoleh dalle’ (rezeki) atau apa saja yang menjadi niat dihati maka apa yang diniatkan itu mudah didapatkan.

b. Pemilihan Pohon atau Kayu Yang Akan Dijadikan Bahan Dasar


Pemilihan kayu juga tidak dapat dilakukan secara serampangan, tapi dengan melalui proses pemilihan dengan penyelenggaraan ritual tertentu. Biasanya diawali dengan pemotongan ayam dan permintaan izin agar penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami pohon tersebut memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan perahu. Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan sekaligus, tidak boleh berhenti dikerjakan sebelum pohonnya tumbang. Karenanya, proses pemotongan yang lazimnya menggunakan gergaji dilakukan oleh laki-laki yang berbadan kuat.

c. Pemotongan Lunas


Pemotongan kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan tersendiri. Kayu bagian ujung yang dipotong dan tidak dapat dimanfaatkanakan dibuang kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini juga tidak boleh menyentuh tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara pengantaran ini lazim disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini melambangkan laki-laki yang melaut untuk mencari nafkah atau juga dapat diartikan sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan bagian belakang akan disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti kedatangan suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.

d. Penentuan Pusat Perahu


Penentuan bagian yang menjadi pusat perahu atau ini lebih menitik beratkan pada nilai filosofis yang terkandung didalamnya, yakni melambangkan kelahiran bayi perahu. Selanjutnya proses pengerjaan perahu dilaksanakan dengan dikomandani oleh seorang Ponggawa. Ponggawa ini pulalah yang bertanggungjawab terhadap proses pembuatan perahu secara teknis hingga selesai.

e. Proses Penyelesaian (Finshing)


Proses selanjutnya adalah menyiapkan teras dan buritan perahu yang menjadi badan perahu. Proses ini diawali dengan pemasangan lunas perahu yang kemudian dusul dengan pemasangan linggi depan dan linggi belakang. Barulah kemudian jika selesai disusul pemasangan papan yang menjadi diding lambung perahu. Secara berurut juga dipasang tulang dan gading perahu. Setelah proses pemasangan gading ini selesai perahu dipasangi balok-balok dinding dan dek. Jika semuanya rampung menyusul kamar perahu yang akan dikerjakan. Namun, perlu dijadikan catatan dalam proses pembuatan dan pemasangan beberapa bagian perahu, juga dikerjakan perekatan antara bagian yang menjadi komponen perahu. Perekatan ini dilakukan dengan memanfaatkan kulit pohon Barru dan dempul yang terbuat dari kapur dan minyak kelapa.

Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses pembuatan perahu hingga selesai.Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.

“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.


Dari proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki fungsi dalam menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :

1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada pada bagian depan kapal.
2. Sombala (layar utama) berukuran besar
3. Tanpasere (layar kecil) berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara (layar bantu depan).
5. Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6. Tarengke (layar bantu di belakang)


Kilas Sejarah Perahu Phinisi
Berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.

Dari sinilah awal munculnya mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi. Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat perahu pinisi.

Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.

Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.

Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.

Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.

Naskah Kuno Bugis dan Makassar

Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr. Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.


Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar menggunakan aksara Arab), dan tulisan Arab asli terutama untuk naskah keagamaan. Banyak diantara naskah tersebut sudah susah dibaca, baik yang naskah aslinya maupun microfilm-nya. Hal ini disebabkan karena naskah naskah tersebut sudah sangat rapuh, tinta yang digunakan juga sudah banyak meresap kedalam kertasnya, ada juga yang halamannya sudah ada yang hilang atau sobek.


Di kantor Perspustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan juga tersimpan dengan baik naskah Bugis kuno yang tertulis diatas daun lontar. Naskah ini berupa gulungan rol daun lontar yang sambung menyambung. Menurut para pakar orang dulu menggunakan semacam paku kecil untuk menggoreskan huruf huruf diatas helai daun lontar dengan penuh kehati-hatian karena sifat daun lontar yang mudah sobek. Setelah satu helai ditulisi, kemudian ditaburi bubuk hitam sehingga tulisannya kentara dan dapat dibaca dengan jelas. Setelah selesai ditaburi, helai daun lontar kemudian disambungkan dengan helai sebelumnya dengan cara dijahit menggunakan jarum dan benang. Ketika satu naskah dianggap selesai, kemudian helai daun lontar tersebut digulung dan dibuatkan tempat gulungan untuk memudahkan membacanya. Cara membacanya yaitu dengan duduk bersila sambil kedua tangan memutar gulungan rol daun lontar. Biasanya disertai dengan ritual (upacara) kecil.


Jumlah naskah lontara’ Bugis, Makassar dan Mandar yang tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah yaitu 4.049 naskah yang semuanya sudah dimicrofilm-kan. Para peneliti atau mahasiswa yang akan membaca dan meneliti naskah lontara hanya akan membaca hasil microfilmnya saja. Naskah aslinya sudah tidak bisa diakses, karena sifat kertasnya yang sudah sangat rapuh. Naskah asli ini biasanya hanya untuk dipajang saat eksibisi (pameran) saja. Hasil microfilm naskah lontara ini selain bisa dibaca di layar Mircrofilm reader, juga bisa discan dan disimpan dalam format .tiff atau .jpg, sehingga bisa diprint langsung, tentu dengan biaya tertentu.


Berbagai macam topik naskah lontara Bugis yang ada di Perpustakaan dan Arsip daerah. Ada lontara Kutika yaitu semacam astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya. Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’ Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’ pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).

Karya sastra dalam lontara’ Bugis biasanya terdiri dari larik larik bersambung, namun tidak sedikit yang terdiri dari kalimat kalimat biasa yang sambung menyambung. Lontara yang berlarik larik misalnya epos I La Galigo, Tolo’, Meongpalo, Sure’ Selleyang, Elong Ugi. Sedangkan lontara’ yang terdiri dari kalimat kalimat bersambung misalnya lontara hikayat, kisah, tasauf, dan lontara keagamaan lainnya. Jumlah huruf dari jenis lontara yang berlarik larik tersebut berbeda beda. Elong Ugi biasanya terdiri dari tiga baris masing masing jumlah huruf (lontara’)nya atau sukukata pada aksara latin 8’, 7 dan 6. Terkadang juga cuma dua baris namun jumlah huruf lontaranya harus 21. Adapun Tolo’, Menrurana, dan Meongpalo adalah terdiri dari larik larik yang sambung menyambung yang terdiri dari 8 sukukata atau 8 huruf lontara’ Bugisnya. I La Galigo dan Sure’ Selleyang berlarik 5, 5, 5 atau 10, 10, 10.
Sangat disayangkan bahwa minat generasi muda untuk meneliti naskah lontara Bugis atau Makassar sangat kurang. Padahal, lontara’ Bugis dan Makassar adalah salah satu aspek kebudayaan daerah yang mengandung nilai nilai luhur budaya bangsa. Tanpa adanya usaha usaha untuk melestarikan naskah naskah lontara Bugis dan Makassar maka dikhawatirkan suatu saat, generasi muda Bugis dan Makassar akan kehilangan jatidiri dan karya karya sastra tersebut akan punah terlindas masa…

Serangan Hama Tikus dan Ramalan Produksi Padi versi Lontara

1. Mattaneng Pusa/Tanam Acak

Petani zaman dulu mengenal sistem "tanam pusa" yang merupakan salah satu metode sistem awal penanaman dengan pola tanam acak yang dimulai oleh pemilik sawah sebelum penanam lainnya turun untuk membantu penanaman. Pola penempatan rumpun padi tidak sistematik dalam satu petak sawah. Biasanya mereka memulai dari salah satu sudut petakan sawah. Jarak tanam biasanya 20 cm x 20 cm, maka untuk perlakuan awal penanaman tanam pusa mereka memulai jarak tanam yakni sehasta kira-kira 160 x 160 cm secara silang (seperti gambar di atas), di beberapa titik saja dan bila dianggap cukup (biasanya semua sudut dan tengah sawah), kemudin dilanjutkan dengan penanaman normal sesuai jarak tanam normal.

Makna tanam pusa menurut mereka adalah bahwa hama tikus tidak mengenal ujung pangkal penanaman. Anggapan mereka bahwa cara tikus menyerang padi biasanya memulai dari tanaman tertua dan menyerang secara diiagonal serta sistimatik dari rumpun tua ke rumpun muda. Asumsi ini perlu kajian ilmiah lebih lanjut.

2. Pengendalian Siklus Hidup

Petani dulu juga mengenal pengendalian hama tikus dengan pengamatan waktu tanam. Mereka telah mencatat bahwa tikus biasanya menyerang padi pada bulan April dan Mei, karena masa tersebut adalah masa perkembang biakkan dan masa bunting tikus. Dengan pengetahuan ini mereka sudah mengantisipasinya dengan cara mekanis dengan membersihkan pematang sawah atau menutup lubang tikus atau dengan cara lainnya. Namun yang sering di lakukan adalah menghindari waktu tanam bersamaan masa populasi tikus dalam kondisi puncak sesuai peritungan mereka.

Demikian juga pengendalian hama dan penyakit tanaman padi. Petani tradisional mengenal dan memahami siklus hama dan penyakit dengan melihat tanda-tanda di alam. Mereka memahami bahwa siklus hama ada 3 fase yakni ; serangga ada tapi hanya terbang saja dan tidak menyerang hama padi, b. serangga menghilang, c. serangga merusak hama padi. Tanda-tanda adanya hama dan penyakit adalah ketika daun tanaman waru (Hibiscus sp) berlubang dan adanya binatang seperti anjing gila, burung dan ayam banyak yang mati. Mereka biasanya menghindari penanaman pada saat tanda-anda ini muncul.

3. Penentuan Waktu Tanam

Petani Bugis - Makassar dapat meramal produksi padi melalui buku "Lontara Allorumang" yang membahas pengetahuan tradisional yang berhubungan sistem bercocok tanam berlandaskan fenomena alam, khusunya iklim, rotasi bumi, posisi bintang, tumbuhan dan hewan yang dikaji dalam rentang waktu lama. Bagi masyarakat Bugis, lontara adalah "buku panduan" yang menerangkan berbagai hal berkaitan dengan sistem bercocok tanam padi, mulai dari penentuan waktu tanam (mappalili), persemaian (mappatinro bine), penanaman dan pemeliharaan dan perlakuan pasca panen.

Dalam lontara diterangkan bahwa kondisi iklim untuk bercocok tanam (agro-klimat) selalu berubah-ubah dari tahun ke tahun selama 8 tahun (dekade) atau "sipariame" berdasarkan penamaan tahun yang dikenal di dalam lontara yakni tahun alif, ha, jim, shod, dal-riolo, ba, wau, dal-rimonri. Masing-masing tahun ini memiliki karakteristik berbeda-beda terhadap curah hujan, hari hujan, panjang musim kemarau, lama penyinaran, serangan hama penyakit, yang kesemuanya mempengaruhi produktivitas pertanian.

Karena itu petani Bugis, khususnya di Sidrap sebelum memasuki musim tanaman, biasanya mereka melakukan musyawarah "Tudang Sipulung". Dalam musyawarah ini dibahas masa awal tanam dengan merujuk ke buku Lontara yang berisi fenomena alam berupa tumbuhan dan perbintangan. Kedua tanda dan isyarat ini secara detail dijelaskan dalam Lontara Allorumang.

Lontara adalah salah satu khazanah ilmu pengetahuan yang kaya dengan kearifan lokal (indegenius knowled) yang belum banyak dikaji apalagi dimanfaatkan sebagai pertimbangan kebijakan sektor pertanian oleh stake holder, padahal ada kemungkinan pengetahuan tradisional tersebut ada benarnya dan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan hasil pertanian, proyeksi hasil pertanian dari tahun ke tahun dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung program pemerintah dalam swasembada dan ketahanan pangan nasional.

Iklim dan Produktivitas versi Lontara

Seperti disebutkan di atas bahwa klasifikasi dan karakteristik iklim dan curah hujan versi lontara ada delapan (8) siklus tahunan dan juga delapan kualitas dan kuantitas karakter curah hujan, hari hujan, lama penyinaran, penyebaran hama/penyakit dan proyeksi produktivitas hasil pertanian, khususnya padi. Adapun kriteria ikilm berdasarkan lontara sebagai berikut ;

Tahun Alif ; kemarau lebih awal dan pendek, intensitas hujan tinggi, produktivitas padi tinggi. Tahun Ha' ; kemarau lebih awal, intensitas hujan sedang dan produktivitas pertanian sedang. Tahun Jim ; intensitas hujan rendah, angin bertiup kencang, kemarau agak panjang, produktivitas pertanian rendah. Tahun Shod ; intensitas hujan tinggi, terjadi banjir, hama tikus menyerang tanaman padi, intensitas penyinaran cukup tinggi dan angin bertiup kencang, produksi rendah. Tahun Dal Riolo ; musim hujan lebih cepat, kemarau cukup panjang, persawahan kekeringan dan produksi sedang. Tahun Ba' ; kemarau lebih cepat, musim hujan pendek, produktivitas pertanian cukup tinggi. Tahun Wau ; intensitas hujan panjang, banjir, hama menyerang khususnya tikus dan walang sangit, intensitas angin cukup tinggi, produksi pertanian rendah. Dal Rimonri ; musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertipu kencang, produksi pertanian sedang Berdasarkan lontara bahwa tahun 2011 atau tahun 1431 Hijriah termasuk tahun "Wau" dimana kondisi iklimnya adalah; Intensitas hujan panjang, terjadi banjir, hama tikus dan walang sangit menyerang dan intensitas angin cukup tinggi serta produktivitas padi rendah. Kenyataan saat ini bahwa curah hujan cukup panjang dengan intensitas curah hujan yang tinggi dan hampir tidak ada masa jedah antara musim hujan dan musim kemarau, dan banjir sebagian melanda jazirah Sulawesi, hama tikus menyerang persawahan. Sehingga sebagian orang berangapan bahwa iklim saat ini tidak dapat diprediksi lagi, susah membedakan antara musim hujan dan musim kemarau. Padahal buku lontara telah meramalkan tahun ini adalah tahun 2011 . adalah tahun "Wau" kondisi iklimnya adalah ; Masseroi bosinna, masseroi anginna, manre balaoe enrengge ulae.

Bila dikaji konteks kualitas tahun dalam lontara, bahwa musim aktivitas tanaman di wilayah "Ajatappareng" (Sidrap - Pinrang, Barru dan Pare-Pare) yang dimulai pada awal Februari hingga Maret dan proyeksi panen pada Juni dan Juli merupakan iklim optimal untuk tanaman padi, khususnya curah hujan, lama penyinaran dan iklim mikro setempat. Hal ini ada relevansinya dengan acuan cara meramal produksi dengan menggunakan teknologi "hiperspektral" suatu perangkat lunak citra setelit yang dapat membaca indek luas daun, kandungan nitrogen dan kandungan klorofil.

Ramalan Produksi Padi versi Lontara

Untuk membuktikan ramalan lontara bahwa pada tahun 2009, bertepatan dengan tahun 1430 Hijriah, merupakan tahun peralihan dari tahun Daleng Riolo ke tahun Ba yang mana produksi hasil pertanian cukup tinggi, karena didukung dengan iklim yang baik, dimana kemarau lebih pendek dan musim hujan dengan intensitas sedang. Terbukti bahwa produksi pertanian di Sulawesi Selatan cukup berhasil pada tahun 2009/2010.

Berdasarkan ramalan lontara bahwa tahun 14 Desember 2010 akan memasuki tahun Dal Ri-monri dan berakhir pada November 2011, dimana karakter iklimnya adalah musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertiup cukup tinggi dan produksi pertanian sedang. Tahun Alif mulai akhir tahun 2011 sampai dengan awal Desember 2012, dan dipredeksi hasil pertanian tinggi. Karakter iklim tahun alif adalah kemarau lebih awal dan singkat, intensitas hujan tinggi, pertumbuhan padi baik, hama kurang dan produktivitas padi tinggi.

Jadi diantara 8 (delapan) tahun yang tertuang dalam lontara, maka tahun alif merupakan tahun yang paling produktif, kemudian tahun Ba', sedangkan tahun paling rendah hasilnya adalah tahun shod dan tahun wau.

Selain itu , sistem pertanian tradisional versi lontara juga mengenal masa tanam yakni "lamacitta golla", "letamma bombang", "latulekkeng eppang" dan "langgere tule". Masing-masing masa tanam ini ditentukan berdasarkan posisi letak bintang "salaga, tanra tellue, worong porong, dan pannina manue". Metode penentuan masa tanam adalah ketika bintang tepat berkulminasi pada saat mata hari terbenam atau waktu memasuki magrib.

Lamacitta golla adalah masa tanam awal untuk varietas panjang berkisar 120 hari. Masa tanam ini berkisar bulan pertengahan Fabruari adalah masa persemaian benih dan masa tanamanya mulai, namun pantangannya adalah menanam pada akhir Pebruari. Dengan demikian padi akan dipanen pada pertengan Juli. Tanda dan isyarat yang dilihat adalah tumbuhnya "serri awerrang" rumput menyerupai padi di persawah dan tanra tellue persisi berkulminasi pada saat matahari terbenam (pukul 7 malam).

"letamma bombang", isyarat yang dapat dilihat adalah ketika air ditengah sawah tidak sedang diteduh, tidak beriak lagi. Masa hambur benih pada minggi III Pebruari dan masa tanaman awal April.

"latulekkeng eppang" adalah masa tanam ke tiga dengan isyarat "maketteni assoe" (sinar matahari mulai cerah) dan bintang "Pannina Manue" mulai condong ke Barat. Masa ini akhir April. Dan masa tanam ini yang paling terakhir. Kalaupun ada yang menanam padi setelah ini, petani Bugis menyebutnya langerre tulu, artinya bahwa bila ada yang menanam berarti tanaman padi hanya menghasilkan pakan ternak atau kekeringan.

Banyak hal yang dapat dipetik dan dipelajari di dalam buku pertanian lontara Bugis sebagai kearifan lokal, yang perlu dikaji lebih dalam oleh pakar-pakar klimatologi pertanian, budidaya dan hama penyakit, karena pengetahuan asli, tentunya sesuai dengan kondisi setempat.

Penulis yakin bahwa diantara 12 tahapan kegiatan cara bercocok tanam yang tertulis dalam lontara, terdapat pengetahuan yang dapat menjadi ilmu dasar untuk dikembangkan menjadi teknologi tepat guna. Kita harus bangga bahwa para petani suku Bugis - Makassar jaman dulu memiliki talenta menulis dan mencatat gejala-gejala alam yang terjadi di sekelilingnya, sehingga menjadi pengetahuan, meskipun kajiannya belum ilmiah. Untuk itu para ilmuan semestinya melakukan kajian lebih dalam lagi, agar ada manfaat yang dapat dipetik di dalamnya. Karena tidak semua ilmu dan terapan teknologi yang sumbernya dari luar cocok diterapkan di suatu wilayah, mungkin perlu penyesuaian/adaptasi, atau membutuhkan input dan teknologi yang lebih mahal. Saat ini ada kecenderungan penerapan teknologi pertanian mengabaikan musim tanam, karena mengandalkan input sarana produksi seperti pupuk an-organik, pestisida-insektisida, irigasi dan bibit unggul. Konsekwensinya adalah biaya tinggi, kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh bahwa varietas-varietas padi unggul yang bersumber dari luar, membutuhkan input sarana produksi yang besar seperti pupuk an-organik, insekstida-pestisida, irigasi dan perlakuan budidaya secara khusus. Bila standar kebutuhan sarana produksinya tidak tercukupi, secara signifikan hasilnya juga rendah. Sedakan varietas lokal seperti saddang, bakka, kelara dll, tidak terlihat lagi, dengan alasan varietas lokal hasilnya rendah dan masa panen lebih lama 120 hari, padahal species inilah sebetulnya paling layak di Sulawesi Selatan.

Untuk itu menjadi tantangan ke depan bagi agronomis untuk melakukan pemuliaan tanaman lokal dengan varietas lain, agar genetik jenis lokal tetap menjadi andalan produksi lokal dan menjaganya dari kepunahan. Kita mengharapkan ada varietas yang sesuai dengan iklim yang mendukung pertumbuhan vegetatif - generatif secara optimal, agar dapat menghasilkan klorofil lebih banyak, lebar permukaan daun lebih besar meskipun berumur panjang, namun hasilnya lebih besar. Dari pada varietas pendek dan dipaksakan menanam 3 kali setahun, mengabaikan musim tanam, rentang terhadap hama dan butuh pupuk an-organik yang besar.

Sebagai penutup bahwa pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal, seperti cara bercocok tanam padi suku Bugis - Makassar patut dijadikan sumber dan inspirasi penerapan teknologi pertanian, karena di dalamnya masih ada relevansinya dengan ilmu pertanian modern. Dengan demikian tanggung jawab kita bersama, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan pemerintah guna mengkaji kandungan lontara pertanian baik secara teknis maupun non tekniks seperti metode penentuan tanam (mapalili), agar Sulawesi Selatan tetap menjadi lumbung pangan nasional.