Tuesday, October 4, 2011

FAM-FAM/MARGA-MARGA RAJA (MODODATU) BOLAANG MONGONDOW

Fam-Fam(marga-marga) Mongondow yang notabennya adalah fam-fam Mododatu atau marga-marga para raja Bolaang Mongondow yang telah dibuktikan dengan berbagai data-data, literatur, kajian-kajian, dan daftar silsila keturunan raja-raja Bolaang Mongondow dari berbagai sumber adalah Fam-Fam sebagai berikut :

GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari Raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Raja Paputungan, dll.; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO, beserta keturunan-keturunannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu semuanya adalah keturunan RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG DAN SERING DISEBUT KI MOKOAGOW ATAU KI ABO’ MOKOAGOW,

dimana fam-fam tersebut secara geneologi menunjukan keturunan pewaris darah raja-raja Mongondow atau golongan Mododatu yaitu yang berhak menjadi raja Bolaang Mongondow berdasarkan garis keturunan secara “PATRILINEAL (Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah secara turun temurun)” dalam setiap pengangkatan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda Mokoagow) berdasarkan hukum adat atau hukum tua(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3) berbunyi :

“PENGANGKATAN RAJA SENANTIASA AKAN DIPILIH DARI PIHAK PRIA KETURUNAN RAJA-RAJA” yang mana kesemua fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini beserta keturunan-keturunannya berdasarkan Patrilineal adalah semuanya mewarisi DARAH MODODATU(darah keturunan para raja Bolaang Mongondow) karena kesemuanya adalah keturunan PARA PUNU’ MOLANTUD MOKODOLUDUT ATAU RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW/ PARA DATU BINANGKANG SECARA PATRILINEAL{pihak-pihak yang berhak dirajakan atau pewaris tahta dan berhak memakai simbol-simbol raja seperti Golomang, kulintang(alat-alat musik tertentu) dan atribut-atribut Mododatu lainnya} dan lain-lain sebagai tanda atau atribut wajib yang digunakan oleh kaum raja atau keturunan Mododatu yaitu Golongan Raja yaitu garis keturunan secara patrilineal yang telah diwarisi dari Para Punu’ Molantud Mokodoludut, seperti Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu yang telah disebutkan di awal tulisan ini, adalah sebagai berikut :

Di rumah orang yang meninggal dipasang ARKUS yang terbuat dari kain putih(pusi’= menyerupai ukuran bendera berukuran sedang yang dipasangkan pada sebuah kayu) yang secara utuhnya berupa hiasan yang terbuat dari daun enau muda atau janur kuning yang dibentuk menjadi lengkungan seperti busur pada sisi di samping bangun kerucut tersebut dan pada sisi yang lain (pada bangun kerucut )tersebut dibentuk sedikit agak melengkung yang terdiri dari empat lengkungan yang terbuat dari empat batang daun enau atau janur kuning dan masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi dengan empat tiang yang mana yang ke empat tiang tersebut terbuat dari bahan batang bambu dan secara keseluruhannya bangun-bangun tersebut menyerupai gabungan antara bangun limas yang dipasangi tiang bambu atau “MATUBO ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA UNTUK ACARA KEDUKAAN DAN TOIBOI ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA” untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam atau marga-marga yang disebutkan dalam tulisan ini) dengan bangun kerucur sebagai tempat pemasangan arukus atau selembar kain putih polos (pusi’) yang menyerupai ukuran bendera dan dipasangkan di puncak bangun kerucut tersebut di bagian paling atas pada gabungan kerangka bangun-bangun tersebut, yang ditempatkan di depan rumah (menyerupai posisi gapura dijalan masuk di depan rumah)pihak atau keluarga yang berduka, dan sebagai pengganti sehelai kain putih polos dalam acara kedukaan tersebut maka pada pesta pernikahan/perkawinan dan lainnya digunakan{TOIBOI atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan (seperti MOTUBO atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan )

untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam yang disebutkan dalam tulisan ini} beberapa jenis bunga dengan tangkainya seperti yang antara lainnya : Bunga Dayou, Bunga kirisan, Bunga Dalia, Daun Toba’ang yang terbaik beserta tangkainnya, dan buah kolapipi yaitu kuncup bakal biji kelapa yang masih mudah dan membentuk seperti tangkai padi, lalu disatukan dengan diikat sebagai pengganti sehelai kain putih polos tersebut, dan dari semua bunga dan daun-daunan tersebut yang terpokok adalah “BUNGA DAYOW dan BUNGA TOBA’ANG” karena di zaman Punu’ Molantud Mokodoludut juga secara turun-temurun sudah lama digunakan untuk menghormati keturunan-keturunanya yang berhak mewarisi kedudukan raja yang dikenal dengan sebutan mododatu yaitu fam-fam yang telah diuraikan di awal tulisan ini dan berhak menggunakan nama “ABO’“ di awal nama untuk keturunan-keturunan dari pihak pria dan “BUA’“ di awal nama untuk keturunan-keturunannya yang wanita, dan untuk Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada

Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu(fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini) diiringi pula dengan memainkan alat musik seperti “KULINTANG” yang terbuat dari logam atau kuningan yang utama terbuat dari kuningan yang terdiri dari 5 sampai 7 buah mungmung atau gong yang berukuran kecil berderet dilengkapi dengan gendang 1 atau 2 buah, golantung atau gong yang berukuran besar 1 buah dan dimainkan oleh lebih dari 1, 2 orang atau lebih.

Adapun kegiatan dan tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak dari zaman Raja-Raja Loloda Mokoagow = Para Datu Binangkang atau Para Punu’ Molantud Mokodoludut(Raja Tertinggi Mokodoludut) sebelum abad XIII Masehi. Tetapi sayangnya penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu kerajaan Bolaang Mongondow dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seperti marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini lewat penjelasan sejarah secara sepihak oleh W. Dunnebier dan keturunan Tadohe’ yaitu dalam pengkultusan Tadoheisme lewat mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow tanpa meninjau sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang holistik dan konfrehensif oleh keturunan Tadohe’ dalam faham Tadoheisme atau Tadohenisasi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow seolah-olah tidak boleh menggunakan atribut-atribut tersebut yang seharusnya gelar tersebut yaitu gelar Abo’ dan gelar Bua’ sesuai dengan “Aturan tua atau hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow sejak dari zaman purba sampai raja terakhir tahun 1950 yang berhak disandang dan digunakan oleh pihak-pihak seperti fam-fam atau marga-marga yang sudah ditampilkan dan disebutkan di permulaan tulisan ini"

Adapun Mobakid yang dilaksanakan di eranya Tadohe sama seperti yang diadakan di era raj-raja Bolaang Mongondow jauh atau sebelum periode Tadohe’(1661-1670 M). Kekacauan penggunaan gelar “ABO’“ dan gelar “BUA’“ dan atribut-atribut golongan raja ini diakibatkan karena secara “PATRILINEAL(Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah)” dalam pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow dari zaman purba sampai dengan raja terakhir kerajaan Bolaang Mongondow yaitu Raja H. J. C. Manoppo

berdasarkan “HUKUM ADAT ATAUPUN HUKUM TUA” yang selama ini dalam penulisan sejarah dan hikayat raja-raja Bolaang Mongondow telah sengaja dihapuskan, dihilangkan, diplintir, dipotong-potong, dibengkokan, dikaburkan atau juga dikusutkan = kusut = kekacauan = Konfusi, dibelokkan, tidak dijelaskan secara konfrehensif dan holistik, diplesetkan, lalu didaulat tidak ada, dan lain sebagainya secara sengaja oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian pemuka atau tokoh adat yang mempunyai keturunan dari luar daerah

Bolaang Mongondow pada pada saat itu yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang mana hanya membahas mengenai status golongan Kohongian, Simpal, Tahoq, Yobu’at, Nonow, dan khusus golongan Raja atau Mododatu tetap sesuai dengan Aturan Tua yaitu Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”(adapun Amandemen tersebut selanjutnya tidak berlaku lagi karena bertentengan dengan hukum murni atau hukum tua kerajaan Bolaang Mongondow yaitu “dalam pasal 15 dimana dikatakan bahwa semua anak-anak ikut golongan pihak bapak”) kembali diluruskan di era pemerintahan Raja D. C. Manoppo dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 81 baris ke-25 kata pertama sampai baris ke-30 kata ke-2 berdasarkan hukum tua atau aturan tua yang mana Amandemen “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” oleh kelompok yang mengincar jabatan yang kebetulan dekat dengan sumbuh kekuasaan. Hal hal ini dibenarkan oleh W. Dunnebier sendiri(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72) yang mengatakan bahwa Amandemen yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang berbunyi :

“…..Pasal-pasal disebut(Tambahan penulis berdasarkan data yang ada = lebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”), yang saling berlawanan, pendapat penulis(W. Dunnebier) juga dapat dianggap sebagai suatu usaha percobaan untuk mengadakan perobahan terhadap aturan-lembaga tertua, justru beberapa pihak mempunyai kepentingan yang sangat besar artinya”.

Seperti dalam penulisan sejarah ada sekelompok orang dan keturunan tertentu merasa dirugikan dengan tulisan sejarah sehingga mereka berusaha melakukan pemolesan untuk menghindari catatan sejarah yang merugikan leluhur mereka atau membongkar keturunan asli mereka seperti penulisan penghapusan sejarah tentang asal keturunan dari suku luar atau melakukan pemolesan sejarah dengan memutar balikan fakta sejarah masa lalu guna mengikuti keinginan mereka yaitu suatu penulisan yang tidak objektif misalnya yang paling nyata adalah penulisan prosesi pengangkatan Raja Laurens Cornelis Manoppo yang sengaja dikaburkan oleh kelompok tertentu dapat kita lihat bersama dimana dalam suksesi pemelihan raja di era pasca meninggalnya Raja D. C. Manoppo tahun 1927 yang dimenangkan oleh Raja Laurens Cornelis Manoppo{Putra langsung dari Raja D. C. Manoppo dengan Boki’ Hagi Mokoagow putrinya Presiden Raja Luri Mokoagow(Cucu langsung dari Raja Cornelis Manoppo) yang memenuhi secara “Fit And Proper Test”} yang mana salah satu pesaing utamanya yaitu Jogugu Abram Patra Mokoginta atau dikenal dengan Jogugu A. P. Mokoginta adalah mewarisi keturunan Raja Eyato Puluhulawa(dari Gorontalo/ bukan Golongan Mododatu Kerajaan Bolaang Mongondow) atau ayah kandungnya Dodaton{kakeknya Mokoginta(asal usul marga Mokoginta) atau juga asal usulnya Jogugu A. P. Mokoginta secara patrilineal}yang dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I berusaha dikaburkan, diplesetkan lalu dikultuskan oleh penterjemah bukunya W. Dunnebier tahun 1984 tersebut untuk mengaburkan sejarah raja terpilih pada waktu itu tetapi walaupun begitu masih bisa kita bedakan lewat berbagai daftar-daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow secara patrilineal(berdasarkan beberapa penuturan dari keturunan Mokoginta tentang asal usul marga Mokoginta adalah berasal dari Raja Eyato Puluhulawa = dari Gorontalo = atau ayahnya Dodaton/ kakeknya Mokoginta = asal usul marga Mokoginta yang dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat keturunan Mokoginta kepada penulis).

Dengan begitu dapat menjelaskan kepada kita yang mana Mododatu dan yang mana bukan Mododatu dan dicocokkan dengan data-data sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang ada dan hal ini antara lainnya dapat kita lihat dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I halaman 106 pada baris ke-20(dua puluh) kata ke-7(tujuh) sampai dengan baris ke-24(dua puluh empat) kata pertama yang berbunyi :

“……,akan tetapi mendapat tantangan berat dari petugas-petugas Belanda dan beberapa pengemuka-adat setempat yang diam-diam dipelopori oleh W. Dunnebier(Tambahan penulis = W. Dunnebier berperan sebagai cendikiawan atau konsultan yang dipercaya oleh kerajaan Bolaang Mongondow), dengan alasan tidak berhak menjadi Raja karena keturunan,………..”(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 Hukum Adat atau Aturan Tua tentang pengangkatan Raja-Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berlaku sejak Punu’ Molantud Mokodoludut yang berbunyi : “Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”). Dan hasil plesetannya dalam W. Dunnebier tahun 1984 baris ke-29(dua puluh sembilan) kata ke-5(kelima) sampai dengan baris ke-30(tiga puluh) kata ke-7(tujuh) yang berbunyi :

“……(lihat tanda nomor @+33) diatas ini. Jelas, bahwa alasan tersebut dibuat-buat saja;……….”. juga contoh lainnya antaranya yaitu sejarah tentang asal-usul bangsawan-bangsawan Bolaang Mongondow hanya berasal dari Tadohe’(Sadohe’) dan Abo’ Loloda Mokoagow yaitu ayah kandung dari Raja Jacobus Manoppo yang juga bergelar Raja Loloda Mokoagow dan lain sebagainya oleh keturunan Tadohe’ cs dalam Tadoheisme untuk dikultuskan sedangkan dalam sejarah jauh sebelum era Tadohe’ di Bolaang Mongondow telah ada keturunan bangsawan atau para raja Bolaang Mongondow antara lainnya fam-fam atau marga-marga seperti :

“GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Dengan jelas upaya untuk mengicar status dan jabatan dalam kerajaan Bolaang Mongondow oleh pihak-pihak yang tidak berhak atau bukan golongan mododatu berusaha mengadakan pemolesan sejarah seperti penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut seperti Kulintang, Motubo atau dengan penamaan lain dan Toipoi atau dengan penamaan lain, gelar Abo’ dan Bua’, dan lain sebagainya dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seolah-oleh oleh marga tertentu mengatakan tidak berhak yang apabila kita adakan ferifikasi dan kajian sejarah ternyata yang berhak adalah fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan sebagai marga Mododatu tersebut yaitu marga-marga : “GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Sesuai beberapa pengakuan W. Dunnebier sendiri yang mana kesalahan-kesalahan penulisannya terhadap sejarah Bolaang Mongondow disisipkannya di hampir seluruh halaman bukunya yang berjudul “Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow tahun 1984” yang secara politik dikondisikan atau diadakan berdasarkan untuk kepentingan pengkultusan kepada para raja Bolaang Mongondow keturunan-keturunan Tadohe’ dalam mempertahankan kedudukan raja agar tidak pindah kepada pihak fam-fam (marga-marga) yang telah disebutkan di awal tulisan ini dengan harapan fam-fam tersebut tidak mengetahui, mengenal dan memahami kebesaran leluhurnya dengan pemahaman yang sistematis atau intelektual dan jiwa sebagai keturunan raja-raja Bolaang Mongondow atau sebagai keturnunan Para Datu Binangkang secara patrilineal.

Dengan upaya tersebut maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang, digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW” sebagai bentuk mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow yang terselubung selama ini yang penting untuk diangkat kembali agar sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang benar dan berimbang dapat dinikmati bersama terutama oleh para generasi yang akan datang”.

Adapun pemakaian atribut-atribut raja-raja dan kerajaan Bolaang Mongondow selama ini malahan sebagian besar bukan lagi para golongan asli Mododatu yang menggunakannya tetapi pihak yang bukan golongan Mododatu Bolaang Mongondow dengan ungkapan in Mogoguyang yang berbunyi :

“MOANTO’ MASA NA’AYA DOKABIDON DUMAYA-DAYAN TUMON MODODATU PADAHAL DE’ EMANBI’ MODODATU ANDEKA ADAT TA DIA’ KO ADAT-ADAT MINTAN” yang artinya sesuai hikayat maupun penuturan para tua-tua/ para orang tua, sekarang adat penghormatan tersebut kebanyakan sudah digunakan oleh pihak yang tidak berhak menggunakannya(bukan golongan mododatu kerajaan Bolaang Mongondow) dan hanya ikut-ikutan saja atau aturan yang tidak berdasarkan pada aturan atau sumber yang asli/aturan tua(Lihat W. Dunnebier 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3). Adapun hal-hal tersebut dapat dibuktikan secara bukti-bukti data-data sejarah baik dalam bentuk data-data, literatur-literatur sejarah daftar silsilah keturunan raja-raja Bolaang Mongondow maupun hikayat-hikayat yang menggunakan sistem pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow yang berlaku sejak zaman purba sampai raja terakhir Raja H. J. C. Manoppo yang mengambil sistem Patrilineal dalam setiap suksesi dan prosesi pengangkatan raja Bolaang Mongondow yang berbunyi :

“Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21, baris ke-15 kata pertama sampai dengan baris ke-16 kata ke-3)”, dan lain-lain. Yang apabila kita kaji maka dapat diperhadapkan kepada temuan-temuan yang mana salah satunya adalah bagaimana agar para fam-fam seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini oleh faham Tadoheisme supaya tidak mengetahui asal-muasalnya atau leluhurnya yang notabennya adalah juga keturunan Para Raja Loloda Mokoagow atau Para Datu Binangkang berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang ada yang oleh W. Dunnebier dan para penguasa beserta sebagian tokoh adat pada saat itu yaitu keturunannya Tadohe’(Sadohe’) secara politik dan lain sebagainya dianggap dapat mengancam eksistensi dan kedudukan para raja leluhur dan keturunan Raja Tadohe’.

Hal ini mungkin didasari oleh kepentingan politik, ekonomi, tidak mau disaingi karena takut bersaing, jabatan, kedudukan, penghidupan(keamanan mata pencaharian), eksistensi diri agar bagaimana supaya tidak ada saingan, politik, ekonomi, penghidupan, persaingan kerja, dan lain sebagainya oleh para penguasa maupun tokoh adat pada waktu itu supaya tidak ada saingan atau menghindari persaingan politik untuk kepentingan sendiri secara pribadi atau kelompok agar marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini tidak mengetahui asal-usulnya secara sistematis atau intelektual sebagai keturunan Para Raja Bolaang Mongondow atau Para Raja Loloda Mokoagow/Datu Binangkang yang sering dikenal dengan sebutan “KI MOKOAGOW” atau “ABO’ MOKOAGOW” yaitu mewarisi darah keturunan Para Raja Bolaang Mongondow yang dapat mengancam eksistensi keturunan dan leluhurnya Tadohe’ di berbagai segi dan bidang kehidupan dan penghidupan antara lainnya dengan cara menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow lalu digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut/ ketakutan untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.

Timbul pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan yang terjadi terhadap penulisan-penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow selama ini?, dan untuk kepentingan siapa upaya-upaya misinformation tersebut diadakan?. Inilah salah satu sisi dari sekian segi dan dimensi perihal sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow yang banyak dikaburkan oleh W. Dunnebier beserta beberapa para penguasa dan tokoh adat pada saat itu yang sengaja dikaburkan untuk kepentingan Keturunan Tadohe’ oleh Belanda dan para raja keturunan atau pihak leluhur dan keturunannya Tadohe’ pada saat itu.

Yang mana tulisan pengkultusan tersebut mulai marak sejak W. Dunnebier menulis sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow dalam bukunya yang berjudul “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow” yang diplesetkan juga oleh para penulis kontemporer sejarah raja-raja Bolaang Mongondow pengikut ala bantahan W. Dunnebier selama ini. Bersambung ke tulisan yang berjudul “PERIHAL SILSILA TAHUN 1836(RALAT I)”.

SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya.

ARTKEL TERKAIT



No comments: