Saturday, March 10, 2012

Bisnis Anak Cucu Pengusaha Indonesia


Oleh : Hani T Sulaiman

Sejak lahir mereka telah berkubang kemewahan dan mewarisi kerajaan bisnis keluarga. Toh, tak semua tertarik menjadi putra mahkota. Ada juga yang lebih senang menorehkan jejaknya sendiri. Bagaimana kiprah mereka?
Kalian berhak berusaha menjadikan diri seperti mereka
Namun jangan pernah menjadikan mereka seperti kalian
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Dan tidak pernah pula tenggelam di masa lampau
Kalian adalah busur
Dan anak-anak itu adalah anak panah yang meluncur

(Kahlil Gibran dalam Sang Nabi).


“Anak-anak panah”? itu memang telah melesat, bahkan mungkin mengorbit menggapai langit, melampaui batas harapan orang tua. Ada yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi pebisnis bahkan mewarisi bisnis yang telah dirintis orang tuanya. Sebut saja Anthony Salim. Anak taipan Sudono Salim ini telah lama malang melintang menjadi nakhoda di imperium bisnis Grup Salim. Anthony tercatat sebagai CEO PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Begitu juga Michael Joseph Sampoerna yang didapuk menempati pos sebagai CEO PT HM Sampoerna Tbk. di usianya yang menginjak 25 tahun. Hal yang sama dialami Anindya Novian Bakrie, Luckyto Wanandi, Jeffry Jan Dharmadi, Agus Salim Pangestu, Purnomo Prawiro, Noni Purnomo dan Dandy Rukmana dan Aprilia Aramis, yang diserahi tampuk kekuasaan oleh generasi sebelumnya.

Namun sepertinya air cucuran hujan tak selalu jatuh ke pelimbahan. Anak-anak atau cucu konglomerat ini tak semuanya tertarik untuk bergabung di perusahaan keluarga yang notabene telah dibangun dan dibesarkan oleh sang orang tua dengan  cucuran air mata dan darah. Meski mengikuti jejak orang tua menjadi pebisnis, ternyata ada juga anak-anak konglomerat ini yang lebih enjoy mengibarkan bendera sendiri.

Sebut saja Aprilia Aramis, putri dari Pengusaha Sony Rahardi Aramis (salah satu pemilik K Kentjana Group) ini sukses membentangkan kerajaan bisnisnya, putrinya ini diberi modal dan keleluasaan untuk merintis bisnis sendiri. dan Adiguna Sutowo lewat Mugi Rekso Abadi. Anak Sudwikatmono, Agus Lesmono, pun memilih membangun bisnisnya sendiri dengan membangun Grup Indika. Meski hampir semua anak Sudono Salim ikut cawe-cawe di Grup Salim, para cucunya ternyata lebih asyik membangun bisnisnya sendiri. Lihat saja kiprah Fransisca Liem dengan butik Hermesnya. Cucu Om Liem ini sepertinya emoh bergabung dengan kerajaan bisnis moyangnya yang sudah menggurita di berbagai sektor bisnis. Setali tiga uang, Ronald Liem malah nyemplung ke bisnis media dengan mendirikan Majalah Prestige Indonesia, majalah lisensi asal Singapura.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan kehidupannya sendiri. Generasi penerus konglomerat ini ada juga yang justru memilih mengaktualisasikan diri dengan merentas karier sebagai profesional di perusahaan lain, memilih menjadi seniman, bahkan terjun ke kancah politik sebagai anggota DPR. Paquita Widjaja, Sasya Tranggono dan Astrid Salim memilih menjadi seniman ketimbang pebisnis. Begitu pula Sjakon George Tahija yang lebih suka menggeluti profesi dokter dan kemudian membangun klinik mata. Ada banyak mereka yang lebih memilih mengepakkan sayapnya di jalur yang mereka minati dan sukai. Anak-anak konglomerat ini sepertinya tak silau dengan jabatan mentereng di perusahaan besar milik orang tuanya. Mereka bahkan mau bersusah payah merentas karier atau membangun bisnisnya dari nol.sebagai contoh adalah putrid dari Pengusaha Sony Rahardi Aramis yaitu Aprilia Aramis, di usianya yang masih muda dia telah merintis usahanya sendiri  dalam bidang pertambangan,perikanan dan properties.

“Lakukan sesuatu yang kamu kenal dan membuatmu bahagia.” Nasihat itulah yang mengantarkan Paquita Widjaja menjadi seniman dan staf pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Ketimbang meneruskan bisnis yang telah dibangun keluarganya, putri bungsu pasangan pengusaha papan atas Johnny dan Martina Widjaja ini justru memilih dunia seni sebagai aktualisasi dirinya. “Yang penting bagi orang tua saya adalah kerja keras, mencoba menjadi yang terbaik yang kami bisa,” tutur pemilik rumah produksi Ratna Sintesa Entertainment ini. Dan, Paquita telah membuktikan bahwa ia bisa eksis di dunia seni yang dipilihnya.

Menjadi yang terbaik di bidangnya. Itu pula yang diakui Aprilia Aramis ayahnya, Sony Rahardi Aramis. Aprilia menuturkan, sang ayah tidak pernah mengarahkan dirinya untuk menggeluti bidang tertentu. “Ia mengajarkan saya untuk menjalani sesuatu dengan baik dan melakukannya dengan excellent,” ungkap Aprilia. Sony Rahardi Aramis mengatakan anaknya mau masuk bisnis atau tidak, terserah. Tapi yang penting, mendapat pendidikan dari universitas yang baik dan di Indonesia,”

Sebagai seorang nasionalis, rupanya Sony Rahardi Aramis sangat percaya, pendidikan di Tanah Air tidak kalah bagus dari pendidikan luar negeri. Menimba pendidikan ke luar negeri baru boleh setelah menyelesaikan program S-1 di Indonesia.

Pemilik Grup Gemala, Sofyan Wanandi juga seia sekata dengan Sony Rahardi. Ia juga tipikal orang tua yang sangat mengutamakan pendidikan. “Saya bisa pukul anak saya kalau main-main dengan sekolahnya,” ujar eksponen Angkatan ’66 ini. Dalam pemikirannya, regenerasi bisnis tidak bisa dilepaskan dari pendidikan generasi berikutnya. Pendidikan formal harus lebih dulu diselesaikan dengan tingkat tertinggi yang bisa ditempuh. Tak heran, ketiga putranya lulus master sangat memuaskan dari perguruan tinggi tersohor di Amerika Serikat.

Sikap keras kepada anak-anak terutama dalam hal pendidikan juga diterapkan oleh Komisaris PT Wiraswasta Gemilang Indonesia, Albert Peter Batubara. Semua anaknya diberi target tinggi. “Kalau tidak bisa, ya mereka tidak bisa minta apa yang diinginkan,” ungkapnya. Kini, AP Batubara memetik buah dari sikap kerasnya puluhan tahun silam. Ketiga anaknya berhasil mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit. Dan yang lebih membahagiakannya, mereka juga yang kini mengendalikan perusahaan yang dirintisnya.

Di mata pasangan Retno Iswara Tranggono dan Suharto Tranggono, pendidikan juga sangat penting. Senada dengan Sony Rahardramisi ,tidak pernah memaksakan anaknya mengikuti jejaknya sebagai pebisnis. Mereka mau mengukir masa depannya sebagai apa, oke-oke saja. Hanya saja, untuk urusan pendidikan, mereka berdua menempatkannya di tangga teratas. “Bagi kami, pendidikan anak sangat penting. Selama mereka masih memiliki keinginan untuk bersekolah, kami sebagai orang tua akan sangat mendukung,” ujar mereka.

 “Kami memberi kebebasan kepada putri saya untuk memilih jalan hidupnya sendiri,” tutur Sony. Meski sejatinya saya juga tetap menawarkan pilihan supaya mau meneruskan dan mengembangkan usaha yang saya rintis. Diakui Sony, keinginan putrinya untuk bisa meneruskan bisnis yang telah dibangunnya bersama sang istri sudah menjadi harapan sejak sejak kecil. Tak heran, putrinya sejak kecil sudah dikenalkan dengan bisnis mereka. Bahkan, telah diberi tahu bahwa kelak dialah yang harus melanjutkan dan menggulirkan roda bisnisnya. “Kami sudah lakukan upaya pengenalan dan mengajak, tetapi tidak ada tuntutan harus. putri saya sangat memahami keinginan kami,” papar Sony. Menurutnya, kewajiban utama orang tua adalah mendidik dan membimbing. “Bukan memaksa putri kami ikut dalam bisnis. putri kami mempunyai pilihan sendiri untuk menentukan masa depannya,” tambah Rinna ibu dari Aprilia Aramis.

Dengan sikap demokratis itu, Rinna dan Sony tampak sangat legowo menerima pilihan putrinya. Setelah sempat beberapa tahun ikut membantu bisnis orang tuanya sebagai direktur pemasaran, toh akhirnya Aprilia memilih jalur lain di luar skenario yang mungkin telah dirancang Rinna dan Sony. Ia memilih memgembangkan usaha sendiri diluar usaha mereka. Namun, Aprilia bisa membuktikan pada orang tuanya bahwa pilihannya tidak keliru. Ia tetap bisa meraih keberhasilan di bidang yang digelutinya.

Diakui mereka sejatinya berharap putrinya bisa turut mengelola perusahaan mereka. “Kami sangat bangga dengan pilihan dan prestasinya,” tambah Rinna. Lagi pula, bukan berarti Aprilia total meninggalkan Kentjana. Jejaring Aprilia yang sangat luas di luar negeri sangat bermanfaat bagi pengembangan perusahaan. “Biarlah Aprilia bahagia dengan pilihannya sendiri, toh kontribusinya bagi kentjana tetap ada,” papar keduanya.


Mengikuti ayunan langkah orang tua untuk lebih membesarkan bisnis keluarga boleh jadi harapan semua orang tua. Dalam pandangan Bryan Tilaar, semua orang tua pasti menginginkan anaknya hidup baik dan sukses. Ia sendiri mengaku tertarik bergabung dengan Grup Martha Tilaar karena melihat bisnis consumer goods seperti beauty product dan servises ini memang sangat prospektif dari waktu ke waktu. Selain itu, ia juga memiliki obsesi Grup Martha Tilaar harus menjadi lebih besar dari yang sekarang. “Kalau generasi pertama sukses merintis, peran generasi kedua bersama generasi pertama yang masih aktif adalah menjadikan perusahaan maju beberapa langkah ke depan,” tandas Deputi Presdir Office Grup Martha Tilaar ini.

Meski bukan putra mahkota, Noni Sri Aryati Purnomo mengaku tertarik bergabung dengan Blue Bird Group (BBG) karena ada tantangan baru yang ditawarkan sang ayah, Purnomo Prawiro. Kelahiran Jakarta, 20 Juni 1969 ini diminta sang ayah — anak bungsu Mutiara Djokosoetono, pendiri BBG — untuk mengembangkan Divisi Pengembangan Bisnis BBG. Padahal, pada saat bersamaan ia mendapat tawaran bergabung dengan Johnson & Johnson, AS, seusai mengambil MBA di Universitas San Francisco. “Mungkin sudah nasib saya bergabung dengan Blue Bird,” ia mengungkap alasan lainnya sambil tertawa lebar.

Toh, sebagai salah satu cucu sang pendiri, Noni tak serta-merta menduduki posisi empuk. Sejatinya, Noni berkecimpung di BBG sejak di bangku SMA pada 1985 sebagai tenaga paruh waktu seperti staf data entry. Ia mengenang, saat itu ia digaji Rp 70 ribu per bulan. Ketika lulus S-1 dari Australia, Noni kembali menjadi tenaga paruh waktu di perusahaan keluarganya itu sebagai penyelia. Kendati di saat yang sama ia bekerja di Jakarta Convention Bureau (JCB). “Pagi bekerja di Jakarta Convention Bureau, sore sampai malam saya bekerja di Blue Bird,” kata peraih Bachelor of Engineering dari Universitas Newcastle, Australia ini.

Sejak bekerja di JCB, Noni yang lebih banyak mempelajari soal teknik industri mulai tertarik dunia pemasaran. Apalagi ia melihat di BBG belum ada strategi pemasarannya. Selama ini, para pendiri BBG lebih banyak menitikberatkan pada operasional yang dilandasi oleh kepercayaan masyarakat (pelanggan) dan kejujuran para awak Blue Bird, terutama yang di lapangan. “Itu yang menjadi kekuatan bisnis Blue Bird selama ini,” kata Noni yang menyelesaikan S-1 di Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti.

Untuk memperdalam ilmu pemasaran, Noni berniat melanjutkan studi di AS. Ternyata sang ayah lebih sreg kalau putrinya mengambil finance. “Sebagai anak yang patuh, saya akhirnya memilih kedua mata kuliah tersebut,” kenang Noni. Usai menggondol MBA dan ditantang untuk mengembangkan divisi pengembangan bisnis, maka keinginan Noni ikut andil membesarkan perusahaan keluarga yang digulirkan sejak 1972 itu semakin mantap.

“Tugas inti divisi saya adalah strategi pemasaran,” ucapnya. Divisi yang baru dibentuk itu sangat pas, sejalan dengan bermunculannya brand-brand baru di BBG. Pasalnya, perusahaan ini tidak punya holding company sehingga merek-merek itu pun tidak terkelola dengan baik. Kerja keras Noni membangun strategi pemasaran BBG mebuahkan hasil. Saat ini BBG telah memiliki citra korporat, warna korporat, public relations, dan teknologi informasi yang lebih canggih. Bahkan, bidang TI juga terus dikembangkan oleh Noni sehingga lebih terintegrasi dan lebih canggih, seperti menggunakan sistem ERP di tahun 2000. “Dalam bekerja, saya berusaha sebaik mungkin. Saya merasa belum sukses, masih harus membangunteamwork (kerja sama tim) yang solid,” tandas Noni yang kini menjabat Vice President Pengembangan Bisnis BBG dan Direktur Grup Pusaka.

Peran orang tua dalam menempa semangat dan spirit diakui Noni sangatlah besar. Sejak kecil Noni sudah terbiasa dengan pembicaraan soal bisnis BBG. Lewat ajang makan malam bersama, kerap ayahnya menyisipkan edukasi nilai-nilai dan filosofi kehidupan. “Hal yang selalu ditekankan oleh Bapak kepada anak-anaknya adalah harus selalu bersyukur, bekerja keras, jujur dan disiplin. Selain itu, juga diajarkan kalau ingin sukses lihatlah ke atas dan lihatlah ke bawah agar bisa bersyukur,” demikian Noni menjelaskan petuah ayahnya yang selalu ia jadikan pegangan hidup.

Menurut Noni, nilai-nilai yang diterapkan sebagai budaya perusahaan BBG pun sejatinya berawal dari norma yang dipegang keluarga Mutiara Djokosoetono. Selain makan malam bersama, Purnomo sering pula mengajak anak-anaknya jalan-jalan, makan di luar atau nonton film saat hari libur. Saat-saat seperti itu pun, Purnomo sering membicarakan tentang kondisi bisnis BBG. Sementara di tempat kerja, Purnomo mempunyai cara tersendiri mengawasi anak-anaknya. Sang ayah biasanya langsung memanggil anaknya dengan cara menelepon atau meng-e-mail bila ada yang perlu dibicarakan.

Bahkan, setiap hari keluarga mereka, termasuk dengan Chandra Suharto, anak sulung pendiri BBG, dan anak-anaknya, sering makan bersama di ruang khusus di kantor. “Makan siang bersama di kantor itu sangat efektif untuk membicarakan bisnis Blue Bird. Di situlah terjadi rapat para pemegang saham,” papar Noni. Adu argumen di sela-sela makan siang kerap menjadi bagian dari santapan.

Sebenarnya, selain Noni ada empat cucu Mutiara Djokosoetono yang ikut bergabung mengembangkan BBG. Mereka itu dua orang putra Chandra Suharto (Preskom BBG). Krisna P. Djokosoetono sebagai Vice President Keuangan dan Sigit P. Djokosoetono, Vice President Operasional. Mereka berdua juga mengemban tugas yang sama sebagai Direktur Grup Pusaka.

Sementara dua adik kandung Noni yang ikut bergabung dengan BBG adalah Niniek Purnomo dan Adrianto Djokosoetono. Hanya saja, yang aktif hingga sekarang hanya Andrianto yang memegang bidang TI di BBG. Adapun Niniek lebih suka mengembangkan profesinya sebagai dokter. “Yang mengatur peran dan posisi kami adalah Pak Purnomo,” ujar Noni menyebut nama ayahnya dengan sebutan bapak kalau di kantor.

Cerita sukses anak konglomerat pun tak hanya mewarnai mereka yang mengikuti ayunan langkah orang tua. Di lintasan lain, banyak juga para pewaris kerajaan bisnis keluarga yang merentas sukses karena menorehkan jejaknya sendiri. Sebagai profesional, semisal Inghi Kwik. Dari nama belakangnya, orang pasti mafhum kalau ia anak Kwik Kian Gie. Hanya saja, Inghi rupanya lebih memilih menjadi profesional ketimbang mengikuti ayahnya sebagai pebisnis sekaligus politikus.

Anak konglomerat yang juga tak tertarik berbisnis adalah Sjakon. Ia memilih menjadi dokter. Padahal, ketika itu bisnis Julius Tahija mulai berkembang besar, termasuk Bank Niaga yang ketika itu masih dalam genggamannya. “Bisnis ayah saya ada yang lain, tapi yang paling utama adalah Bank Niaga,” kata Sjakon. Toh, Sjakon bersikukuh menjalani profesi dokter. Ia mulai menjadi dokter di Puskesmas, Flores, dan ia menjalani kariernya selama dua tahun (1981-83). Setelah itu ia mengambil spesialisasi mata dan sempat juga belajar ke AS. “Akhirnya saya mempelajari subspesialisasi bedah retina di Australia,” cerita Sjakon yang sempat menjadi staf pengajar di FKUI dan dokter di Jakarta Eye Center.


Memberi teladan. Itulah yang juga senantiasa diterapkan Rinna dan Sony supaya putrinya mampu menjadi yang terbaik di bidang apa pun yang dipilihnya. Metode yang mereka berdua gunakan dalam mendidik putri merka sangat sederhana: memberi contoh, perhatian dan cinta. “Lha, bagaimana putri kami bisa menurut kalau tidak ada contoh yang baik dari orang tuanya. Bagaimana putri kami bisa baik, kalau tidak ada perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya,” ujar Rinna. Sementara nilai-nilai filosofi yang senantiasa ditanamkan kepada putrinya, lanjut Sony, adalah prinsip kejujuran, kemandirian dan selalu mau mensyukuri hasil yang diperoleh. “Menurut kami, orang yang berhasil adalah yang bisa menjadi dirinya sendiri, be your self dan bisa belajar dari kegagalannya,” Sony menegaskan.

Tak semata perilaku “miring”? yang membuat anak-anak konglomerat tak selalu menuai sukses. Ada sindrom, generasi pertama membangun, generasi kedua memanen, dan generasi ketiga melelang atau menjual aset. Toh, kalau pun mereka terjun di bisnis keluarga, bisnis yang dibangunnya sendiri — biasanya berkongsi dengan teman-teman kuliahnya — pun tak selalu kinclong. Di mata pengamat SDM dari MMUI, Budi W. Soetjipto, faktor kegagalan yang paling dominan adalah karena minat dan motivasi sang penerus; kompentensi untuk menjalankan bisnis; dan budaya perusahaan. Untuk menghindari kegagalan, yang harus dipersiapkan orang tua adalah bagaimana menumbuhkan minat anak atau generasi penerus terhadap bisnis yang dijalankan. Ia memuji langkah Rinna dan Sony yang kerap mengajak anaknya melihat dari dekat usaha yang dirintis oleh mereka dan berupaya anaknya untuk terjun kedunia bisnis mulai dari tingkat terbawah.

Sementara itu, untuk mengasah kompetensi sejatinya sudah umum dilakukan para konglomerat dengan memagangkan anak-anaknya di perusahaan sendiri atau di perusahaan koleganya. Untuk budaya kerja, Budi menyarankan sebaiknya sang anak atau cucu tidak langsung menempati posisi bos. Bisa saja ditempatkan di level menengah sehingga bisa memahami budaya perusahaan.

Keberhasilan atau kegagalan dalam regenerasi sangat tergantung pada interes dan motivasi generasi penerus. Juga, perlu diperhatikan adanya friksi yang berbeda antara anak dan orang tuanya. Meskipun anaknya terlihat mampu, anak buah orang tuanya yang sudah lama menekuni bisnis itu sudah terbiasa dengan gaya kepemimpinan bapaknya. “Ini tercermin di Jawa Pos dan Grup Djarum di mana gaya kepemimpinan anak berbeda dari orang tuanya,” ungkap Budi.

Agar sukses, yang perlu dipersiapkan orang tua, menurutnya, adalah pendidikan dan pengetahuan mengenai bisnisnya. Generasi penerus juga perlu dilibatkan dalam kegiatan perusahaan, tetapi yang paling penting orang tua jangan terlalu memaksakan kehendak untuk melibatkan anaknya dalam mengelola perusahaan. “Paling tidak, sebelum melibatkan generasi penerus, mereka harus memperkenalkan bisnisnya dulu,” tambah Budi.

Dalam telaah yang berbeda, pengamat SDM dari Prasetiya Mulya, Sammy Kristamulyana, menilai figur ibu sangat penting dalam kaderisasi di perusahaan keluarga. Karakter perusahaan keluarga memang selalu mempunyai tokoh sentral sebagai panutan. Bila konglomerat memiliki istri yang peduli mengurus anak, ia menduga kebanyakan akan berhasil. Faktor lain yang memengaruhi sukses- tidaknya kaderisasi adalah pergaulan orang tuanya sendiri. “Kalau bergaul hanya dengan kalangan bisnisnya, tidak akan banyak berkembang,” kata Sammy. Namun bila bergaulnya dengan kalangan intelektual akan kena imbas dan mulai memikirkan untuk melakukan perencanaan menyekolahkan anaknya ke luar negeri.

Faktor ketiga yang perlu diperhatikan, “Jangan lama-lama menyekolahkan anak di luar negeri,” Sammy menyarankan. Sebaiknya bila menyekolahkan anak ke luar negeri hanya sampai tingkat sarjana, kemudian dipanggil pulang untuk membantu orang tuanya. Sammy melihat beberapa konglomerat yang memberikan keleluasaan anaknya untuk mengasah kemampuan sekaligus mencari pengalaman di tempat lain yang punya track record, jelas sebagai langkah bijak. “Setelah itu, baru dipanggil untuk bergabung ke perusahaan yang dikelola orang tuanya. Kalau perlu mulai dari level yang paling bawah dan perlahan-lahan naik,” lanjutnya.

Senada dengan Budi, ia juga mewanti-wanti agar para konglomerat tidak memaksakan anaknya yang tidak mampu untuk menggantikannya. Meskipun perusahaannya sudah kepalang besar, harus menyerahkan kepada profesional. “Jangan sampai anak yang tidak bakat bisnis dipaksakan untuk melanjutkan bisnis keluarga,” katanya. Karena itu, sangat perlu memperkenalkan kepada mereka sejak awal bisnis yang digeluti orang tuanya.

Sammy juga mengamati, ada kekurangan besar yang menghinggapi generasi baru konglomerat. Para konglomerat generasi Sudono Salim dkk. memiliki unsur perkawanan sangat erat dan perkembangan bisnis di-sharing dengan sangat insentif. Namun perkawanan di kalangan anak-anak konglomerat ini tidak terlihat cukup erat. “Bisa jadi sudah terpengaruh pendidikan di luar yang lebih mengarahkan pada persaingan. Ini yang perlu digalang oleh the next generation enterpreneur, ” saran Sammy.


ARTKEL TERKAIT



No comments: