Wednesday, September 21, 2011

Serangan Hama Tikus dan Ramalan Produksi Padi versi Lontara

1. Mattaneng Pusa/Tanam Acak

Petani zaman dulu mengenal sistem "tanam pusa" yang merupakan salah satu metode sistem awal penanaman dengan pola tanam acak yang dimulai oleh pemilik sawah sebelum penanam lainnya turun untuk membantu penanaman. Pola penempatan rumpun padi tidak sistematik dalam satu petak sawah. Biasanya mereka memulai dari salah satu sudut petakan sawah. Jarak tanam biasanya 20 cm x 20 cm, maka untuk perlakuan awal penanaman tanam pusa mereka memulai jarak tanam yakni sehasta kira-kira 160 x 160 cm secara silang (seperti gambar di atas), di beberapa titik saja dan bila dianggap cukup (biasanya semua sudut dan tengah sawah), kemudin dilanjutkan dengan penanaman normal sesuai jarak tanam normal.

Makna tanam pusa menurut mereka adalah bahwa hama tikus tidak mengenal ujung pangkal penanaman. Anggapan mereka bahwa cara tikus menyerang padi biasanya memulai dari tanaman tertua dan menyerang secara diiagonal serta sistimatik dari rumpun tua ke rumpun muda. Asumsi ini perlu kajian ilmiah lebih lanjut.

2. Pengendalian Siklus Hidup

Petani dulu juga mengenal pengendalian hama tikus dengan pengamatan waktu tanam. Mereka telah mencatat bahwa tikus biasanya menyerang padi pada bulan April dan Mei, karena masa tersebut adalah masa perkembang biakkan dan masa bunting tikus. Dengan pengetahuan ini mereka sudah mengantisipasinya dengan cara mekanis dengan membersihkan pematang sawah atau menutup lubang tikus atau dengan cara lainnya. Namun yang sering di lakukan adalah menghindari waktu tanam bersamaan masa populasi tikus dalam kondisi puncak sesuai peritungan mereka.

Demikian juga pengendalian hama dan penyakit tanaman padi. Petani tradisional mengenal dan memahami siklus hama dan penyakit dengan melihat tanda-tanda di alam. Mereka memahami bahwa siklus hama ada 3 fase yakni ; serangga ada tapi hanya terbang saja dan tidak menyerang hama padi, b. serangga menghilang, c. serangga merusak hama padi. Tanda-tanda adanya hama dan penyakit adalah ketika daun tanaman waru (Hibiscus sp) berlubang dan adanya binatang seperti anjing gila, burung dan ayam banyak yang mati. Mereka biasanya menghindari penanaman pada saat tanda-anda ini muncul.

3. Penentuan Waktu Tanam

Petani Bugis - Makassar dapat meramal produksi padi melalui buku "Lontara Allorumang" yang membahas pengetahuan tradisional yang berhubungan sistem bercocok tanam berlandaskan fenomena alam, khusunya iklim, rotasi bumi, posisi bintang, tumbuhan dan hewan yang dikaji dalam rentang waktu lama. Bagi masyarakat Bugis, lontara adalah "buku panduan" yang menerangkan berbagai hal berkaitan dengan sistem bercocok tanam padi, mulai dari penentuan waktu tanam (mappalili), persemaian (mappatinro bine), penanaman dan pemeliharaan dan perlakuan pasca panen.

Dalam lontara diterangkan bahwa kondisi iklim untuk bercocok tanam (agro-klimat) selalu berubah-ubah dari tahun ke tahun selama 8 tahun (dekade) atau "sipariame" berdasarkan penamaan tahun yang dikenal di dalam lontara yakni tahun alif, ha, jim, shod, dal-riolo, ba, wau, dal-rimonri. Masing-masing tahun ini memiliki karakteristik berbeda-beda terhadap curah hujan, hari hujan, panjang musim kemarau, lama penyinaran, serangan hama penyakit, yang kesemuanya mempengaruhi produktivitas pertanian.

Karena itu petani Bugis, khususnya di Sidrap sebelum memasuki musim tanaman, biasanya mereka melakukan musyawarah "Tudang Sipulung". Dalam musyawarah ini dibahas masa awal tanam dengan merujuk ke buku Lontara yang berisi fenomena alam berupa tumbuhan dan perbintangan. Kedua tanda dan isyarat ini secara detail dijelaskan dalam Lontara Allorumang.

Lontara adalah salah satu khazanah ilmu pengetahuan yang kaya dengan kearifan lokal (indegenius knowled) yang belum banyak dikaji apalagi dimanfaatkan sebagai pertimbangan kebijakan sektor pertanian oleh stake holder, padahal ada kemungkinan pengetahuan tradisional tersebut ada benarnya dan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan hasil pertanian, proyeksi hasil pertanian dari tahun ke tahun dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung program pemerintah dalam swasembada dan ketahanan pangan nasional.

Iklim dan Produktivitas versi Lontara

Seperti disebutkan di atas bahwa klasifikasi dan karakteristik iklim dan curah hujan versi lontara ada delapan (8) siklus tahunan dan juga delapan kualitas dan kuantitas karakter curah hujan, hari hujan, lama penyinaran, penyebaran hama/penyakit dan proyeksi produktivitas hasil pertanian, khususnya padi. Adapun kriteria ikilm berdasarkan lontara sebagai berikut ;

Tahun Alif ; kemarau lebih awal dan pendek, intensitas hujan tinggi, produktivitas padi tinggi. Tahun Ha' ; kemarau lebih awal, intensitas hujan sedang dan produktivitas pertanian sedang. Tahun Jim ; intensitas hujan rendah, angin bertiup kencang, kemarau agak panjang, produktivitas pertanian rendah. Tahun Shod ; intensitas hujan tinggi, terjadi banjir, hama tikus menyerang tanaman padi, intensitas penyinaran cukup tinggi dan angin bertiup kencang, produksi rendah. Tahun Dal Riolo ; musim hujan lebih cepat, kemarau cukup panjang, persawahan kekeringan dan produksi sedang. Tahun Ba' ; kemarau lebih cepat, musim hujan pendek, produktivitas pertanian cukup tinggi. Tahun Wau ; intensitas hujan panjang, banjir, hama menyerang khususnya tikus dan walang sangit, intensitas angin cukup tinggi, produksi pertanian rendah. Dal Rimonri ; musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertipu kencang, produksi pertanian sedang Berdasarkan lontara bahwa tahun 2011 atau tahun 1431 Hijriah termasuk tahun "Wau" dimana kondisi iklimnya adalah; Intensitas hujan panjang, terjadi banjir, hama tikus dan walang sangit menyerang dan intensitas angin cukup tinggi serta produktivitas padi rendah. Kenyataan saat ini bahwa curah hujan cukup panjang dengan intensitas curah hujan yang tinggi dan hampir tidak ada masa jedah antara musim hujan dan musim kemarau, dan banjir sebagian melanda jazirah Sulawesi, hama tikus menyerang persawahan. Sehingga sebagian orang berangapan bahwa iklim saat ini tidak dapat diprediksi lagi, susah membedakan antara musim hujan dan musim kemarau. Padahal buku lontara telah meramalkan tahun ini adalah tahun 2011 . adalah tahun "Wau" kondisi iklimnya adalah ; Masseroi bosinna, masseroi anginna, manre balaoe enrengge ulae.

Bila dikaji konteks kualitas tahun dalam lontara, bahwa musim aktivitas tanaman di wilayah "Ajatappareng" (Sidrap - Pinrang, Barru dan Pare-Pare) yang dimulai pada awal Februari hingga Maret dan proyeksi panen pada Juni dan Juli merupakan iklim optimal untuk tanaman padi, khususnya curah hujan, lama penyinaran dan iklim mikro setempat. Hal ini ada relevansinya dengan acuan cara meramal produksi dengan menggunakan teknologi "hiperspektral" suatu perangkat lunak citra setelit yang dapat membaca indek luas daun, kandungan nitrogen dan kandungan klorofil.

Ramalan Produksi Padi versi Lontara

Untuk membuktikan ramalan lontara bahwa pada tahun 2009, bertepatan dengan tahun 1430 Hijriah, merupakan tahun peralihan dari tahun Daleng Riolo ke tahun Ba yang mana produksi hasil pertanian cukup tinggi, karena didukung dengan iklim yang baik, dimana kemarau lebih pendek dan musim hujan dengan intensitas sedang. Terbukti bahwa produksi pertanian di Sulawesi Selatan cukup berhasil pada tahun 2009/2010.

Berdasarkan ramalan lontara bahwa tahun 14 Desember 2010 akan memasuki tahun Dal Ri-monri dan berakhir pada November 2011, dimana karakter iklimnya adalah musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertiup cukup tinggi dan produksi pertanian sedang. Tahun Alif mulai akhir tahun 2011 sampai dengan awal Desember 2012, dan dipredeksi hasil pertanian tinggi. Karakter iklim tahun alif adalah kemarau lebih awal dan singkat, intensitas hujan tinggi, pertumbuhan padi baik, hama kurang dan produktivitas padi tinggi.

Jadi diantara 8 (delapan) tahun yang tertuang dalam lontara, maka tahun alif merupakan tahun yang paling produktif, kemudian tahun Ba', sedangkan tahun paling rendah hasilnya adalah tahun shod dan tahun wau.

Selain itu , sistem pertanian tradisional versi lontara juga mengenal masa tanam yakni "lamacitta golla", "letamma bombang", "latulekkeng eppang" dan "langgere tule". Masing-masing masa tanam ini ditentukan berdasarkan posisi letak bintang "salaga, tanra tellue, worong porong, dan pannina manue". Metode penentuan masa tanam adalah ketika bintang tepat berkulminasi pada saat mata hari terbenam atau waktu memasuki magrib.

Lamacitta golla adalah masa tanam awal untuk varietas panjang berkisar 120 hari. Masa tanam ini berkisar bulan pertengahan Fabruari adalah masa persemaian benih dan masa tanamanya mulai, namun pantangannya adalah menanam pada akhir Pebruari. Dengan demikian padi akan dipanen pada pertengan Juli. Tanda dan isyarat yang dilihat adalah tumbuhnya "serri awerrang" rumput menyerupai padi di persawah dan tanra tellue persisi berkulminasi pada saat matahari terbenam (pukul 7 malam).

"letamma bombang", isyarat yang dapat dilihat adalah ketika air ditengah sawah tidak sedang diteduh, tidak beriak lagi. Masa hambur benih pada minggi III Pebruari dan masa tanaman awal April.

"latulekkeng eppang" adalah masa tanam ke tiga dengan isyarat "maketteni assoe" (sinar matahari mulai cerah) dan bintang "Pannina Manue" mulai condong ke Barat. Masa ini akhir April. Dan masa tanam ini yang paling terakhir. Kalaupun ada yang menanam padi setelah ini, petani Bugis menyebutnya langerre tulu, artinya bahwa bila ada yang menanam berarti tanaman padi hanya menghasilkan pakan ternak atau kekeringan.

Banyak hal yang dapat dipetik dan dipelajari di dalam buku pertanian lontara Bugis sebagai kearifan lokal, yang perlu dikaji lebih dalam oleh pakar-pakar klimatologi pertanian, budidaya dan hama penyakit, karena pengetahuan asli, tentunya sesuai dengan kondisi setempat.

Penulis yakin bahwa diantara 12 tahapan kegiatan cara bercocok tanam yang tertulis dalam lontara, terdapat pengetahuan yang dapat menjadi ilmu dasar untuk dikembangkan menjadi teknologi tepat guna. Kita harus bangga bahwa para petani suku Bugis - Makassar jaman dulu memiliki talenta menulis dan mencatat gejala-gejala alam yang terjadi di sekelilingnya, sehingga menjadi pengetahuan, meskipun kajiannya belum ilmiah. Untuk itu para ilmuan semestinya melakukan kajian lebih dalam lagi, agar ada manfaat yang dapat dipetik di dalamnya. Karena tidak semua ilmu dan terapan teknologi yang sumbernya dari luar cocok diterapkan di suatu wilayah, mungkin perlu penyesuaian/adaptasi, atau membutuhkan input dan teknologi yang lebih mahal. Saat ini ada kecenderungan penerapan teknologi pertanian mengabaikan musim tanam, karena mengandalkan input sarana produksi seperti pupuk an-organik, pestisida-insektisida, irigasi dan bibit unggul. Konsekwensinya adalah biaya tinggi, kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh bahwa varietas-varietas padi unggul yang bersumber dari luar, membutuhkan input sarana produksi yang besar seperti pupuk an-organik, insekstida-pestisida, irigasi dan perlakuan budidaya secara khusus. Bila standar kebutuhan sarana produksinya tidak tercukupi, secara signifikan hasilnya juga rendah. Sedakan varietas lokal seperti saddang, bakka, kelara dll, tidak terlihat lagi, dengan alasan varietas lokal hasilnya rendah dan masa panen lebih lama 120 hari, padahal species inilah sebetulnya paling layak di Sulawesi Selatan.

Untuk itu menjadi tantangan ke depan bagi agronomis untuk melakukan pemuliaan tanaman lokal dengan varietas lain, agar genetik jenis lokal tetap menjadi andalan produksi lokal dan menjaganya dari kepunahan. Kita mengharapkan ada varietas yang sesuai dengan iklim yang mendukung pertumbuhan vegetatif - generatif secara optimal, agar dapat menghasilkan klorofil lebih banyak, lebar permukaan daun lebih besar meskipun berumur panjang, namun hasilnya lebih besar. Dari pada varietas pendek dan dipaksakan menanam 3 kali setahun, mengabaikan musim tanam, rentang terhadap hama dan butuh pupuk an-organik yang besar.

Sebagai penutup bahwa pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal, seperti cara bercocok tanam padi suku Bugis - Makassar patut dijadikan sumber dan inspirasi penerapan teknologi pertanian, karena di dalamnya masih ada relevansinya dengan ilmu pertanian modern. Dengan demikian tanggung jawab kita bersama, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan pemerintah guna mengkaji kandungan lontara pertanian baik secara teknis maupun non tekniks seperti metode penentuan tanam (mapalili), agar Sulawesi Selatan tetap menjadi lumbung pangan nasional.

ARTKEL TERKAIT



No comments: