Saturday, March 22, 2014

Misteri Identitas Pemegang Harta Amanah Dunia

Sejak perintah ajaib transfer dana dari otoritas pemegang kas Bank Dunia ke Indonesia dalam bentuk rupiah sebesar Rp. 1200 triliun pada Mei-Juni 2008, si pemegang kas di Bank Dunia tentu saja tidak mau disebut teledor, dituduh kebobolan atau nilep dong. Karena itu sejak Oktober 2008 mulailah dicari siapa dia.

Tentu saja yang ngorder transferan duit itu bukan Pemerintah Indonesia, karena Pemerintah Indonesia bukan yang punya duit itu. Tapi duit itu faktanya ada di Indonesia.
Karena setahun lebih parkir nganggur, maka wajar bila dana Rp. 1200 triliun itu ada yang menganggap bahwa dana itu satatusnya adalah dana tidak bertuan.  

Sekarang mari kita berandai-andai!

Kalau saya jadi orang Bank Indonesia, maka saya menghadapi tiga persoalan yang harus dijawab simultan secara cerdas namun tuntas-tas-tas.

Pertama, saya harus bisa menemukan siapa gerangan si bandar pemegang dana amanah yang gede banget itu. Kalau saja itu orang sampai bisa ketemu, Indonesia makmur! Uni Eropa dan AS ketulungan! Dunia pun kecipratan! Itu pasti! Karena begitu logikanya, maka segala cara kudu ditempuh untuk bisa menemukan si pemegang amanah sampai dapat. Dan itu butuh biaya 'silent operation' yang tidak kecil untuk melacak bin memburunya. Dan itu tidak murah jelas. Dan timnya pun harus khusus, beda dengan sebangsanya tim buser densus 88; ini mah harus punya kemampuan paranormal yang mumpuni karena yang dicari adalah orang sakti. Karena duit negara mah harus dipertanggungjawabkan setiap sen-nya kepada negara cq PPATK dan KPK, maka logis bila duit si bandarlah yang dipakai untuk itu. Logis, bukan? 


Pada titik ini, menjadi amat wajarlah bila para petinggi Bank Indonesiakeukeuh berargumen bahwa itu bukan duit negara, tapi duitnya sang bandar! Dan karena cukup lama parkir "tidak bertuan", tidak ada salahnya  berani mencairkan 'sebagian kecil' dana amanah tersebut untuk berbagai keperluan taktis maupun bekal persiapan pensiun, selama otoritas BI mampu setor bunga 2,5% per tahun ke kas Bank Dunia dan sukses muterin itu duit, why not? Cincai atuh!

Kedua, selama menunggu si pemegang dana amanah yang asli belum ketemu, maka tetap Bank Indonesia bakal ditagih bunga 2,5% per tahun oleh Bank Dunia. Why? Karena semua yang tau aturan perbankan internasional ngerti bahwa itu duit ada yang punya - walaupun belum ketauan siapa si bandar pemegang amanahnya - ya mau tidak mau harus diputer dong supaya sama si Bank Indonesia yang ketiban pulung ketempatan itu uang, supaya bisa bayar bunga 2,5% per tahun ke Bank Dunia. Kalau tidak begitu, siapa yang harus nanggung bunganya, Bank Dunia jelas tidak mau nanggung karena duitnya si Rp.1200 triliun itu jelas-jelas ada di Indonesia. Alhasil selama si bandar yang punya duit belum nongol menyatakan dirinya, maka si Pemerintah Indonesia cq. Bank Indonesia dong yang harus nanggung si bunga. Karenanya menjadi logis bila orang Bank Indonesia 'terpaksa' kudu muterin itu uang. Dan juga lapor ke petinggi Republik Indonesia.

Ketiga, implikasi dari lapor ke petinggi negeri, dan kudu mampu muterin duit, maka informasi ada 'dana tak bertuan' ini merebak bukan hanya di kalangan pebisnis top kelas kakap Indonesia tapi juga di kalangan petinggi partai politik, yang bermetamorfosis menjadi menteri-menteri kabinet koalisi. Maka akibatnya mudah ditebak bukan? Mulai APBN 2010 terjadilah skenario tiki-taka antara Senayan dengan kementrian-kementrian koalisi. Mark-up proyek-proyek setahunan harus bisa disulap menjadi multiyears dalam tempo sesingkat-singkatnya, berhubung semua butuh untuk sukses Pemilu 2014. Badan Anggaran di Senayan disetel jadi markas bersama pembuat skenario dana bancakan yang syah dan legitimate. Di antaranya, ya Hambalang itu. Karena di antara elite negeri sudah tau sama tau, maka supaya fair, semua partai koalisi pemenang pemilu etikanya wajib duduk bersama di sekretariat bersama. Manuver korupsi berjamaah menjarah negara ini ironis betul dengan fakta bahwa sebetulnya negara Indonesia itu setiap tahun APBN-nya tekor terus sehingga harus menerbitkan SUN (Surat Utang Negara) hanya untuk menutupi kekurangannya. Pada titik ini menjadi wajar bila SBY masygul tatkala elektabilitas partainya turun drastis karena alasan partainya korup, padahal ada partai lain yang lebih korupnya, bahkanbanyak.

Mari kita teruskan berandai-andainya kita!
Kalau saja sampai Tahun 2014 dana amanah tak bertuan itu tidak ada yang mengklaim, artinya si pemegang dana amanah tidak muncul-muncul, maka proyek multiyears Jembatan Selat Sunda yang nilai konstruksi jembatannya saja Rp. 100 triliun lebih pasti akan direalisir, dan bakal menjadi ajang penggelontoran bancakan berjamaah, karena proyek mercusuar itu nantinya bukan hanya jembatan doang, tapi juga menjelma menjadi rencana pembangunan dua kota kembar di sisi Sumatera dan di sisi Banten. Semua serba logis untuk diada-adakan kalau dana tak berbatas nyata-nyata ada. Urusan dana itu punya siapa dan gimana urusan balikinnya, itu mah urusan belakangan. EGP aje! Yang penting usaha gue untung, partai-partai koalisi kebagian jatah buat persiapan pemenangan pemilu 2014. Titik! Itu!

Tapi nyatanya si yang empunya, sang bandar, si pemegang dana amanah, tentu saja tidak akan tinggal diam dan tidak mungkin bakal tinggal diam.Why? Karena dana amanah itu sejatinya untuk memanusiakan manusia alias proyek kemanusiaan, proyek kebangkitan peradaban ummat manusia se-jagat, bukan proyek bagi-bagi duit awur-awuran yang gak jelas dan tanpa pola tanpa rencana. Dana amanah itu untuk mendanai kebangkitan umat tertindas, umat terpinggirkan, umat se-dunia menjadi zaman keemasan kesadaran tinggi menuju: aman, damai, sejahtera.
Hanya saja gerakan kebangkitan itu skenarionya mestinya dimulai dari Indonesia, dengan cara damai, tertib, tapi nehnik. Itulah skenarionya "dari atas"! Bisa dibayangkan kalau Anda yang terpilih jadi mandataris pemegang dana amanah oleh Gusti Allah, apakah Anda akan diam saja kalau dananya dikorup segelintir manusia-manusia rakus, tamak, pendusta, bengis, loba, raja-tega, tapi berkuasa? Tentu tidak bukan? Karena kalau Anda diam saja membiarkan semua kebobrokan itu berlangsung tanpa kendali, Anda-lah yang akan ketiban pulung harus bertanggungjawab kepada Gusti Allah, bukan? Naah, ini juga sama. Apa bedanya?

Sampai sini mau dilanjut?

OK!
Mari kita lanjutkan andai-andai kita.

Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1977, kurs pernah mencapai Rp.16.000/USD. Lalu 15 Januari 1998 menyentuh Rp.17.500/USD. Tapi pada era Presiden Habibie bisa turun menjadi Rp. 6.750/USD, lalu Oktober 1999 menjadi Rp.7.000/USD dan April 2000 menjadi Rp. 12.000/USD. Pada Februari 2009 kurs menjadi menjadi Rp.12.000/USD kembali.
Kemudian,Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan Indonesia membutuhkan dana pinjaman siaga (kontingensi loan) sebesar US$5 miliaratau sekitar Rp46,7 triliun guna menutupi defisit anggaran tahun ini. Dana itu merupakan bantalan pembiayaan ketika segala upaya sudah tidak bisa dilakukan pemerintah. "Kita mengharapkan akan mencapai US$5 miliar," ujar Agus di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (21/5). Pemerintah  dipastikan akan menandatangani komitmen pinjaman siaga dari negara donor sebesar US$ 5,5 miliar (Rp 51,7 triliun) pada bulan Juli mendatang. "Paling lambat pertengahan Juli sudah tanda tangan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto, Jumat, 29 Juni 2012.

Ini semua mencerminkan apa, ya?


Begitu sang bandar memasukkan dana ke Indonesia, maka kurs turun menjadi Rp.8.600 per dollar, bukan?  Naah, sebelum semuanya kasip dan terlena, maka sang bandar pemegang dana amanah segera bertindak. Sebelum dana Rp. 1200 tiriliun habis raib dikorup berjamaah tanpa ada yang berani bertanggungjawab,  dana ditarik secara ajaib dari peredaran, mula-mula di split, 500, lalu dibangkucadangkan yang 700,  supaya moneter dan iklim dunia usaha tidak tiba-tiba kempes dan limbung. Setelah sebagian dana tempatan ditarik oleh sang bandar, kurs sekarang kembali naik ke angka Rp.9,700 lagi.


Bagi Anda-Anda yang pernah atau sedang terlanjur menggeluti dana amanah, pasti familiar dengan salah satu atau beberapa nama-nama ini: Soewarno, Khairul Fathollah, Ibu Sarinah, atau pun King Wali Sakti.

Sudah sejak zaman Pak Harto konon ada banyak rombongan kecil berangkat membawa Mr. Soewarno ke Swiss sana untuk mencoba mencairkandana amanah, tapi pulang dengan tangan kosong, bahkan beberapa tidak kembali.
Di dalam negeri sendiri, silih berganti orang-orang yang mengaku orangnya Soewarno, atau Khairul Fathollah, atau Ibu Sarinah dengan membawa setumpuk dokumen kolateral, yang akan membagi-bagikan uang hibah untuk rakyat miskin, proyek kemanusiaan, untuk mendirikan rumah sakit di pelosok, dan banyak lagi, yang semuanya tinggal sebentar lagi pasti cair, hanya butuh uang untuk menjemputnya ke Jakarta saja. Itulah yang akhirnya sering disebut sebagai PO (Proyek Ongkos). Seperti yang iyah tapi bo'ong. Seperti yang asli tapi bodong. Diam-diam, banyak sudah korban yang tertipu, uang warisan amblas harapan kandas.


Tatkala dana Rp.1.200 triliun masuk ke Indonesia, semua yang mengaku nama-nama tersebut di atas berdalih dan yakin bahwa itu adalah hasil perbuatan mereka, jasa mereka. Dengan lantang mereka mengatakan bahwa uang sudah ada di Bank Mandiri, di BNI, di BRI dsb. tinggal tunggu tanggal mainnya-lah, sebentar lagi-lah, tunggu SBY pulang dari Davos-lah, tunggu SBY pulang dari G-20-lah, tunggu SBY dari Amerika-lah, tinggal tunggu SBY pulang dari Inggris-lah. Tetapi tatkala sebagian dana tiba-tiba ditarik secara ajaib dari peredaran, dan sebagian lagi 'disimpan' di BI, mereka yang mengaku-ngaku itu hanya bisa beralasan macam-macam, atau mengambil sikap diam membisu seribu basa. Why? Karena memang mereka bukan pemegang dana amanah yang asli. Mereka tidak memiliki kesaktian itu.

Sekarang saya akan menceritakan tipologi orang-orang yang memburu dana amanah ini. Tipe pertama sosok individu orang-orang yang punya gelar akademik lulusan sekolah bisnis di luar negeri faham aturan perbankan internasional, penelusuran modern dan lobby canggih bermodal sponsor kuat, memburu harta karun dana amanah berdasar kelengkapan dan keabsahan dokumen otentik. Tipe kedua adalah sosok individu yang prihatin, non-akademik, melakukan tapabrata menempuh jalan spiritual untuk membuka misteri dana amanah. Kedua tipe manusia ini pada akhirnya ketemu di satu titik yang sama, sama-sama menyimpulkan bahwa dana amanah itu benar-benar ada, benar-benar "on" tetapi keukeuh tidak bisa mencairkan dana amanah karena yang berhak mencairkannya adalah si mandataris pemegang dana amanah yang asli, dan yang asli bukan mereka. Walau pun kedua tipe ini digabung jadi satu tim pun tetap saja tidak mampu mencairkan. Why?

Ya... memang "sengaja" dibuat begitu.

Kenapa sengaja dibuat begitu?

Begini logikanya!

Kalau hanya mengandalkan bonafiditas dan pengetahuan akademik perbankan dan kekuatan uang saja, siapa sih di dunia ini yang bisa tahan dan sanggup melawan kekuatan jaringan Illuminati International? Merekalah yang punya jaringan perbankan terkuat di dunia, mereka punya jaringan bisnis multinasional di bidang energi, multimedia, pertambangan, senjata militer canggih, satelit intelijen online, pokoknya semua yang ada di dunia ada di dalam jangkauan tangan mereka. bahkan mafia-mafia pun asuhan di bawah kontrol mereka. Merekalah 13 keluarga Yahudi paling top kaya raya dunia. Bahkan salah satunya, keluarga Rothchild dijuluki sang nabi uangthe prophet of money. 
Sebaliknya pun begitu. Kalau kalibernya masih paranormal biasa kelas lokal, siapa bisa melawan kekuatan supranatural kaum Yahudi Illuminati yang terkenal cerdas itu? Kaliber dunia gitu loh!
Jadi alhasil, kalau ukurannya dunia, maka di dunia ini baik kekuatan uang, kekuatan otentik dokumen maupun kekuatan paranormal, tidak akan ada yang bisa menandingi kekuatan jaringan Illuminati. Itu kata dunia. Tapi rencana Gusti Allah tentu lain lagi. seperti kata pepatah : Di atas langit masih  ada langit.
Alhasil, si pemegang dana amanah yang asli adalah orang yang sakti. Sakti bukan karena dirinya memang sakti, tetapi karena Gusti Allah memilihnya untuk memegang amanah dengan selamat, karenanya harus di-sakti-kan! Maka jadilah dia orang yang sakti sampai tugasnya dianggap selesai tuntas.

Pertanyaannya: sesakti apakah sih dia?

Begini ukurannya.

Pertama, pada tahun 2005, seluruh perjanjian yang bersumber dan mengacu kepada perjanjian induk, termasuk perjanjian induknya, habis masa berlakunya. Ini berarti siapapun yang mau mencairkan dana amanah harus membuat perjanjian induk yang baru. Untuk membuat perjanjian induk yang baru maka perangkat perjanjian induk yang lama harus dihadirkan, dan demikian pula si pemegang amanah.
Mari kita fokus dulu ke perangkat perjanjian induk yang lama. Itu terdiri atas tiga benda, disimpan dalam peti, dan peti disimpan di dalam "loker" di Eropa sana. Perjanjian induk yang lama ditandatangani oleh 12 kerajaan, dan di dalamnya tercantum dua nama, yaitu: Soewarno, dan Kerajaan Sunda Nusantara Parahyangan.
Pada Juni 2006, Bush "diteropong membobol loker", namun sang peti - tentu saja beserta isinya - terbang bak cahaya. Intel dan  paranormal dibantu satelit canggih mereka berhasil melacak, si peti "terbang" ke Bogor! Itulah ceritanya mengapa 20 November 2006 - sehari sebelum jatuh tempo Amerika bayar sewa kolateral kepada rakyat Indonesia - Bush dengan "pasukan khususnya" sengaja datang ke Indonesia dengan agenda yang agak aneh, yaitu maunya ke Bogor, dengan pengawalan seper dan ekstra ketat, misinya rahasia, membuat helipad di halaman Istana Bogor di dalam Kebun Raya Bogor. Maunya hanya satu - pake gaya koboy - menjarah itu peti. Tapi sang peti tiba-tiba menghilang, "terbang" ke Bandung!


Kedua, yang membuat mereka tambah kelimpungan adalah cadangan emas yang mereka timbun di gudang-gudang Federal Reserve maupun di Fort Knox, tiba-tiba dipertanyakan keberadaannya oleh Senator Ron Paul. Dengan demikian ada tiga skenario yang mungkin terjadi: (1) Emas sebenarnya masih ada tapi memang tidak pernah diaudit; (2) Emasnya sudah dijual diam-diam oleh The Federal Reserve; (3) Emas tersebut adalah emas yang  dijadikan kolateral pada perjanjian induk awal, dan ditarik balik oleh "sang penjaga gudang".  Jika menggunakan skenario ketiga, menjadi relevan dan logis mengapa Indonesia bisa masuk ke kelompok G-20 padahal sebenarnya dinilai layak masuk kelompok BRICS (Brazilia, Rusia, India, China, South Africa) - pun belum, baru hampir; itupun kalau mulus tanpa gejolak dan nihil disintegrasi. Presiden SBY diundang kesana kemari, menjadi tamu kehormatan dan mendapat gelar kehormatan di Inggris oleh Ratu Elisabeth II, bahkan secara aklamasi oleh para pemimpin dunia dipilih menjadi salah satu trio juru damai perumus masa depan dunia yang lebih baik dan damai. Luar biasa! Semua pemimpin negara dan lembaga-lembaga dunia yang matanya awas bin waspada memang mau tidak mau terpaksa menoleh kepada Indonesia, tergopoh-gopoh silih berganti berkunjung ke Jakarta; ada pakar dan pengamat luar negeri yang memuji setinggi langit bahwasanya Indonesia akan menjadi negara terkuat di dunia; padahal sejatinya mereka berbaik-baik karena semua minta tolong negerinya didahulukan kepada Indonesia. Ironisnya, di dalam negeri para elite politik asyik sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk dengan urusannya sendiri, sibuk dengan obsesinya sendiri, sibuk dengan sengketanya sendiri, sibuk dengan kelitannya supaya lolos dari kejaran jerat hukum KPK dan luput dari lacakannya PPATK.

Ketiga, mereka melacak dan menurunkan tim demi tim ke Bandung, dengan misi rahasia, yaitu mencari who pemegang dana amanah yang asli. Di lain pihak, para sultan, para raja se-Nusantara yang punya kemampuan paranormal atau pun punya informasi tentang warisan harta karun dan/atau silsilah yang nyambung, juga berkesimpulan yang sama, yaitu selain mereka ingin kebagian atau merasa berhak atas harta karun nenek moyang, bahwa si mandataris pemegang amanah ternyata bermukimnya di Bandung. Maka saling intip mengintip terjadi di balik manuver pertemuan demi pertemuan para raja dan sultan di kota ini. Semuanya mencari yang mana gerangan sebenarnya sang mandataris pemegang dana amanah yang asli. Yang merasa dirinya pantas sih lebih dari satu, tetapi yang punya kesaktian dan punya tanda, tidak ada.

Baik para intel luar negeri, para kaki-tangan Illuminati di sini, para kerabat sultan dan raja-raja maupun kaum paranormal domestik yang lumayan tinggi ilmunya, semuanya diam-diam sepakat bahwa identitas sang pemegang dana amanah ada kaitannya dan berhubungan erat dengan dua 'clue' berikut ini: pertama, "Soewarno", dan kedua "Sunda Nusantara Parahyangan". Harap dimaklum, "Soewarno" yang dimaksud bukan orang, bukan sosok kakek-kakek dari Solo bernama Soewarno. Itu kode rahasia, gabungan dua kekuatan/ketinggian ilmu;  itulah cerminan kecerdasan para karuhun untuk mengantisipasi dana amanah tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak menurut ketentuan-NYA.

Lalu, apa maunya sang bandar si pemegang dana amanah agar bersedia mencairkan dana amanah yang sangat ditunggu-tunggu oleh dunia?

Cepat atau lambat memang sang bandar harus turun gunung. Permintaannya hanya satu: menunggu tanda yang jelas dari Gusti Allah, siapa tim penjemput yang absah dari Swiss! Di sanalah sang bandar bertemu kembali dengan "sang penjaga gudang asset dana amanah": Nabi Khidir as, dan Nabi Ilyas as!























ARTKEL TERKAIT



No comments: