Saturday, November 26, 2011

Kapal Harta Karun

Kisah mustahil ini mungkin akan terkubur selamanya seandainya tidak terjadi penemuan mencengangkan pada April 2008, yakni penemuan kapal karam di pesisir pantai Sperrgebiet—sebuah daerah sewa-pakai tambang berlian De Beers yang luar biasa kaya dan dikenal amat terlarang bagi umum di dekat muara Sungai Jingga di pesisir Namibia sebelah selatan. Geolog perusahaan yang bekerja di daerah pertambangan U-60 secara tak sengaja menemukan sesuatu yang semula ia kira adalah sebongkah batu berbentuk setengah bulatan yang mulus. Karena penasaran, dia memungutnya dan langsung menyadari bahwa benda itu adalah inggot tembaga. Tanda berbentuk trisula di permukaannya yang sudah lapuk ternyata adalah tanda resmi Anton Fugger, salah seorang taipan terkaya era Renaisance di Eropa. Inggot tembaga itu adalah inggot yang ditukar dengan rempah-rempah di kawasan Hindia pada separuh pertama abad ke-16.

Para arkeolog kemudian secara mencengangkan menemukan 22 ton inggot tembaga di bawah pasir, bersama dengan meriam dan pedang, gading dan astrolab, musket (jenis senapan kuno) dan rompi dari jalinan mata rantai—seluruhnya ada ribuan artefak. Juga emas, tentu saja, dalam jumlah berlimpah: lebih dari 2.000 koin indah yang berat—sebagian besar berupa excelente Spanyol berukir gambar Ferdinand dan Isabella. Terdapat pula sedikit koin Venesia, Moor, Prancis, dan koin lainnya selain koin Portugal yang sangat elok dengan lambang kebesaran Raja João III.
Ini adalah kapal karam tertua yang pernah ditemukan di pantai Afrika sub-Sahara, juga yang paling berharga. Nilainya dalam dolar tak terkira. Namun, yang mengobarkan gairah para arkeolog dunia bukanlah harta karunnya, melainkan kapal karam itu sendiri: Sebuah East Indiaman Portugal dari tahun 1530an, tahun yang merupakan jantung masa penemuan, dengan muatan harta dan barang dagang yang masih utuh, terkubur tak terjamah dan tak terduga di dalam hamparan pasir ini selama hampir 500 tahun.

“Ini adalah kesempatan yang tak ternilai,” kata Francisco Alves, sesepuh arkeolog kelautan Portugal dan kepala arkeologi kelautan Kementerian Kebudayaan. “Pengetahuan kita mengenai kapal-kapal kuno hebat ini hanya segelintir. Ini baru kapal kedua yang pernah digali para arkeolog. Semua kapal karam lainnya dijarah pemburu harta karun.”

Para pemburu harta karun tidak akan pernah merepotkan di sini, di salah satu tambang berlian yang paling ketat penjagaannya di dunia, di pantai yang namanya pun—Sperrgebiet—berarti “zona terlarang” dalam bahasa Jerman. Jangankan menjarah, para petinggi De Beers dan petinggi pemerintahan Namibia yang menangani lahan sewa-pakai sebagai usaha patungan bernama Namdeb menangguhkan kegiatan operasional mereka di seputar lokasi kapal karam itu. Mereka memanggil tim arkeolog, dan selama beberapa pekan yang sangat menggairahkan mereka bukan menambang berlian, namun menyingkap sejarah.

 Para peneliti pastilah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengkaji barang yang berlimpah ruah yang didapatkan sedikit demi sedikit dari Kapal Karam Berlian itu, begitu julukannya sekarang. “Begitu banyak yang tidak diketahui,” kata Filipe Vieira de Castro, koordinator kelahiran Portugal yang memimpin program arkeologi kelautan di Texas A&M University. Castro menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahun mengkaji beberapa kapal dagang Portugal atau nau, dan belakangan ini mengembangkan model komputer berdasarkan sekelumit bukti arkeologi yang ada. “Kapal karam ini memberi kami wawasan baru tentang banyak hal, mulai dari rancangan badan kapal, tali-temali, dan bagaimana kapal-kapal ini berevolusi, hingga kegiatan sehari-hari seperti cara awak kapal memasak di kapal dan barang apa saja yang dibawa orang ketika melakukan perjalanan panjang ini.”

Sekarang, dugaan melalui pengkajian berbagai naskah kuno dan arsip kerajaan di Lisbon ini menghasilkan sekumpulan kepingan informasi yang memadai untuk menyingkap kisah perjalanan yang sudah lama dilupakan. Juga menguak kapal hilang yang ternyata dipenuhi ironi dan alegori, sama banyaknya dengan emas yang ditemukan.

Kisah ini dimulai pada suatu hari yang cerah di musim semi di Lisbon—tepatnya Jumat, 7 Maret 1533—saat beberapa nau berukuran besar dalam armada kapal menuju India berlayar dengan gagahnya menyusuri Sungai Tagus dan keluar menuju Samudra Atlantik yang luas dengan bendera dan layar berkibar-kibar serta sutera dan beludru warna-warni berjurai dari benteng kapal yang tinggi menjulang. Semua ini kebanggaan Portugal ibarat pesawat ruang angkasa ulang-alik pada masa mereka. Nau bertolak menempuh petualangan 15 bulan untuk membawa pulang harta dalam bentuk merica dan rempah-rempah dari benua nun jauh di sana. Goa, Cochin, Sofala, Mombasa, Zanzibar, Ternate: Tempat-tempat bersejarah yang dulu terasa begitu jauh seperti jauhnya bintang, kini merupakan pelabuhan yang sering dikunjungi, nama-nama yang begitu dikenal orang Portugal, berkat kecerdikan dan teknologi maju yang mereka miliki saat itu.

Kapal-kapal yang berlayar menyusuri Sungai Tagus pada 1533 itu merupakan kapal yang kokoh dan piawai; dua di antaranya masih baru, milik raja. Salah satunya adalah Bom Jesus—Yesus yang Baik—dinakhodai seseorang bernama Dom Francisco de Noronha dan mengangkut sekitar 300 orang pelaut, serdadu, saudagar, pendeta, bangsawan, dan budak.

MENYEMATKAN NAMA dan kisah pada kapal karam tanpa nama berusia lima abad, yang ditemukan secara tak sengaja di pesisir yang begitu luas, memerlukan pengkajian cermat. Bukan sekadar mengandalkan nasib baik—terutama jika diperkirakan kapal karam itu adalah kapal karam di masa awal Kerajaan Portugal. Meskipun setelah itu Kerajaan Spanyol meninggalkan arsip yang menggunung, namun gempa bumi, tsunami, dan kebakaran yang hebat pada November 1755 bisa dikatakan menghilangkan Lisbon dari peta. Hal ini juga menyebabkan Casa da India, gedung yang menyimpan sejumlah besar peta, bagan, dan catatan pelayaran yang berharga, runtuh ke dalam Sungai Tagus.

“Kejadian itu menimbulkan lubang besar dalam sejarah negeri kami,” kata Alexandre Monteiro, arkeolog kelautan dan peneliti yang bertugas di Kementrian Kebudayaan Portugal. “Tanpa arsip India untuk diteliti, kami harus beralih ke cara lain yang lebih imajinatif untuk menemukan informasi.”

Dalam hal ini, petunjuk yang penting datang dari koin yang ditemukan dalam jumlah berlimpah pada kapal karam itu—terutama koin Raja João III yang indah dan langka. Koin-koin tersebut dicetak hanya selama beberapa tahun saja, dari 1525 sampai 1538. Setelah itu semua koin ditarik dari peredaran, dilebur, dan tak pernah diterbitkan kembali. Menemukan begitu banyak koin baru yang mengilap di kapal karam itu merupakan indikasi kuat bahwa kapal itu berlayar dalam kurun waktu 13 tahun tersebut. Apalagi muatan inggot tembaga menyiratkan bahwa kapal itu dalam pelayaran menuju India untuk membeli rempah-rempah, bukan pelayaran pulang.

 Meskipun arsip lengkap Casa da India sudah lama hilang, beberapa potongan berharga ada di perpustakaan dan dalam kumpulan arsip yang selamat dalam gempa bumi 1755. Di antaranya terdapat Relações das Armadas, yang dikenal sebagai paparan tentang armada kapal. Kajian saksama terhadap paparan terlengkap menunjukkan 21 kapal hilang dalam pelayaran menuju India antara 1525 dan 1600. Hanya satu di antaranya yang tenggelam di dekat Namibia: kapal Bom Jesus, yang berlayar pada 1533 dan “lenyap di belokan Tanjung Harapan.”

Petunjuk lain yang memikat tentang Bom Jesus datang dari sepucuk surat yang ditemukan Monteiro dalam arsip kerajaan. Bertanggal 13 Februari 1533, surat itu mengungkapkan bahwa Raja João baru saja memerintahkan seorang ksatria berangkat ke Seville untuk menjemput emas bernilai 20.000 crusado dari kelompok saudagar yang hendak menanamkan modal dalam armada kapal yang akan segera berlayar menuju India—Bom Jesus ada dalam armada itu. Para arkeolog mula-mula kebingungan karena menemukan begitu banyak koin Spanyol di kapal karam itu—sekitar 70 persen kepingan emas merupakan koin excelente, sesuatu yang tak terduga ada di kapal Portugal. “Surat ini berhasil menjelaskan keanehan tersebut,” kata Monteiro. “Para investor Spanyol tampaknya menanamkan modal sangat besar dalam armada kapal 1533 ini.”

Sebuah buku langka yang besar dari abad ke-16 berjudul Memória das Armadas bahkan memberikan pandangan sekilas yang memikat tentang Bom Jesus. Buku yang diterbitkan sebagai edisi kenangan, semacam buku bacaan ringan berukuran besar dan berat dari zaman Renaisance, memuat gambar semua kapal yang berlayar menuju India setiap tahun setelah Vasco da Gama merintis rutenya pada 1497. Di antara gambar untuk tahun 1533 tampak sebuah ilustrasi berupa dua tiang kapal dengan layar terkembang, menghilang ditelan ombak dan nama “Bom Jesus” disertai sebuah epitaf sederhana: perdido—yang artinya hilang.

Apa yang terjadi? Tampaknya, sekitar empat bulan setelah keberangkatan yang meriah dari Lisbon, armada pertama yang berlayar pada 1533 diterjang badai besar hingga porak-poranda. Beritanya tidak terlalu terperinci. Catatan perjalanan yang ditulis Nakhoda Dom João Pereira, kepala armada tersebut, hilang. Yang tersisa hanyalah pengakuan seorang kerani yang mengatakan bahwa laporan itu sudah diterima dan disebutkan bahwa Bom Jesus hilang dalam cuaca buruk di sekitar tanjung. Mudah saja membayangkan apa yang mungkin terjadi kemudian: Kapal yang porak-poranda oleh badai itu terperangkap dalam angin kencang dan gulungan ombak di sepanjang pesisir Afrika di bagian barat daya dan terseret ratusan kilometer ke arah utara. Ketika semak belukar Gurun Namib yang terbawa angin muncul dalam pandangan, nau yang malang itu menabrak batu yang menjulang sekitar 140 meter dari tepi pantai. Hantaman mengerikan itu memecahkan sebongkah besar buritan kapal, menumpahkan berton-ton inggot tembaga ke laut dan mengirimkan Bom Jesus ke kuburannya.

 LIMA ABAD kemudian, di situs arkeologi kelautan yang suasananya ganjil, sekelompok peneliti bertopi dengan kulit terlindung tabir surya tampak sedang melakukan ekskavasi kapal karam yang tergeletak sekitar enam meter di bawah permukaan laut. Sementara itu, Samudra Atlantik dihalangi oleh dinding penahan ombak dari tanah yang kokoh dan besar dengan sedikit kebocoran di sepanjang dasarnya. Kamera televisi sirkuit tertutup (CCTV) yang dipasang di sekeliling batas situs mengawasi gerakan setiap orang—yang mengingatkan bahwa di tengah kehebohan penemuan ini, kawasan tersebut tetap sebuah tambang berlian. Di tambang yang kaya, butiran berlian mungkin saja tercampur dengan pasir yang dibersihkan dengan sikat oleh para arkeolog.

“Kalau saja bukan karena inggot tembaga yang membuat segalanya menjadi berat, tidak akan ada benda apa pun yang bisa ditemukan di sini,” kata Bruno Werz, direktur Institut Arkeologi Kelautan Afrika Selatan, yang dipanggil dari Cape Town untuk membantu penggalian. “Badai dan ombak selama lima abad pasti sudah menyapu habis semuanya.”

Werz dan sekelompok peneliti meneliti kapal karam itu dengan sangat cermat: mengukur, memotret, memindai situs itu satu demi satu milimeter dengan pemindai laser tiga dimensi yang tercanggih. Mereka berusaha, antara lain merakit kembali saat-saat terakhir mengerikan yang dialami kapal itu yang pasti sangat tak menyenangkan. Sisa-sisa serpihan lambung dan bangunan di bagian muka kapal, serta layar, tiang, dan tali-temali berserakan dalam alunan ombak, mengapung ke utara bersama arus dan mungkin berceceran dalam perjalanannya. Para pekerja tambang menemukan balok tali-temali dari kayu berukuran besar di daerah pesisir empat kilometer jauhnya ke arah utara.

Dan bagaimana nasib penumpang kapal, Dom Francisco dan yang lain?

“Badai musim dingin di sepanjang garis pantai di sini bukan main-main,” kata Dieter Noli, arkeolog di tambang itu, yang telah tinggal dan bekerja di bagian Gurun Namib di kawasan ini selama lebih dari sepuluh tahun. “Pasti sangat mengerikan, dengan kecepatan angin lebih dari 125 kilometer per jam dan ombak raksasa yang pecah. Merapat ke pantai boleh dikatakan mustahil. Akan tetapi, ketika badai sudah reda, dan kapal terseret ke pantai pada suatu hari tenang dan berkabut yang juga kita alami saat ini, maka hal itu membuka banyak kemungkinan menarik yang bisa terjadi.”

Hal seperti itu mungkin saja terjadi. Meskipun tulang jari kaki manusia di dalam sebuah sepatu ditemukan terjepit di bawah tumpukan kayu menunjukkan bahwa sedikitnya satu orang tidak berhasil selamat, tulang itu adalah satu-satunya sisa tubuh manusia yang ditemukan dari kapal karam itu. Beberapa barang pribadi ditemukan pula di antara artefak. Semua fakta ini menyebabkan para arkeolog yakin bahwa walaupun kapal pecah di sepanjang garis pantai, banyak penumpang walaupun tak sebagian besar, berhasil mencapai daratan.

Lalu, apa yang selanjutnya terjadi? Ini adalah kawasan yang paling tidak ramah di Bumi, tanah kosong tak berpenghuni yang diselimuti pasir dan semak belukar yang membentang ratusan kilometer. Saat itu musim dingin. Mereka kedinginan, basah, kelelahan, dan kehilangan yang mereka butuhkan. Tidak ada harapan akan adanya bala bantuan karena tidak seorang pun di luar sana yang tahu bahwa mereka masih hidup, juga tempat mereka terdampar. Tidak mungkin pula ada kapal yang kebetulan lewat ke kawasan itu; mereka berada jauh dari rute pelayaran yang biasa dilalui para pedagang. Sementara untuk kembali ke Portugal, entah dengan cara apa—yah, bolehlah dikatakan semua penumpang kapal itu ibarat terdampar di Mars.

 Meskipun begitu, menurut Noli kedaan orang-orang yang terdampar itu belum tentu berakhir buruk. Sungai Jingga hanya berjarak 25 kilometer ke arah selatan kapal karam itu. Sumber air tawar ini ditumbuhi tanaman yang mungkin mereka lihat di saat mengapung di muaranya. Banyak pula makanan di sekitar situ: kerang, telur burung laut, dan keong darat gurun yang berlimpah.

Selain itu, orang-orang Portugal itu mungkin bertemu dengan para pakar yang mengetahui cara bertahan hidup di daerah itu. Musim dingin adalah musim ketika para pemburu-pengumpul, yang di masa kini dikenal sebagai Bushmen, berkelana ke arah utara di sepanjang garis pantai ini dengan harapan menemukan bangkai paus sikat dari selatan yang sesekali terdampar ke pantai di sini.

Bagaimana cara orang-orang Portugal ini menyikapi perkenalan tersebut bergantung pada mereka sendiri, kata Noli. “Jika mereka bisa melakukan tawar-menawar, bukan berusaha untuk berkuasa, mereka pasti dapat hidup berdampingan dengan damai Beberapa kelompok pengelena-pemburu di sepanjang sungai itu tidak bersaing untuk berebutan sumber daya sehingga tidak ada alasan untuk memusuhi pendatang baru. Sebaliknya, seorang dom Portugal berperawakan tegap mungkin bahkan dipandang sebagai calon menantu yang istimewa.”

Bagaimana pun nasib akhir mereka, penumpang Bom Jesus yang selamat tidak pernah mengira ironi indah yang mereka utarakan dalam doa sekian waktu yang silam di Lisbon ternyata dikabulkan. Mereka bertolak menempuh perjalanan panjang untuk mencari kekayaan, bersumpah di altar dan ikon untuk mencapai kebaikan dan kesuksesan. Dan di sinilah mereka sekarang, terdampar di pantai yang memberikan harta yang tak terbayangkan—bentangan gurun sepanjang 300 kilometer yang kekayaannya sungguh menakjubkan, yaitu berlian bermutu tinggi. Di awal tahun 1900an seorang penjelajah bernama Ernst Reuning bahkan bertaruh dengan temannya tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk memenuhi cangkir kaleng dengan permata yang ditemukan berserakan di pasir. Pekerjaan itu hanya memerlukan waktu sepuluh menit saja.

Dalam kurun waktu yang begitu lama, sungai besar itu menghanyutkan jutaan, bahkan milyaran berlian dari tempat penyimpanan sejauh 2.735 kilometer di pedalaman. Hanya batu permata yang paling keras dan cemerlang sajalah, beberapa di antaranya dengan berat ratusan karat, yang berhasil bertahan dalam perjalanan tersebut. Berlian-berlian itu tumpah ke Samudra Atlantik di muara sungai dan terhempas ke pantai, dibawa arus dingin yang sama, yang suatu hari menyapu Bom Jesus menuju ajalnya.

ARTKEL TERKAIT



No comments: