EPIK MENARIK
Setelah epos Mahabarata dan Ramayana,
cerita Menak merupakan karya fiksi yang banyak menginspirasi orang Jawa
dan Lombok, baik dari kalangan rakyat kecil hingga kaum pembesar pada
jamannya. Dari cerita ini nyatanya telah lahir sejumlah karya sastra dan
budaya yang bermutu tinggi dengan tanpa mengabaikan aspek moralitas.
Cerita Menak merupakan inspirasi bagi lahirnya Wayang Menak yang sering dahulu dipentaskan sebagai tontonan rakyat kecil hingga bangsawan di Kraton. Menyusul kemudian Wayang Golek Menak dan Wayang Orang Menak.
Sejumlah sendratari juga lahir dari cerita Menak ini. Demikian juga
seni ukir dan tatah sungging tidak mau ketinggalan mendapatkan inspirasi
dari cerita yang sama. Termasuk juga membidani lahirnya sejumlah karya
sastra lain yang mewarisi semangat cerita Menak.
Mengapa cerita ini sangat inspiratif
bagi sebagian mereka ? Masyarakat Jawa umumnya sangat menyukai
cerita-cerita kepahlawanan (epos) yang mengedepankan sifat kesatriyaan,
keprajuritan, pantang menyerah, dan perjuangan juga lika-liku romantisme
yang mengharu biru. Cerita Menak nyatanya mampu menawarkan semua sisi
tersebut. Selain itu cerita Menak juga memberikan ajaran moralitas yang
tinggi.
SPIRIT BUDAYA DAN SENI ISLAM
Pada dasarnya, cerita Menak adalah
sebuah gambaran perjuangan kaum muslimin dalam melakukan dakwah dan
jihad untuk meninggikan kalimat Allah. Sumber ceritanya berasal dari
kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M). Karya sastra ini di Melayu kemudian dikenal dengan nama “Hikayat Amir Hamzah”. Transliterasi awal terhadap kisah Amir Hamzah di Jawa dilakukan pada tahun 1717 M oleh Ki Carik Narawita (carik = jabatan untuk seorang Jaksa di Keraton), atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I di Kasunanan Kartasura. Hasil terjemahannya kemudian dikenal dengan nama “Serat Menak”. Dalam karya berbahasa Jawa ini sejumlah nama mulai disesuaikan dengan pelafalan lidah Jawa, misalnya Osama bin Omayya menjadi Umarmaya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badiuz Zaman diubah menjadi Imam Suwangsa, Mihrnigar menjadi Dewi Retna Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah,
dan lain sebagainya. Perlu diketahui sebelum terjadi proses
transliterasi ini, sebenarnya cerita Menak ini telah lebih dahulu
popular di kalangan masyarakat Jawa.
Pada masa selanjutnya “Serat Menak” ditulis ulang dengan menggunakan tembang Macapat oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dan diteruskan oleh Raden Ngabehi Yasadipura II,
keduanya adalah pujangga besar dari Kasunanan Surakarta. Karya kedua
pujangga tersebut pernah dipublikasikan dalam buku beraksara Jawa oleh
Balai Pustaka pada tahun 1925. Cerita Menak dalam karya kedua pujangga
tersebut merupakan bentuk pengembangan bebas dari karya terjemahan
Bahasa Melayu yang sebelumnya diprakarsai oleh Ki Carik Narawita.
Unsur-unsur mistik Jawa mulai muncul dalam karya ini. Namun demikian
spirit yang mengilhami alur kisahnya tidak lenyap sama sekali.
Penceritaan dalam gaya tembang justru memperlihatkan keindahan bahasa
dan sastra tingkat tinggi yang sebanding dengan style yang dimiliki
cerita Panji. Cerita Menak ini terdiri dari 48 jilid. Jika dikalkulasi
maka keseluruhan isi “Serat Menak” terdiri dari 2.050 halaman. Sebuah
karya sastra Islam yang sangat fantastis di Jawa.
Selain itu terdapat juga buku “Serat Menak Branta”
yaitu cerita Menak yang bisa dikatakan sebagai versi Mataram atau versi
Yogyakartanan. Naskah asli Serat Menak Branta ini dikerjakan oleh Adi Triyono dan Tukiyo atas perintah Gusti Kanjeng Ratusasi, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Isinya secara umum tidak jauh berbeda dengan “Menak Gandrung” karya Raden Ngabehi Yasadipura, namun disajikan secara berbeda dengan mempergunakan gaya bahasa yang lebih mudah dicerna.
DAKWAH DAN JIHAD
Isi cerita Menak ini mengisahkan
perjuangan umat Islam sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad saw. Di
tengah kekafiran dan kejahiliyahan yang berkembang di sejumlah negeri di
Timur Tegah, terdapat kaum hanif yang tetap menjalankan ajaran dari millah Nabi Ibrahim, yaitu Agama Islam. Jadi
Agama Islam yang dimaksud dalam cerita Menak sebenarnya adalah ajaran
Allah yang telah dimulai sejak masa kehidupan Nabi Adam. Cerita ini
secara tersirat juga menegaskan bahwa Agama Allah satu-satunya hanyalah
Islam. Sementara itu terdapat agama yang lain yang muncul sebagai bentuk
distorsi dari ajaran nabi-nabi sebelumnya. Kaum hanif ini terus
berjuang menegakkan kalimat Allah dengan menghadapi tantangan kaum
kafir, sambil menantikan kedatangan Nabi akhir zaman yang akan segera
tiba, bernama Nabi Muhammad.
Tokoh cerita utamanya adalah Amir Ambyah
(Amir Hamzah). Diceritakan bahwa ia sangat rajin berdakwah dan
melakukan akivitas jihad. Hasil perjuangannya, sejumlah raja-raja kafir
berhasil disyahadatkan sehingga mengakui Allah sebagai Illah dan Nabi
Muhammad, nabi akhir zaman yang akan segera tiba, sebagai utusan Allah.
Salah satu tokoh yang berhasil diislamkan adalah mertuanya sendiri yang
bernama Prabu Nursewan atau Nusirwan (Anusyirwan), raja Medayin. Tokoh Amir Ambyah memiliki banyak sekali julukan antara lain Wong Agung Menak, Wong Agung Jayengrana, dan Wong Agung Jayengresmi.
Sebutan Wong Agung Menak ini yang kemudian digunakan oleh
pujangga-pujangga Jawa untuk menamakan kitabnya sebagai “Serat Menak”.
Disebut Wong Agung Jayengrana sebab Amir Ambyah selalu berjaya dalam
setiap pertempuran yang diikutinya. Amir Ambyah disebut sebagai Wong
Agung Jayengresmi karena ia bukan hanya pahlawan di medan perang, namun
ia memiliki sisi keromantisan terhadap pasangan hidupnya. Amir Ambyah
merupakan tokoh yang pandai memelihara keutuhan rumah tangganya,
meskipun memiliki istri lebih dari satu. Dalam hal ini Amir Ambyah
memiliki karakter yang mirip Arjuna dalam epos Mahabarata versi Jawa,
namun tidak pada karakteristik “playboy” yang dimiliki tokoh Pandawa tersebut.
Menariknya, kisah perjuangan Amir Ambyah
ini bukan hanya berhenti pada akhir kehidupannya sendiri. Pada era itu
banyak golongan ahlu kitab yang sedang menanti kedatangan nabi akhir
zaman bernama Ahmad (Muhammad) yang namanya telah tertulis dalam
kitab-kitab terdahulu. Namun kebanyakan golongan ini justru mengingkari
setelah Allah menggenapi ketentuannya dengan kedatangan utusan Allah
tersebut. Amir Ambyah termasuk pihak yang beruntung. Ia secara sukarela
menerima ajaran risalah Islam yang telah disempurnakan dimasa kerasulan
nabi akhir zaman tersebut. Pengingkaran terhadap keberadaan sang nabi
umumnya disebabkan oleh kesombongan yang ada pada diri mereka,
penyembahan berhala yang masih menggejala, dan rasa gengsi yang
berlebihan di antara kaum ahli kitab. Dengan demikian perjuangan dakwah
dan jihad Amir Ambyah menyebarkan agama Islam sejak zaman sebelum
kerasulan tetap akan berlanjut pada masa setelahnya.
PENGEMBANGAN BUDAYA
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa cerita Menak telah menjadi inspirasi bagi lahirnya sejumlah produk budaya. Wayang Kulit Menak atau disebut sebagai Wayang Menak
hanya merupakan salah satu wujudnya. Wayang Menak ini awalnya dibuat
oleh Kyai Trunadipa, seorang tabib dan ahli kebatinan yang memiliki
tekad untuk menyiarkan Agama Islam, dari Baturetno, Wonogiri (dahulu
termasuk wilayah Kasunanan Surakarta). “Boneka” wayangnya, sebagaimana
Wayang Purwa, terbuat dari kulit kerbau yang ditatah dan disungging.
Pementasannya dilakukan dengan mempergunakan perlengkapan layar kelir
dan batang pisang untuk menancapkan wayang. Juga mempergunakan blencong
sebagai penerang, cempala, serta kepyak. Peraga karakter cerita Menak
terdiri dari kurang lebih 350 buah wayang. Sedangkan sumber ceritanya
mengacu pada “Serat Menak” karya Raden Ngabehi Yasadipura I dan II.
Wayang Menak juga mengenal keberadaan cerita pakem dan carangan. Cerita
Pakem merupakan kisah Menak yang dianggap sebagai cerita utama, sedngkan
cerita carangan merupakan wujud pengembangan cerita yang bersifat
dinamis namun tetap tidak meninggalkan pakemnya. Dewasa ini wujud wayang
Menak ini masih bisa disaksikan disejumlah museum seperti Musium
Yayasan Kekayon dan Musium Sanabudaya di Yogyakarta.
Selain dalam wujud wayang kulit, cerita Menak juga menjadi sumber ide bagi lahirnya Wayang Golek Menak.
Berdasarkan tradisi, Wayang Golek Menak ini awalnya diciptakan oleh
Sunan Kudus. Hal ini bukan hal yang aneh mengingat bahwa cerita Menak
ini sebenarnya telah lebih dahulu popular bahkan sebelum proses
transliterasi terhadap “Hikayat Amir Hamzah” dilakukan. Awalnya
jumlah boneka (golek) Menak terdiri dari 70 buah saja. Namun seiring
berjalannya waktu serta kebutuhan cerita akibat berkembangnya versi
cerita carangan, maka jumlah boneka wayang tersebut makin bertambah
banyak, sekitar 150 hingga 200 buah. Pada masa kejayaannya pentas Wayang
Golek Menak memiliki jangkauan di sejumlah daerah di Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di antaranya Yogyakarta,
Surakarta, Kebumen, Bojonegoro, dan lain sebagainya. Namun saat ini
keberadaan Wayang Golek Menak seolah telah tergeser oleh laju jaman.
Meskipun demikian belum lenyap sama sekali. Wayang Golek Menak justru
menjadi tontonan elit bagi wisatawan asing dan kalangan penikmatnya yang
dipertunjukkan di sejumlah hotel berbintang di Yogyakarta. Waktu
pertunjukannya dipadatkan hanya menjadi tiga jam. Sayangnya, dengan
demikian totonan ini tidak lagi dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat
kelas menengah ke bawah secara luas.
Saking menariknya, Sultan Hamengku
Buwana IX kemudian mengabadikan kisah monumental Menak tersebut dalam
bentuk sendratari. Rangkaian gerakan tari tersebut dikenal dengan nama “Beksa Golek Menak”. Ciri khas yang paling menonjol dari tari Menak ini terletak pada lemah gemulai tari yang memasukkan unsur bela diri Pencak Silat
yang telah diperhalus gerakannya. Pencak Silat pada era ini merupakan
salah satu kecakapan yang dibutuhkan dalam olah keprajuritan.
Harapannya dengan menjadikannya sebagai sendratari maka keberadaan
cerita ini, unsur kehalusan tari, dan sekaligus beberapa gerakan pencak
silat yang ada dapat dijaga kelestariannya. Selain versi sendratari
Menak yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana IX tersebut, di
Yogyakarta sendiri juga berkembang semacam Wayang Wong Menak
(Wayang Orang Menak) yang berorientasi pada humor. Meskipun demikian
pesan-pesan moral yang disampaikan tetap tidak menjadi kabur. Tokoh yang
banyak digunakan dalam wayang orang versi ini adalah Umarmaya dan Umarmadi, dua tokoh yang digambarkan memiliki selera humor tinggi dalam cerita Menak.
Perkembangan cerita Menak ini bukan
hanya menjadi milik Jawa saja. Jika tanah Melayu telah menyediakan
sumber cerita yang mudah diakses, maka suku Sasak di Lombok merupakan
salah satu lahan subur bagi hidupnya cerita Menak ini. Di sana cerita
Menak telah menjadi sebuah tradisi lesan yang ceritakan dari mulut ke
mulut, dari generasi ke generasi. Versi cerita yang berkembang juga
menjadi semakin bervariasi. Pengembangan Wayang kulit maupun golek Menak
di daerah ini juga mengalami nasib yang hampir serupa dengan di Jawa,
hidup enggan mati pun segan. Pada akhirnya, produk kebudayaan ini akan
mencari jalannya agar bisa tetap eksis dalam berbagai bentuk.
Diprasastikan oleh produk publikasi media masa, diawetkan oleh museum,
dan dikenang sebagai bagian dari sejarah.
Sejumlah primbon Jawa yang ada hingga
hari ini, ternyata juga mengambil nama dari cerita Menak. Perlu dipahami
primbon merupakan buku-buku yang memuat tradisi mistik dan klenik di
Jawa. Biasanya kitab primbon selalu akan mengambil nama-nama yang
dianggap menarik sehingga mampu memikat pembaca untuk menekuni
bacaannya. Rupanya cerita Menak ini juga memebri inspirasi yang sama
bagi kaum kebatinan yang menciptakan primbon. Sebut saja nama-nama
seperti Primbon Adam Makna, Primbon Betal Jemur, Primbon Bekti Jamal, Primbon Lukman Hakim Adam Makna, Primbon Kuraisyin Adam Makna, dan lain sebagainya. Istilah “Adam Makna” berasal dari nama sebuah kitab legendaris dalam cerita Menak yaitu Kitab Adam Makna,
semacam kitab fikih yang memuat makna, rahasia, dan tuntunan hidup bagi
manusia agar dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna. Bekti Jamal dan Betal Jemur
adalah nama karakter yang pernah menjadi pemilik Kitab Adam Makna.
Betal Jemur adalah putra dari Raden Bekti Jamal. Tokoh Amir Ambyah
pernah menjadi anak angkat sekaligus murid dari Betal Jemur. Ada pun Lukman Hakim merupakan ayah dari Raden Bekti Jamal. Lukman Hakim disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki kemampuan seperti Nabi Sulaiman. Sedangkan Kuraisyin adalah nama dari salah satu putri Amir Ambyah dari istrinya yang bernama Dewi Ismayawati, putri Prabu Tamimasyar dari kerajaan Ngajrak.
Keempat kitab di atas, selain Primbon
Bekti Jamal, diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Yasadipura I. Dengan
demikian dapat dinilai bahwa pujangga tenar Kasunanan Surakarta ini
cerita Menak yang gubahannya sangat membekas dihatinya. Sedangkan
Primbon Bekti Jamal merupakan karya Raden Tanoyo, budayawan yang hidup
jauh pada beberapa generasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa
cerita Menak memiliki kepopuleran yang melintasi jaman. Meskipun
nama-nama dalam cerita Menak dipopulerkan oleh sejumlah kitab primbon,
namun antara keduanya memiliki perbedaan titik tolak yang mendasar.
Cerita Menak mewakili semangat perjuangan menegakkan ajaran Islam.
Sedangkan sejumlah kitab primbon yang ada tersebut menunjukkan bahwa
kaum yang masih menggeluti kebatinan pada dasarnya tidak akan mampu dan
bersedia suka rela melepaskan diri dari Islam dan kebudayaannya. Sebab
meskipun mereka belum sepenuhnya menjadi mukmin sejati, hati mereka
sebenarnya tetap terpaut kepada Islam. Islam bagi mereka adalah agama ageman aji,
agama pencerahan yang memberi mereka harga diri dan keselamatan sejati.
Butuh waktu yang panjang dan bimbingan yang proporsional untuk
berproses ke arah yang lebih baik. Insya Allah. (Susiyanto -Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)).
No comments:
Post a Comment