(Telaah Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya)
PENDAHULUAN
Bagi
sebagian kalangan muslim memunculkan kajian terhadap
‘keberterimaan’terhadap ramalan sudah tentu akan memantik sebuah
polemik. Betapa tidak, konsep Islam dalam memandang ramalan pada dimensi
supranatural telah tegas dan jelas. Umat Islam dikenai larangan atas
sejumlah pengharapan spekulatif, seperti mengundi suatu pilihan dengan
anak panah, berjudi, dan termasuk di dalamnya dengan jalan mempercayai
ramalan. Apa yang penulis maksudkan dengan ramalan ini sudah tentu bukan
merupakan sebuah upaya perkiraan masa depan dengan sejumlah metode
ilmiah semacam metode forecasting penilaian kelayakan bisnis
dalam perekonomian atau sejenisnya. Namun lebih kepada ramalan yang
berorientasi pada klenik dan atau mengarah praktek kebatinan. Efek
ramalan sendiri biasanya berlainan pada tiap-tiap individu yang berbeda.
Akan tetapi umumnya, ramalan akan membuat manusia terjebak oleh
angan-angan, bahkan secara negatif menjerumuskan pada kemusyrikan.
Namun
harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang
berkembangnya ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak.
Semakin canggih piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan
terbuka lebarnya akses informasi bukannya mengikis kepercayaan manusia
modern terhadap model klenik yang satu ini. Ramalan justru seperti
memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi kekosongan jiwa “manusia
modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan lagi identik dengan
asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola kristal, pendulum,
atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya. Akan tetapi
berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang bisa
diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh
masyarakat luas.
Di
kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya
isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial
kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis
kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan
angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘ratu adil’. Tidak
terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang
dianggap semakin tidak pasti.
Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya
(baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi
tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini
sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan
secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai
“kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam
tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap
taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk
hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang
sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada
‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri
sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya
berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan
kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati
terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan
Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.
Hadirnya
tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk
melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi
para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga
kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim,
akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam
hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi
menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan
pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang
belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.
PENULIS RAMALAN JAYABAYA
Perlu
diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat
populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan
istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko
joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya
pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan
kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang
Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam
menggambarkan masa depan.
Jangka
Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi.
Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil
karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya
tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan
gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut
sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang
disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.
TOKOH JAYABAYA MENURUT SERAT PRANITI WAKYA
Jayabaya
yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya,
raja Kediri, yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal
masa depan. Nama Prabu Jayabaya sendiri bagi masyarakat Jawa sering
menjadi inspirasi dalam menciptakan gambaran tentang ratu adil.
Keberadaannya kerap kali dikaitkan sebagi penitisan Dewa Wisnu yang
terakhir di tanah Jawa.[2]
Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa Prabu Jayabaya hidup pada
atmosfer jaman Hindhuisme dimana seorang raja besar yang pernah hidup
digambarkan memiliki hubungan dengan dunia mistik, sebagi wujud
inkarnasi Dewa dalam rangka menjaga kelangsungan kehidupan di mayapada
(bumi).
Akan
tetapi pesan utama yang hendak disampaikan ramalan Jayabaya tentang
sosok prabu Jayabaya, hakekatnya justru tidak mengkaitkan sang raja
dengan Hindhuisme. Dalam Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarkan
sebagai seorang yang telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi
Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling
mendekati praktek Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…” (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad saw), orang demikian adalah Sang Jayabaya).[3]
Gambaran keislaman yang dianggap terbaik demikian, jika memang benar
terjadi, pembandingnya tentu adalah praktek keagamaan pada jaman
Hindhuisme yang mendominasi tersebut. Parbu Jayabaya dianggap sebagai
tokoh Muslim dengan parktek keislaman terbaik mendekati parktek Nabi
dibandingkan banyak manusia pada masa itu yang masih mempraktekkan
ajaran Hindhu.
Terkait
dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa
raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang
berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu
adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar
berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.
Lantas,
apakah ‘keislaman’ Prabu Jayabaya yang hidup dalam atmosfer jaman
kehindhuan ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang shahih
? Hal ini merupakan persoalan yang sulit diverifikasi kebenarannya.
Sebab tidak terlalu banyak bahan yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi kehidupan keagamaan pada masa hidup Prabu Jayabaya.
Bahkan tidak sedikit yang menggambarkan bahwa sosok Prabu Jayabaya tidak
lain hanya sekedar tokoh fiktif belaka. Penulisan beragam versi Jangka
Jayabaya pun, umumnya berasal dari masa belakangan, dimana Islam telah
berkembang sebagai ajaran masyarakat. Namun hal ini
penting dimengerti, terutama bagi para da’i yang berdakwah kepada kaum
kebatinan dan kejawen, bahwa klaim mereka tentang Jangka Jayabaya
merupakan kitab milik kaum kebatinan dan kejawen adalah salah. Sebab
kitab ini sesungguhnya kitab ini dihasilkan berdasarkan pengaruh ajaran
Islam.
Terkait
keberadaan penganut agama Islam pada masa yang diyakini sebagai ‘Jaman’
Jayabaya, bukan merupakan persoalan yang mustahil. Prabu Jayabaya
diyakini hidup pada abad XII, pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M.[5]
Sedangkan pada masa sebelumnya, yaitu era pemerintahan Erlangga, abad
XI, di Leran, sekitar 8 (delapan) kilometer dari Gresik, telah ditemukan
batu nisan dari makam seorang bernama Fathimah binti Maimun bin Hibatullah
yang memberikan informasi bahwa wanita yang diyakini beragama Islam
tersebut meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau tahun 1082 M.[6] Bahkan menurut Prof. Dr. Hamka jauh-jauh hari sebelumnya, dalam catatan China, disebutkan
bahwa raja Arab telah mengirimkan duta untuk menyelidiki seorang ratu
dari Holing (Kalingga) yang bernama Ratu Shi Ma yang diyakini telah
melaksanakan hukuman had. Ratu tersebut ditahbiskan antara tahun 674-675
M. Prof. Dr. Hamka menyimpulkan bahwa raja Arab yang dimaksud adalah
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang hidup pada masa itu dan wafat pada 680 M.[7]
Demikan juga hasil kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia
menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah abad I H
atau abad VII-VIII M.[8]
Karya
sastra yang ditulis pada masa yang diperkirakan sebagai era Jayabaya,
juga memiliki kecenderungan terpengaruh oleh keberadaan ajaran Islam.
Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto menyebutkan bahwa Kakawin Gatutkacasraya karya Mpu Panuluh, banyak menggunakan kata-kata dari Bahasa Arab.[9]
Penggunaan kosa kata Arab yang serupa juga dapat ditemukan dalam Serat
Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga
yang demikian tentu tidak mungkin terjadi kecuali telah terjadi
interaksi dengan penganut agama Islam. Hal ini membuktikan bahwa telah
ada komunitas umat Islam di Tanah Jawa pada masa yang diyakini sebagai
era Jayabaya. Dengan demikian dakwah kepada penguasa, termasuk kepada
Prabu Jayabaya pun bukan merupakan perihal yang mustahil. Demikian juga
tentang keislaman sang raja Jayabaya merupakan persoalan yang sangat
mungkin terjadi. Apalagi Jangka Jayabaya seringkali disebut-sebut
diturunkan dari sejumlah karya yang lebih tua.
SUBSTANSI JANGKA JAYABAYA
Boleh
dikatakan bahwa hampir sebagian besar isi Serat Praniti Wakya berbicara
tentang “masa depan” Pulau Jawa dalam visi Jayabaya. Namun bila
dicermati lebih mendalam, akan nampak bahwa Serat Praniti Wakya banyak
mengambil isnpirasi penulisan dari sumber-sumber Islam berupa Al Quran
dan Hadits. Berita-berita tentang akhir jaman dari kedua pusaka umat
Islam tersebut kemudian diolah dalam redaksi pengarang Serat Praniti
Wakya (dalam hal ini diyakini sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita).
Sehingga sifat universal dari ajaran Islam tentang berita akhir jaman
kemudian diterangkan dan diterapkan dalam lingkup Jawa. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian besar ajaaran islam dalam Serat tersebut telah
mengalami proses yang disebut ‘jawanisasi’. Namun demikian, substansi
Islam itu sendiri masih nampak bersifat tetap dan tidak hilang.
Simak misalnya, penuturan Jayabaya tentang kiamat. Sang Prabu menyatakan bahwa kiamat adalah “kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”.[10] Sorotan lain Serat Praniti Wakya juga membahas tentang pandangan Prabu Haji Jayabaya tentang akan datangnya Yakjuja wa Makjuja[11] (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra[12] (kiamat besar), lochil ma’pule[13] (lauh al mahfudz), dan lain sebagainya.
Konsep-konsep
yang termuat dalam Serat Paraniti Wakya tersebut di atas jelas tidak
dapat diingkari berasal dari ajaran Islam. Deskripsi beberapa
terminologi Islam dalam Praniti Wakya sebagian memang tidak bersifat
lugas dan jelas. Pembabakan Jaman menjadi 3 bagian seperti jaman
kaliswara, kaliyoga, dan kalisengara jelas bukan merupakan visi ajaran
Islam. Demikian juga beberapa ramalan tentang ‘akan’ munculnya sejumlah
kerajaan di Jawa seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram,
Kartasura, dan Surakarta. Namun hal tersebut bukan tidak dapat
dijelaskan. Penjelasan pertama, sangat mungkin sang pengarang Praniti
Wakya, yaitu R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menggambarkan pemahaman sang
tokoh Prabu Jayabaya secara apa adanya, yaitu seorang muslim yang masih
hidup dalam atmosfer Hindhuisme. Namun dengan penjelasan kedua, hal
tersebut bisa saja timbul dari pemikiran pengarang sendiri. Saat menulis
sejumlah versi ramalan Jayabaya, jelas Ranggawarsita telah hidup pada
masa dimana dia bisa mengikuti sejumlah perkembangan terkait jatuh
bangunnya sejumlah kerajaan pada masa lampau, seperti Pajajaran,
Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Penjelasan awal
tersebut memiliki konsekuensi memungkinkan terjadinya pembenaran bahwa
Ramalan Jayabaya memang seolah terbukti akurat. Namun mengingat bahwa
tidak ada catatan pasti yang menyatakan bahwa Prabu Jayabaya merupakan
sosok yang memang ‘pintar’ meramal masa depan, maka penjelasan kedua ini
lebih dapat digunakan sebagai argumentasi. Sedang terkait banyaknya
konsep Islam dalam ramalan Jayabaya yang kadang terlihat ‘kurang’ islami
lagi, mungkin hal ini disebabkan pemahaman R. Ng. Ranggawarsita yang
kurang tuntas dalam memahami Syariat Islam.
Ranggawarsita
pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan
Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari dalam lidah
Jawa. Sebelum berangkat ke pondok, sebenarnya Ranggawarsita telah pandai
membaca Al Quran. Oleh karena pengajaran awal di pondok Pesantren
Tegalsari, adalah pelajaran tentang kajian Al Quran dan Fiqih maka
Ranggawarsita menjadi jengkel. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya,
dia sering keluar dari lingkungan pondok untuk berjudi mengadu ayam.
Kyai Kasan Besari akhirnya mengetahui kekesalan Ranggawarsita, maka
kepada sang Ranggawarsita kemudian diajarkan ilmu tassawuf.[14] Agaknya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman syariat Ranggawarsita pada masa selanjutnya.
Sedangkan
‘ramalan’ bersifat futuristik yang seolah memiiliki kesesuaian dengan
jaman yang diramalkan, hal tersebut bukannya tidak dapat dijelaskan.
Misalnya ungkapan bahwa “… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi”
(Pulau Jawa akan dikalungi besi). Sebagian penafsir memaknai ungkapan
tersebut berkaitan bahwa di Jawa akan timbul industrialisasi. Ada pula
yang memaknai bahwa kalung besi yang dimaksud adalah penggambaran bentuk
rel kereta api. Jika penafsiran ini benar, maka perlu
diketahui bahwa Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda, dimana
pengaruh Belanda dalam lingkungan Keraton telah merasuk sedemikian
kuatnya. Sedangkan di bumi Eropa sendiri, dimulai dari Perancis dan
menyebar ke seluruh Eropa termasuk Belanda, telah mengalami Revolusi
industri sehingga industrialisasi maupun transportasi darat menggunakan
kereta api sudah umum keberadaannya. Cerita-cerita demikian tentu dapat
didengar di wilayah Keraton yang secara intens terlibat dalam pergaulan
bangsa Belanda. Sudah tentu dalam pandangan Ranggawarsita, jika Jawa
berada dalam genggaman Belanda, maka tidak urung ‘kalung besi’ akan
mengitari Jawa. Hal itu bisa berupa industrialisasi maupun wujud rel
kereta api.
Menariknya,
serat Praniti Wakya sebagai buah karya R. Ng. Ranggawarsita,
mediskripsikan pandangan Prabu Jayabaya terhadap tradisi kepemimpinan
pendeta. Telah banyak diketahui bahwa para pendeta dalam sistem kasta
Hindhu memiliki strata kedudukan paling tinggi secara sosial. Lebih
tinggi dari kasta para raja dan bangsawan yang masuk ke strata kedua,
yaitu kasta Ksatria. Diceritakan bahwa setelah selesai belajar kepada
Maulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya bersama putranya yang bernama
Prabu Anom Jayamijaya berniat mengantar kepulangan sang guru ke negeri
Rum hingga ke pelabuhan. Sepulang dari pelabuhan, Prabu Jayabaya dan
putranya menyempatkan diri singgah dipertapaan seorang pendeta bernama
Ajar Subrata, saudara seperguruan sang Prabu namun masih menganut ajaran
Hindhu. Sang pendeta bermaksud mencobai Prabu Jayabaya yang dikenal
sebagi titisan Bathara Wisnu dengan memberi suguhan berupa 7 (tujuh)
jenis yaitu kunyit satu rimpang, jadah (makanan dari beras ketan
ditumbuk) darah, kejar sawit, bawang putih, bunga melati, dan bunga
seruni masing-masing satu takir (wadah yang dibuat dari daun pisang,
biasanya untuk meletakkan sesaji).[15]
Suguhan
tersebut bagi Prabu Jayabaya, memiliki makna tersandi atau arti
tersembunyi yang berada disebalik suguhan tersebut. Apalagi Prabu
Jayabaya dan Ajar Subrata pernah menjadi saudara seperguruan sehingga
dimungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama. Suguhan
tersebut membuat sang Prabu sangat marah dan akhirnya membunuh sang
pendeta sekaligus putrinya yang menjadi istri dari Prabu Anom
Jayamijaya, putranya. Pasca peristiwa tersebut Jayabaya menerangkan
bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk menghukum kekurangajaran sang
pendeta yang secara tersandi berniat mengakhiri kekuasaan raja-raja di
Jawa. Suguhan tersebut memiliki makna bahwa jika Prabu Jayabaya
memakannya maka kekuasaan akan tetap berada ditangan pendeta dan jaman
baru, termasuk di dalamnya berkembangnya ajaran Islam, tidak akan pernah
terjadi.
Demikianlah
pandangan Serat Praniti Wakya, bahwa Prabu Jayabaya adalah titisan
Wisnu yang hanya tinggal dua kali akan turun ke Marcapada. Pasca Prabu
Jayabaya, dikisahkan bahwa Wisnu akan menitis di Jenggala dan setelah
itu tidak akan pernah menitis kembali serta tidak memiliki tanggung
jawab lagi terhadap kemakmuran ataupun kerusakan bumi maupun alam ghaib.
“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti[16],
kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo,
katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing
Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah
rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena
melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, ...”[17]
Pernyataan
di atas menggambarkan bahwa ajaran kedewaan dalam Hindhuisme tidak akan
berlaku lagi pasca penitisan wisnu di Jenggala. Hal ini diperkuat pula
bahwa pasca penitisan di Jenggala, Wisnu tidak akan memiliki tanggung
jawab lagi terhadap keutuhan dunia nyata maupun dunia maya alam ghaib,
termasuk alam kedewaan sekalipun. Dapat kita lihat pula bahwa pasca itu,
Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan tersohor di nusantara
sekalipun ternyata sudah tidak melaksanakan ajaran Hindhu secara murni,
namun menjalankan sinkertisme antara ajaran Syiwa dan Budha.
Selanjutnya, jaman akan berubah menuju jaman Islam yang diisyaratkan
bahwa semua keadaan akan menjadisatu dengan tongkat atau pegangan guru
Jayabaya yang bernama Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Bahkan secara tersirat
Serat Praniti Wakya sebenarnya mencoba mengungkapkan bahwa Bathara
Wisnu, Dewa yang masuk dalam Trimurti[18] dan memiliki tanggung jawab memelihara alam semesta, ternyata telah pula menerima ajaran Islam sebagai agamanya.
PENUTUP
Demikian
sekilas gambaran tentang Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab
tersebut pada dasarnya merupakan buku yang mencoba untuk memberikan
apresiasi terhadap keberadaan Islam di Pulau Jawa. Hatta, di dalamnya
mengandung banyak hal-hal yang musykil dan seolah tidak sesuai dengan
ajaran Islam, namun dengan memandang kitab tersebut sebagai bagian dari
proses dakwah di Pulau Jawa, maka perlu pula kaum muslimin mengkaji dan
mengapresiasi serat tersebut. Sebab telah banyak kitab Jawa yang
sebenarnya memiliki nafas Islam secara kental, namun diklaim sebagi
kitab Hindhu maupun kebatinan. Hal ini sudah tentu disebabkan kepedulian
umat Islam yang masih minim dan sekaligus kurangnya pengetahuan
terhadap naskah-naskah lama karya pujangga. Juga mengindikasikan bahwa
kajian keilmuan dikalangan umat Islam, saat ini, masih belum membudaya.
Serat
Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya seorang pujangga R. Ng.
Ranggawarsita, seolah merupakan bentuk sinkretis perpaduan antara Islam
dan kejawen. Akan tetapi nampak bahwa ajaran Islam lebih dominan sebagai
substansi. Sedangkan ‘kejawen’ sendiri terposisikan sebagai kulit luar
dari bentuk pemikiran Jawa yang telah terisi dengan ruh Islam.
Selanjutnya, jika
pembaca termasuk ke dalam kelompok kalangan yang mempercayai ramalan
Jayabaya sebagai ramalan yang memiliki akurasi tinggi, maka bersegeralah
kembali kepada Islam dan sumber-sumbernya berupa Al Quran dan Ash
Shunnah. Sebab, hakikatnya “ramalan” Jayabaya merupakan bagian dari
upaya memahami Islam melalui proses pencarian panjang yang belum
selesai. Sedangkan bagi kalangan yang menolak sebelum mengkaji hal ini
sebelumnya, maka hendaknya akan dapat mengubah sikap terhadap pemahaman
hakikat segala sesuatu. Bahwa sahnya sebuah amalan adalah pasca
terbitnya sebuah kepahaman mendalam.
No comments:
Post a Comment