Bagi sebagian penduduk Jawa, Jangka Jayabaya dianggap memiliki
kedudukan yang istimewa. Kitab “legendaris” ini diposisikan sebagai
“panduan” guna mengetahui masa depan kehidupan yang berkembang di atas daratan
Pulau Jawa. Secara mitologis keberadaan kitab ini sering dihubungkan
dengan adanya nuansa ramalan dan proyeksi jaman. Namun demikian hanya
sedikit orang Jawa yang pernah membaca buku ini secara langsung. Bahkan
lebih sedikit lagi yang mengetahui bahwa karya sastra ini memiliki
banyak versi.
Di antara ragam Serat Jangka Jayabaya, salah satu versi yang ada
bercerita tentang Syekh Subakir dan perannya dalam membangun peradaban bangsa manusia di Pulau Jawa. Oleh karena itu Serat Jangka Jayabaya ini sering disebut sebagai “Jangka Jayabaya Syekh Bakir”.1 Secara tradisi, cerita babad ini dianggap sebagai karya Pangeran Adilangu,
pujangga Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian karya ini dianggap
sebagai karya turunan dari karya sastra lainnya dari jaman yang lebih
lampau.2
Serat Jangka Jayabaya Syekh Bakir ini berbentuk tembang Macapat
yang terdiri dari dua pupuh lagu yaitu tembang Sinom dan Pangkur.
Tembang Sinom terdiri dari 26 bait lagu. Sedangkan Pupuh tembang Pangkur
terdiri dari 40 bait lagu. Secara umum, isi Serat Jangka Jayabaya Syekh
Bakir berbeda dengan Serat Jangka Jayabaya versi lainnya. Jika dalam
kitab jangka yang umumnya bersumber dari Jangka Jayabaya versi Musarar3biasanya
meminjam nama Syaikh Maulana Ngali Syamsujen sebagai sebagai guru Prabu
Jayabaya untuk pengantar visi jangka. Maka Serat Jangka Jayabaya Syekh
Bakir menggunakan tokoh Syekh Subakir sebagai utusan Sultan Rum, dalam
hal ini Sultan dari Turki Utsmani,4 berusaha untuk mengisi dan membudayakan Pulau Jawa yang masih kosong dari manusia.
Buku ini bercerita tentang pertemuan Syekh Subakir dengan dua sosok yang secara mitologis dianggap sebagai danyang Pulau Jawa yaitu Semar dan Togog.
Kedua sosok punakawan dalam dunia pewayangan ini kemudian mengabdi
kepada perintah Syekh Subakir yang digambarkan dalam karya sastra ini
sebagai pembawa takdir baru dari Allah bagi Pulau Jawa. Setelah Syekh
Subakir kembali ke Rum, maka kedua sosok inilah yang menjadi pengemban
amanat dan sekaligus pelaksana petuah-petuahnya.5
KRISTEN, PERTANDA JAMAN SANGARA
Cerita-cerita
mitologis dalam Serat Jangka Jayabaya Syekh Subakir sudah seharusnya
ditempatkan sekedarnya sebagai sebuah produk kesastraan belaka. Beberapa
gambaran kisah di dalamnya memiliki nuansa sejarah, namun juga
bercampur dengan kisah-kisah yang bersifat mitologis semisal cerita
wayang. Namun meski demikian, tidak diragukan lagi bahwa karya sastra
ini memiliki kandungan pesan yang bersifat ideologis bagi masyarakat
Jawa di masa mendatang.
Ajaran
Kristen mendapat pembahasan tersendiri dalam karya sastra ini. Meskipun
hanya dibahas dalam porsi yang kecil, menariknya Kristen diposisikan
sebagai salah satu pertanda Pulau Jawa memasuki era Jaman Sangara.
Maksud Jaman Sangara dalam serat ini adalah suatu masa dimana Pulau
Jawa mengalami banyak fitnah dan lenyapnya kebenaran akibat setan
bercampur dengan manusia. Jaman Sangara ini boleh dikatakan sebagai
jaman lenyapnya moralitas manusia dan timbulnya kesengsaraan di Jawa.
Jaman Sangara ini menurut, Jangka Jayabaya Syekh Subakir, antara lain
ditandai dengan banyaknya bermunculan fitnah, penganiayaan sesama
saudara, pembunuhan kebohongan, menipisnya hasil sumber daya alam,
wanita yang hilang rasa malunya, dan banyaknya kaum gay (keh anjamah pada priya, tanpa marem anjamah estri
= banyak lelaki yang menjamah sesama lelaki, karena tidak puas dengan
perempuan). Digambarkan bahwa pada jaman ini setan telah bercampur
dengan manusia sehingga tidak diketahui lagi kebaikan. Sehingga timbul
hukuman dari Penguasa Alam raya berupa beraneka macam bencana alam.6
Selain itu tanda Jaman Sangara dijelaskan,
bercampurnya setan yang merasuk dalam kehidupan menyebabkan manusia
terjebak penyembahan kepada berbagai tuhan palsu. Kekeliruan itu terjadi
ketika wong Jawa mulai meremehkan kitab, mendustakan kebaikan, lupa
dengan keberadaan Allah, menyembah berhala, memuja setan, dan menganut
Agama Kristen (Serani atau Nashrani). Penyimpangan perilaku ini
diungkapkan dalam jangka tersebut sebagai berikut :
“Akeh
wong maido kitab, akeh wong kang ndorakaken abecik, keh lali maring
Hyang Agung, akeh nembah brahala, akeh ingkang ngarepaken lelembut, ana
kang mangeran arta, ana kang mangeran serani.”7
(Banyak
orang meremehkan kitab, banyak orang menganggap kebaikan sebagai dusta,
banyak lupa dengan Hyang Agung, banyak menyembah berhala, banyak yang
berharap dari makhluk halus, ada yang mempertuhan harta, ada yang
mempertuhan Serani”).
ISLAM, SOLUSI JAMAN “SENGSARA”
Jaman sangara sebagai wujud era amoralitas dan kesengsaraan ini, menurut Jangka Jayabaya Syekh Subakir, bukannya tanpa akhir. Semua permasalahan itu akan teratasi dengan munculnya raja yang berasal dari keturunan Kanjeng Nabi Rasul yang bertindak sebagai Ratu Adil. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
“Hyang
Sukma anitah Raja, duk timure babaran ing Serandil, maksih tedak
Kanjeng Rasul, Ibu wijil Mataram. Seselongan iya iku wijilipun, kang
ngadani tanah Djawa, kang djumeneng Ratu Adil.”8
(Hyang
Sukma mengangkat Raja, pada waktu mudanya kelahiran Serandil, masih
keturunan Kanjeng Nabi, Ibu dari benih Mataram, berasal dari Ceylon
kelahirannya, yang akan memimpin Jawa, yang berkedudukan Ratu Adil”).
Sebagaimana jangka Jayabaya versi yang lain, Serat Jangka Jayabaya versi Bakir juga memuat sejumlah pesan mesianic.
Menurut serat tersebut akan muncul seorang penguasa keturunan Kanjeng
Rasul yang akan bertindak sebagai raja yang adil. Istilah “Kanjeng
Rasul” yang dimaksud dalam babad ini menunjuk kepada pribadi Nabi
Muhammad saw. Salah satu bagian dalam karya sastra ini menunjukkan
secara gamblang sebagai berikut :
“Nulya karsane Hyang Widhi … Nitahaken ratu ing Demak, akeh sagung para wali ngajawi, pan sami amemulang, anglampahi sarengate Kanjeng Rasul, wus sirna jamaning Buda, pra sami agama suci. Wus samya Islam, masuk maring agamane Jeng Nabi …. “9
(Selanjutnya
kehendak Hyang Widhi … Menitahkan raja di Demak, banyak para wali
datang ke Jawa, yang mengajar, melaksanakan syariat Kanjeng Rasul, telah
lenyap jaman Buda, bersama menganut agama suci. Telah berislam semua,
masuk ke dalam agamanya Jeng Nabi …)
Raja ini digambarkan sebagai orang yang memilih hidup sederhana10 yang senantiasa menyerahkan dirinya kepada Allah Yang Maha Besar (mung sumende ing Hyang Agung = hanya menyerahkan diri kepada Yang Maha Agung).11
Raja ini akan mampu menghadapi musuh hanya dengan mengandalkan Allah.
Pengarang serat kemudian berharap agar publik pembacanya bersedia
mengabdi kepada sang raja tersebut.
Keadilan
raja ini tidak diragukan. Keadilannya merupakan hasil dari menjalankan
syariat Islam secara kaffah, dengan berperilaku layaknya santri sejati. Serat Jangka Jayabaya Syekh Subakir menggambarkannya sebagai berikut:
“Ilange
wong dora-cara, wong dursila durjana juti enting, bebotoh pada kabutuh,
awit adil Sang Nata, akeh suci ing masjid kang melu sujud, eling maring
kabecikan, pada dadi santri curit.”12
(Musnahnya
para penipu, manusia yang berperilaku jelek dan jahat, penjudi yang
telah kecanduan, karena keadilan sang raja, banyak mensucikan diri di
masjid yang ikut bersujud, mengingat akan kebaikan, semua menjadi santri
sejati).
Karya sastra berbentuk jangka serupa ini tentu saja harus kita baca sebagai sekedar karya sastra saja. Naskah
yang mungkin ditelurkan pada era sekitar penjajahan Belanda ini, tidak
semua isinya harus dipercaya terutama dalam dimensi fungsinya sebagai
visi ramalan. Meski demikian sebagai sebuah produk sastra, karya ini
mewakili framework
dari pujangga yang mengarangnya. Cara pandang itu mau tidak mau harus
dilihat sebagai refleksi sang pujangga atas kondisi di sekitarnya. Dalam
dimensi ini dapat ditemukan sikap loyalitas sang pujangga kepada Islam.
Juga sikap antipatinya sebagai orang Jawa kepada ajaran Kristen. Sikap
sinis yang terakhir ini mungkin saja, kalau benar karya ini ditulis pada
era penjajahan, merupakan ekspresi yang lahir dari reaksi terhadap
penjajah Kristen Belanda.13 Serat Jangka Jayabaya Syekh Bakir tentu saja bukan satu-satunya karya sastra Jawa yang berpandangan seperti itu.
Dengan demikian,
maka hakikatnya karya sastra ini secara langsung ataupun tidak langsung
mencoba mengangkat Islam sebagai solusi bagi peri-kehidupan di Tanah
Jawa. Juga menunjukkan suatu dimensi pandangan pujangga Jawa bahwa Islam
adalah identitas masyarakat Jawa. Tanpa Islam maka “wong jowo ilang Jawane” (orang Jawa akan hilang identitas Jawanya). [Susiyanto]
No comments:
Post a Comment