Salah satu buku berbahasa Jawa yang
sering dengan tujuan memunculkan ruang berjarak antara Islam dan Jawa
adalah kitab “Jangka Sabda Palon”. Umumnya, upaya-upaya yang mengarahkan
untuk memicu gap ini lebih banyak disebabkan penafsiran yang kurang
memperhatikan pemahaman komprehensif terhadap keseluruhan teks. Kitab
jangka tersusun dari rangkaian tembang macapat ini sering disebut secara lengkap sebagai Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, selanjutnya diingkat sebagai Jangka Sabda Palon.
Penamaan ini mungkin disebabkan konten buku ini selain memuat kisah
tentang tokoh Sabda Palon, juga berisi tentang mitologi “Prabu
Jayabaya”. Serat Jangka Sabdo Palon diyakini merupakan karya R. Ng.
Ranggawarsita. Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa,
dalam bukunya “Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon”, menjelaskan bahwa
dalam jangka tersebut terdapat sandi asma yang menunjukkan bahwa Jangka Sabda Palon merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita.[1]
Anggapan yang berkembang saat ini,
umumnya, menyatakan bahwa “Jangka Sabda Palon” merupakan sebuah kitab
jangka yang berbicara tentang kehancuran Islam di tanah Jawa dan
digantikan oleh ajaran “pengganti Islam” setelah 500 tahun keruntuhan
Majapahit. Opini ini rupanya telah diamini oleh sejumlah pihak tanpa
mencoba bersikap kritis dan mempertanyakannya kembali. Kebanyakan orang
yang turut mengiyakan pendapat ini, sering tidak memiliki akses membaca
dari sumbernya secara langsung. Hanya ikut arus mengikuti wacana umum
yang berkembang secara taken for granted. Hal yang paling dirasakan, akibat kurang totalitasnya pemahaman terhadap substansi Jangka Sabda Palon
adalah muncul sejumlah klaim atas penafsirannya. Klaim ini sudah tentu
mewakili kepentingan tertentu untuk menjustifikasi bahwa ajaran yang
dimaksud sebagai “pengganti Islam” adalah ajaran dari pemilik klaim
tersebut. Terkait klaim-klaim yang muncul dari penafsiran Jangka Sabda
Palon akan dibahas selanjutnya.
Kesalahpahaman yang telah terjadi ini,
tidak jarang masih coba dipertahankan eksistensinya. Beberapa penulis
belakangan ini berusaha memancing kembali perdebatan tentang Jangka
Sabda Palon. Ruang yang selama ini telah tersekat, sepertinya hendak
ditambah sekatnya kembali sehingga kenyamanan dialog yang harusnya terus
dibina justru semakin jauh panggang dari api. Bambang Noorsena,
misalnya, tokoh Kristen Ortodoks Syiria ini dalam bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen”
merupakan salah satu penulis yang mencoba mengangkat kembali tema
“marginalisasi Islam” dengan menggunakan “Jangka Sabda Palon”. Noorsena
menggambarkan bahwa Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon ini
merupakan salah satu gambaran bahwa Penolakan manusia Jawa yang
direpresentasikan oleh tokoh Sabda Palon terhadap ajaran Islam karena
agama ini dianggap memiliki corak keagamaan yang politis dan doktriner.[2]
Selanjutnya, Noorsena membuat pernyataan bahwa Islam di Jawa pun pada
akhirnya mengalami asimilasi dengan keyakinan agama terdahulu. Tentu
saja, statemen Bambang Noorsena ini juga lahir dari membebek
pendapat yang berkembang belaka, bukan didasarkan pada pengkajian secara
langsung terhadap materi yang dibahasnya. Lebih jauh, sangat
dimungkinkan Bambang Noorsena tidak membaca secara tuntas buku yang
digunakan sebagai referensinya, termasuk Serat Jangka Sabda Palon. Perlu
diketahui buku Bambang Noorsena ini seringkali menggunakan “Teori Pengaruh”
yang tidak terstruktur dengan baik. Kelemahan paling umum yang sering
dilakukan oleh penghasung teori pengaruh ialah kecenderungan membuat
generalisasi secara terburu-buru, penarikan kesimpulan berdasarkan data
yang belum lengkap, memaksakan data yang sebenarnya tidak relevan, dan
pengamatannya hanya bersifat parsial.
KLAIM DAN KESALAHPAHAMAN
Isu tentang agama “pengganti Islam” di
Jawa sempat menguat dalam Seminar Kebathinan Indonesia I pada 14-15
Nopember 1959 di Jakarta. Ketua Umum badan Kongres Kebathinan Indonesia
(BKKI), Mr. Wongsonegoro, dalam pendahuluan seminar melontarkan isu
tentang visi nubuatan sumpah Sabda Palon terhadap Prabu Brawijaya. Di
antara isi sumpah itu, bahwa 500 tahun kemudian akan berkembang biak
gerakan kebatinan di Tanah Jawa.[3] Dapat dikatakan bahwa kaum kebatinan yang ikut terlibat dalam kongres tersebut telah memanfaatkan Serat Jangka Sabdo Palon
dengan membuat klaim bahwa ajaran “pengganti Islam” yang dimaksud dalam
Jangka Sabda Palon adalah “Kebatinan”. Hal ini merupakan klaim pertama terkait penafsiran Jangka Sabda Palon.
Sedangkan klaim kedua
terdapat dalam Serat Darmagandul yang baru ditulis pada 16 Desember 1900
M menyatakan bahwa berakhirnya Agama Islam di tanah Jawa akan
digantikan oleh ajaran Kristen. Salah satu bagian dari isi Serat
Darmagandul juga menceritakan tentang adanya Jangka Sabda Palon. Dalam
Serat Darmagandul ini digambarkan bahwa Prabu Brawijaya yang telah
di-Islamkan oleh Sunan Kalijaga, kemudian meminta kepada Sabda Palon,
abdinya, agar mengikuti agama barunya. Sabda Palon menolak ajakan Prabu
Brawijaya, tuannya. Bahkan diceritakan Sabda Palon lantas mengeluarkan
kutukan bahwa akan banyak orang Jawa yang meninggalkan Islam dan
berganti dengan agama kawruh.[4]
“Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh …”
(Orang Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam besok, berganti agama kawruh …)
Ada pun yang dimaksud dengan agama kawruh
dalam Serat Darmagandul tersebut, tidak lain adalah Kristen. Pendapat
ini sejalan dengan hasil tulisan dua orang akademisi dan orientalis
Belanda yaitu G. W. J. Drewes[5] dan Philip van Akkeren.[6] Hal ini dapat dilihat dari isi Serat Darmagandul, salah satunya adalah sebagai berikut:
Lamun seneng bukti, woh wit kadjeng kawruh, Anyebuta asmane Djeng Nabi, Isa kang kinaot, mituruta Gusti agamane,[7]
(Jika suka dengan bukti, buah pohon kayu pengetahuan, (Maka) sebutlah nama beliau Nabi Isa yang termuat, turutilah agamanya, )
Perlu diketahui bahwa cerita Sabda Palon
dalam Serat Darmagandul tersebut telah mengambil ide cerita sepenuhnya
dari Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada 1832 M. Namun demikian
terkait dengan “kutukan” bernuansa ramalan dari Sabda Palon bahwa agama Kawruh
akan menggantikan ajaran Islam merupakan inisiatif penulis Darmagandul
sendiri. Jadi hal ini murni pemikiran pengarang Serat Darmagandul. Harus
dipahami bahwa keseluruhan isi Serat Darmagandul memang lebih tepat
dikatakan sebagai hasil dari “plagiasi” dari Serat Babad Kadhiri,
kecuali pada tema-tema tentang Kristen dan pelecehan terhadap Islam.
Serat Darmagandul ini merupakan karya seorang Kristen yang sedang
menjalankan proyek orientalisme pada masa penjajahan Belanda.[8]
Dengan demikian telah kita dapatkan dua
klaim penafsiran atas substansi dari Jangka Sabda Palon. Di satu pihak,
kalangan kebatinan menganggap bahwa Jangka Sabda Palon merupakan visi ke
depan tentang eksistensi ajaran kebatinan. Di lain pihak jangka
tersebut ditafsirkan sebagai nubuatan “kedatangan” Kristen di Jawa.
Kedua penafsiran ini jelas tidak lepas dari motif dan kepentingan
masing-masing.
Selain kedua penafsiran di atas, jika
Jangka Sabda Palon dimaknai secara tekstual maka akan ditemukan adanya
cita-cita menghidupkan Agama Budha kembali. Hal ini dapat dilihat dalam
jangka yang bercerita tentang dialog antara Sabda Palon dan Prabu
Brawijaya sebagai berikut:
“Klawan Paduka sang
Nata, wangsul maring sunya ruri, mung kula matur petungna, ing benjang
sak pungkur mami, yen wus prapta kang wanci, jangkep gangsal atus tahun,
wit ing dinten punika, kula gantos kang agami, gama Buda kula sebar
tanah Jawa”.[9]
(Adapun paduka Sang
raja, kembali ke alam baka, hanya saja saya meminta anda memperhitungkan
bahwa sepeninggal saya, jika sudah tiba waktunya, genap lima ratus
tahun, mulai hari itu, akan saya ganti agama (Islam), agama Budha akan
saya sebar di tanah Jawa).
Penafsiran bahwa Jangka Sabda Palon
merupakan justifikasi bagi munculnya kembali ajaran Budha maupun
kelahiran kebatinan, umumnya lebih banyak dianut oleh sejumlah kalangan
di Jawa. Namun dimaksud oleh pengarang tentu adalah sesuatu yang sama
sekali berbeda. Maksudnya, dalam hal ini tidak secara harfiah
sebagaimana istilah yang digunakan “agama Budha”. Sebab tujuan akhir
sang pengarang Serat Jangka Sabda Palon ternyata adalah sebuah proses
untuk “menerima” Islam.
EKSISTENSI SABDA PALON
Jika kita telusur lebih jauh, cerita
nubuatan semacam sumpah Sabda Palon tidak lebih sekedar sebagai karya
sastra saja. Karya ini menggunakan cerita rakyat yang telah banyak
beredar di masyarakat. Dalam tradisi oral yang berkembang di sekitar
Trowulan, sebuah wilayah yang diyakini sebagai salah satu situs
Majapahit, tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong merupakan tokoh yang
diyakini hidup pada masa Majapahit dan memiliki pekerjaan sebagai abdi
dalem Keraton. Cerita-cerita babad kemudian memanfaatkan tradisi lesan
yang berkembang ini, dengan meminjam nama Sabda Palon dan Naya Genggong,
kemudian memberi peran baru kepada kedua tokoh ini, dan pada giliran
selanjutnya diangkat dari derajadnya yang tidak lebih dari abdi dalem
biasa menjadi “danyang” Tanah Jawa. Dengan demikian tradisi oral tentang
cerita Sabda Palon dan Noyo Genggong telah memiliki nilai baru dan
menjadi mitologi. Proses demikian adalah hal biasa terjadi mengingat
adanya sejumlah kepentingan yang bermain.
Kenyataannya dalam tradisi lesan yang
berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong bukan
merupakan sosok yang anti Islam. Sabda Palon dan Noyo Genggong yang
hidup dalam tradisi oral masyarakat adalah dua orang abdi Majapahit yang
telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah
kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis.
Berdasarkan keterangan resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum
Trowulan), kedua tokoh tersebut merupakan dua di antara 7 (tujuh) dari
nama orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo yang terletak di Desa
Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di
situs Troloyo tersebut merupakan makam abdi dalem Majapahit yang telah
memeluk agama Islam.[10]
Dengan keterangan tersebut, tokoh
Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam cerita rakyat justru
merupakan penganut ajaran Islam. Sehingga setelah wafatnya disemayamkan
dalam pemakaman Islam pula. Meskipun demikian Cerita tentang keberadaan
nama Sabda Palon dan Noyo Genggong di situs Troloyo ini hanya didasarkan
kepada tradisi lesan yang berkembang pada masyarakat di sekitar situs
itu saja. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi. Namun tidak
diragukan lagi bahwa cerita-cerita babad yang saat ini beredar, umumnya
banyak yang menggali ide ceritanya dari tradisi lesan yang berkembang di
suatu masyarakat tertentu. Kemudian tradisi lesan yang ada, diberi
muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan
sehingga muncullah mitos tersebut.
KRITIK ATAS PEMAHAMAN
Sebagai sebuah jangka yang dinyatakan
memiliki visi ramalan, Jangka Sabda Palon bukannya tanpa kritik. Perlu
dimengerti bahwa memahami Jangka Sabda Palon sebagai sebuah “ramalan”
sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh sebuah pola cara pandang. Bagi
seseorang yang menyukai klenik, dengan menghubung-hubungkan Jangka
Jayabaya dengan sebuah kepentingan tertentu maka bisa saja didapatkan
kesimpulan bahwa jangka ini telah m”meramalkan sesuatu”.
Namun dengan cara demikian jelas banyak
kelemahan yang akan ditemui. Sebut saja misalnya Jangka Jayabaya
menyebutkan bahwa pada masa berlakunya “ramalan” maka akan terjai sebuah
jaman yang paling menyengsarakan penduduk Tanah Jawa. Masa yang
dimaksud ditandai dengan sengkalan sebagai “Lawon Sapta Ngesthi
Aji”. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk angka maka sengkalan tersebut
akan menunjukkan tahun 1877 tahun Jawa. Hal ini ditunjukkan dalam Jangka
Sabda Palon sebagai berikut:
Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira, Lawon sapta Ngesthi Aji,
upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir
bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya
(Waktu paling sengsara
yang terjadi di tanah Jawa terjadi pada sengkalan tahun Lawon Sapta
Ngesthi Aji. Umpama menyeberang sungai setelah sampai di tengah-tengah,
sungainya banjir besar, kedalamannya menenggelamkan manusia, banyak
manusia yang tewas)
Pemaknaan atas isi Jangka Sabda Palon
tersebut sudah tentu bisa bermacam-macam tergantung cara pandang yang
dimiliki penafsirnya. Tradisi Jawa sendiri tidak memiliki metodologi
yang jelas dalam berinteraksi dengan bentuk-bentuk teks semacam ini.
Salah satu cara pandang yang bisa dikemukakan adalah dengan melihat
peristiwa apa saja yang terjadi pada tahun Jawa tersebut. Angka tahun
1877 tahun Jawa jika dikonversi ke dalam penanggalan masehi maka akan
didapatkan angka tahun 1945 atau 1946 M.[11]
Jika angka tahun tersebut dihubungkan dengan “kesengsaraan yang terjadi
di tanah Jawa” maka akan didapatkan hasil yang membingungkan. Sebab
diketahui bersama bahwa pada tahun 1945-1946 ini bangsa Indonesia
termasuk penduduk tanah Jawa sedang berada dalam suasana kegembiraan
karena “ Atas berkat rahmat Allah yang maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur … maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.”[12]
Tentu saja hal ini bisa ditafsirkan dengan cara yang lain dimana
bentuk-bentuk penafsiran tersebut tidak dapat dibatasi dengan satu cara
pandang saja. Dengan demikian klaim-klaim terkait penafsirannya bisa
saja tidak sepi dari motif dan kepentingan.
Motif dan kepentingan tertentu juga bisa
berlaku dalam kasus penafsiran Jangka Sabda Palon sebagai “anti Islam”
dan “menubuatkan” lenyapnya Islam di tanah Jawa. Jika diteliti secara
mendalam, istilah-istilah seperti agama Buda atau Budi dalam jangka
Sabda Palon ternyata tidak menunjukkan adanya eksistensi ajaran Agama
Budha sama sekali. Jadi yang dimaksud dengan Agama Buda atau Budi
ternyata memiliki makna istilahiy yang lain dari makna aslinya. Hal ini
ditunjukkan dalam penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon sebagai berikut:
Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji, …
(Takdir nusa
sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung jaman
Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu …)
Justru Jangka Sabda Palon dari segi
isinya menunjukan bahwa ada keinginan mendalam dari tokoh “Sabda Palon”
untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus
tahun ramalannya. Dalam pandangan Sabda Palon ajaran Islam yang dibawa
oleh para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran
Islam yang sempurna. Sabda Palon berkehendak menganut ajaran agama ini
jika telah diajarkan secara sempurna, bebas dari sinkretisme. Hal ini
ditunjukkan sebagai berikut:
Thathit kliweran
ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama
rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun,
angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking
kang nyata.[13]
Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan
budayawan Jawa, menafsirkan kalimat di atas bahwa pada masa kehidupan
Prabu Brawijaya, raja Majapahit, tokoh Sabda Palon belum bersedia
menganut Agama Islam dan lebih memilih menganut Agama Budha.[14]
Alasannya, Sabda Palon masih menganggap bahwa penganut Islam saat itu
masih menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun pada saatnya kelak,
jika Agama Islam telah diajarkan secara murni, maka Sabda Palon akan
bersedia memeluk Agama Islam.[15]
Dalam anggapan Sabda Palon, Islam belum
dianggap mencapai kesejatian atau kemurnian jika hanya diamalkan menjadi
ibadah ritual belaka tanpa memperhatikan kebersihan jiwa. Juga tidak
menjadi murni jika hanya diucapkan dibibir namun tidak menjadi praktek
nyata.[16]
Bahkan pada bagian akhir Jangka ini tokoh Sabda Palon mengancam
“manusia Jawa” jika mereka tidak mengikuti dirinya memeluk agama rasul
yaitu islam yang sejati. Maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Hal ini
ditujukkan sebagai berikut:
Sampurnakna
agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati … Ngelingana he pra umat
sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun
pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, …[17]
Dengan demikian anggapan bahwa Jangka
Sabda Palon merupakan karya sastra yang memperkuat mitos bahwa Islam
akan lenyap dari bumi Jawa terbukti tidak benar. Jangka Sabda Palon
justru berbicara sebaliknya bahwa Islam akan sampai kepada pemurnian
ajarannya dimana Sabda Palon sendiri berkehendak memeluk agama tersebut.
Hal demikian memang sulit dipahami, sebab banyak bahasa simbol yang
digunakan dalam kitab tersebut.
Kesalahan penafsiran terhadap jangka
Sabda Palon, sebagai “nubuatan” Kristen, Budha, maupun kebatinan lebih
banyak didasarkan kepada kepentingan tertentu. Juga disebabkan kurang
teliti menganalisa Jangka tersebut.
PENUTUP
Lepas dari semua pembahasan di atas, Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon
hanya merupakan sebuah karya sastra belaka. Kisah-kisah yang ada di
dalamnya juga tidak bisa digunakan sebagai sumber bagi kajian sejarah.
Beberapa pembahasan yang dihadirkan di dalamnya banyak disemangati oleh
nilai-nilai tasawuf. Meskipun demikian juga tidak dalam segala hal harus
diterima sebagai karya yang Islami. Juga tidak bisa diremehkan sebagai
buku yang ala kadarnya. Hanya saja mungkin, dengan menjernihkan
kesalahpahaman ini maka akan tercipta sebuah dinamisasi dialogis yang
lebih baik bagi Islam di Jawa.
Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon bukan merupakan karya yang harus dikategorikan sebagai karya sastra yang mengambil sikap menetang hukum syariat (murang syarak).
Melainkan karya yang mampu menjembatani “kebuntuan” dan kebekuan relasi
dialogis yang telah mengungkung selama sekian waktu akibat kurang
mendalamnya perhatian di antara kita. Perlu diketahui naskah-naskah
berbahasa Jawa yang memperlihatkan sikap murang syarak, secara
nominal sebenarnya hanya minoritas saja, sekedar “suara pinggiran”. Hal
itupun kadang tidak lepas dari pengaruh “negatif” masa Penjajahan
Belanda, tercipta dari kaum yang telah terbeli tekadnya. Hanya saja
jumlah yang hanya sedikit dibandingkan karya-karya yang memberikan
apresiasi positif terhadap Islam ini, seringkali diangkat secara
besar-besaran, sehingga kesannya apresiasi yang terakhir ini mewakili
wajah Jawa. Oleh karena itu kewaspadaan hendaknya menjadi bagian dari
kesadaran umat seluruhnya di Jawa. [Susiyanto – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)).
No comments:
Post a Comment