(TELAAH TERHADAP SERAT DARMA GANDUL)
PENDAHULUAN
Jawa
adalah sebuah peradaban, walaupun belum diakui secara aklamasi oleh
dunia. Kehidupan di Jawa telah dimulai jauh sebelum kedatangan Hindhu.[1]
Jawa dalam kemandirian peradabannya merupakan sebuah manifestasi sistem
yang sukar ditundukkan oleh pengaruh yang berasal dari luar. Hindhu
sendiri misalnya, tidak sepenuhnya agama yang berasal dari India
tersebut mampu mengubah ‘sifat bangsa’ Jawa yang egaliter. Sistem Kasta[2]
dalam Hindhu tidak sepenuhnya merasuk dalam pemikiran Jawa. Bahkan
sistem Kasta tersebut terdekonstruksi oleh pola pikir jawa dan mengalami
proses jawanisasi.[3] Maka kemudian terbentuklah ajaran agama Hindhu menjadi ‘Hindhu kejawen’.
Buku
Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang
keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam
versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak
yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra
Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari
China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan
Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali
sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya
yang masih kafir, karena memeluk agama Budha. Bujukan para wali
berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan
Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas
tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi
kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam
telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi
baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis
Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.[4]
Penulis
menggunakan buku Darmagandul terbitan Toko Buku “Sadu-Budi” Solo. Buku
tersebut merupakan cetakan keempat dengan angka tahun 1959 yang
ditampilkan dalam bentuk gancaran dengan Bahasa Jawa Ngoko.[5]
Buku tersebut ditulis berdasarkan kitab induk yang dimiliki oleh K.R.T.
Tandanagara. Buku Darmagandul tersebut diberi keterangan sebagai buku
yang mengisahkan tentang cerita runtuhnya Majapahit dan berdirinya
kerajaan Demak yang dimulai sejak orang Jawa meninggalkan agama Budha
dan beralih menganut agama Islam.
PERMASALAHAN
Secara umum buku Darmagandul tidak memberikan penjelasan tentang identitas instrinsik berupa nama penulis (anoname)
dan masa kepenulisan. Selain itu buku tersebut menampilkan diri sebagai
salah satu tulisan yang menampilkan cerita sejarah. Sebagaiman telah
menjadi pandangan umum, sejarah adalah fakta tunggal yang bisa
ditafsirkan berdasarkan motif dan rasionalisasi tertentu. Padahal kajian
sejarah membutuhkan kepastian sumber sejarah atau setidaknya sebuah
bentuk otoritas tertentu. Maka penulis akan mencoba mengkaji buku
Darmagandul tersebut berdasarkan batu uji sebagai berikut:
- Siapa penulis buku Darmagandul dan kapan masa penulisannya ?
- Bagaimana kisah runtuhnya kerajaan majapahit dan Berdirinya Demak ?
- Apa dan bagaimana intisari ajaran serat Darma gandul ?
MEMAHAMI IDENTITAS PENULIS DARMOGANDUL
Kitab Darmagandul
(sering ditulis dengan Darmo Gandul atau Darma Gandhul atau Darmo
Gandhul) merupakan sebuah buku kontroversial yang berusaha memojokkan
agama Islam dan mengembalikan suku Jawa kepada kepercayaan nenek
moyangnya yaitu agama Budha. Isinya secara dominan mengisahkan tentang
kehancuran dan keruntuhan majapahit akibat serangan Demak dan Politik
‘kotor’ para wali. Sedangkan isinya yang lain merupakan bentuk
pengajaran beberapa falsafah dan pemikiran ‘ilmu kehidupan’ dari seorang
guru bernama Kyai Kalamwadi[6] dengan muridnya yang bernama Darmagandul.
Identitas
pengarang Serat Darmagandul tidak jelas. Demikian juga latar belakang
dan masa penulisannya. Sebagian besar kalangan meyakini bahwa Serat
Darmagandul ditulis pada masa peralihan antara runtuhnya Majapahit dan
berdirinya kerajaan Demak. Jika asumsi ini benar, maka latar belakang
penulisan Serat Darmagandul bisa ditebak yaitu kegundahan hati penulis
Serat melihat banyaknya rakyat Majapahit yang memeluk agama Islam dan
meninggalkan agama Budha secara masal. Namun jika asumsi tersebut salah
maka identitas penulis Darmagandul tetap bisa diidentifikasi sebagai
oknum yang menderita islamophobia dan sekaligus menunjukkan kebencian terhadap eksistensi Islam.
Secara
umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam
mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku
tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan
Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa
buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa
di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut
boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.
Misalnya
diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri
dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi
tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :
… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …[7]
Dari
kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal
senjata api berupa senapan. Sedangkan fakta sejarahnya, senapan dengan
istilah bedil, baru dikenal oleh orang Jawa pasca kedatangan bangsa
Eropa di bumi Nusantara. Maka jelas bahwa buku Darmagandul
baru ditulis pasca kedatangan bangsa Eropa dan bukan pada masa peralihan
antara kejatuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak sebagaimana
diyakini sebagian kalangan.
Selain
itu buku ini juga telah menceritakan tentang hubungan antara para
auliya’ dari berbagai negeri dengan pohon pengetahuan dalam bentuk
perbandingan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :
“ Sastra
warna-warna paringane Kang Maha Kawasa, iku wajib dipangan, supaya
sugih pangreten lan kaelingan, mung wong kang ora ngerti sastra paring
Gusti Allah, mesti ora ngerti marang wangsit. Auliya’ Gong Cu kumentus
niru sastra tulisan paring Gusti Allah, nanging panggawene ora bisa,
sastrane unine kurang, dadi pelon, para auliya panggawene sastra
dipatoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh banget cacahe, nanging unine
pelo, amarga Auliya kang nganggit kesusu mangan woh kawruh, ing mangka
iya kudu mangan woh wit Budi, Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa,
ewadene meksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu
wajibe, kesusu tanpa panglulu nganggit aksara kang tanpa etungan cacahe,
jenenge sastra godhong, godhonge wit budhi lan wit kawruh, dipethik
saka satitik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane
aksarane nganti ewon, Auliya China kesiku, amarga arep gawe sastra urip
kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa enggone mangan woh Budi nganti
wareg, mula enggone nganggit aksara sanadyan ora pati akeh cacahe,
nanging wis bisa nyukupi, sarta unine ora pelo. Auliya Walanda
enggone mangan woh wit kawruh uga ngati wareg, dene enggone nganggit
aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab enggone mangan woh wit Kuldi
akeh banget. Dene enggone nganggit aksara iya dipathoki
cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah dadine saka sabda, wujude
dadi dewe, mulane unine iya cetha, satrane ora ana kang padha.”[8]
Perbandingan
dalam kategori sastra dan jumlah aksara antar bangsa kemudian digunakan
untuk menetukan harkat dan martabat serta ‘ketinggian’ pengetahuan dan
budi, jelas merupakan ide yang ahistoris. Aksara Jawa dalam kenyataan
yang sebenarnya tidak cukup baik untuk menuliskan semua huruf yang bisa
dilafalkan melalui suara. Sebagai contoh, dalam kaidah penulisan huruf
Jawa terdapat konsep aksara swara dan aksara rekan. Aksara swara adalah huruf yang
digunakan untuk menuliskan huruf vokal di awal kata yang digunakan pada
kata-kata yang berasal dari manca, seperti pada kata Allah, Eropah, Umar,
dan lain sebagainya. Sedangkan aksara rekan adalah huruf-huruf yang
digunakan untuk menuliskan pelafalan huruf manca yang tidak terdapat
dalam aksara Jawa,[9] seperti za, fa, gha, kha, dan dza.
Selain itu kata ‘Auliya Walanda’
menunjukkan bahwa Serat Darma Gandul ditulis pada masa atau pasca
penjajahan Bangsa Belanda. Kata Walanda yang berarti Belanda (sebutan
untuk Netherland dari bangsa Indonesia) tidak mungkin dikenal
pada masa peralihan antara Majapahit dan Demak. Maka teori masa
penulisan yang menyebutkan, antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya
Demak, dengan demikian jelas terbantahkan.
Buku Darmagandul seringkali menggunakan frase wit kawruh
yang bermakna pohon pengetahuan. Idiom ‘pohon pengetahuan’ bukanlah
kata-kata yang wajar dalam nalar Jawa. Falsafah Jawa lebih sering
menampilkan kata-kata seperti banyu bening (air bening), banyu penguripan (air penghidupan), cahya, sunar, pepadhang,
dan berbagai frase yang melibatkan air atau identik dengan cahaya,
bukannya pohon semacam pohon pengetahuan. Penggunaaan kata pohon (wit atau taru)
secara simbolis, dalam pemikiran Jawa, umumnya digunakan untuk
menggambarkan kebijaksanaan, pengayoman, dan beberapa hal yang identik
dengan kewibawaan penguasa. Jika dirunut kepada ajaran Budha sekalipun
tidak akan dapat ditemukan ajaran yang identik dengan pohon pengetahuan.
Pohon Bodhi, dalam ajaran Budha, yang dianggap sebagai pohon dimana
Sidharta Gautama menerima ilham di bawahnya, secara harfiah lebih mudah
dimaknai sebagai pohon penerangan agung atau kesadaran yang sempurna[10] atau ilham[11]
atau pencerahan dan bukannya pengetahuan. Lantas dari mana ide tentang
pohon pengetahuan tersebut bersumber ? Dari penggalan di bawah ini, ide
tentang pohon pengetahuan akan dapat dilacak.
“ Darmogandul
matur, nyuwun diterangake bab enggone Nabi Adam lan Babu Kawa pada
kesiku dening Pangeran, sabab saka enggone padha dhahar wohe kayu kawruh kang ditandur ana satengahing taman firdaus. Ana maneh kitab kang nerangake kang
didhahar Nabi Adan lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing
swarga. Mula nyuwun diterangake, yen ing kitab Jawa diceritaake kepriye,
kang nyebutake kok mung kitab Arab lan kitabe wong Srani ”.[12]
Ide
tentang Pohon Pengetahuan dalam Serat Darmagandul, tidak bisa
diingkari, dapat dilacak ke dalam pemikiran kekristenan. Hal ini dapat
ditinjau dalam Kitab Perjanjian Lama dalam Kejadian 2 : 16-17 sebagai
berikut :
Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,[13]
tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”[14]
Ide
pohon pengetahuan dalam dalam Kitab Perjanjian Lama tersebut
seolah-olah ditolak dengan kalimat dalam Darmogandul sebagai berikut :… Yen Kitab Jawa ora nyebutake mangkana[15]
(maksudnya kisah Pohon pengetahuan atau Pohon Kuldi) ”. Akan tetapi
ide-ide tentang pohon pengetahuan dalam Perjanjian Lama tersebut dalam
berbagai tempat justru diakomodasi oleh serat Darma Gandul. Pada saat
yang bersamaan terjadi miskonsepsi dalam buku Darmogandul tentang
penilaiannya terhadap “Pohon Kuldi” dalam pandangan Islam. Pohon Kuldi (syajaratul khuldi)
yang bermakna pohon kekekalan pada hakikatnya adalah upaya
pendefinisian yang dilakukan oleh Iblis terhadap pohon yang tumbuh di jannah dimana Allah melarang Adam untuk mendekatinya. Dengan demikian nama pohon Kuldi dalam pandangan Islam bukan merupakan propername
haqiqi yang dikenal dalam konsep Islam, namun secara substansial maupun
aksi merupakan bentuk kekejian dan pengelabuhan Iblis terhadap Adam.[16]
Dalam beberapa tempat, penulis Darmogandul nampaknya lebih menguasai doktrin kekristenan dibandingkan ajaran Islam dan Budha,[17]
dalam hal ini yang coba dibelanya. Bahkan penulis Darmogandul memiliki
itikad untuk menampilkan bahwa agama Nashrani lebih memiliki keunggulan
dibandingkan agama-agama lainnya. Motif ini dapat ditelisik dimana,
agama lain dalam hal ini Islam, senantiasa ditempatkan dalam image
negatif. Sementara nashrani ditempatkan secara positif dalam gambaran
sebagai berikut :
“… Kang
diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti
mrang Pangeran, ora naganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah,
mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang
mujudake, mangkana kang kasebut ing kitab Ambiya.”[18]
Dalam
buku Darmagandul juga terdapat cerita tentang salah satu putra Nabi
Dawud yang bernafsu untuk menggantikan kekuasaan ayahnya. Sang anak
lantas melakukan kudeta (coup d’etat). Namun Nabi Dawud
berhasil merebut kembali tahtanya dan sang anak kemudian melrikan diri
dan tewas dengan kepala tersangkut di pohon saat menunggang kuda. Cerita
tersebut dijabarkan sebagai berikut :
“…carita
tanah Mesir, panjenengane Kanjeng Nabi Dawud, putrane anggege keprabone
rama, Nabi dawud nganti kengser saka nagara, putrane banjur sumilih
jumeneng nata, ora lawas Nabi Dawud saged wangsul ngrebut negarane.
Putrane nunggang jaran mlayu menyang alas, jaranae ambandang
kecantol-cantol kayu, putrane Nabi Dawud sirahe kecantol kayu, ngati
potol gumantung ana ing kayu, iya iku kang di arani kukuming Allah.”[19]
Cerita
tentang kisah putra Dawud yang durhaka sebagaimana cerita di atas sudah
tentu tidak akan dijumpai dalam sumber-sumber Islam, baik Al Quran,
hadits, maupun kitab klasik lainnya. Sebab cerita tersebut bersumber
langsung dari kitab umat Nashrani yaitu Perjanjian Lama dalam kitab 2
Samuel pasal 15 sampai 18. Secara ringkas cerita dalam kitab 2 Samuel
tersebut adalah Absalom, putra Raja Dawud, berniat menarik simpati
rakyat dengan menangani perkara pengadilan di kerajaan ayahnya.[20]
Hakikatnya, Absalom sedang mempersiapkan diri dan menghimpun kekuatan
ntuk memberontak kepada sang Ayah. Maka sejumlah persepakatan gelap
dibuat sehingga banyak rakyat memihak Absalom.[21]
Mengetahui posisi politiknya kurang menguntungkan, maka Dawud kemudian
meloloskan diri beserta pegawai dan keluarganya yang lain.[22] Pada giliran selanjutnya Dawud dapat memukul mundur tentara Absalom.[23]
Absalom yang mengendarai bagal (binatang keturunan kuda dan keledai)
berlari. Ketika melewati jalinan dahan pohon Tarbantin yang besar,
kepala Absalom tersangkut, sedangkan bagal yang dikendarainya terus
berlari.[24]
Dengan demikian kisah dalam serat Darmagandul pada dasarnya merujuk
langsung ke dalam Perjanjian Lama, kitab yang diakui oleh umat Kristen
dan Yahudi sebagai kitab suci.
Berdasarkan
kajian yang telah dilakukan di atas maka identitas penulis dan masa
penulisan buku Darmagandul dapat disimpulkan point-point sebagai berikut
:
- Penulisan buku Darmagandul dilakukan pada masa penjajahan Belanda atau bahkan ada kemungkinan jauh setelahnya, mengingat telah ada bentuk pemahaman yang mendalam terhadap kitab Perjanjian Lama. Dengan asumsi bahwa penulis kitab Darmagandul merupakan orang Jawa, maka pada masa penulisannya seharusnya sudah ada terjemahan Bible dalam Bahasa Jawa atau bahasa lain yang mungkin dapat dipahami. Dengan demikian anggapan bahwa buku tersebut ditulis pada masa transisi antara keruntuhan majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan sendirinya terbantahkan.
- Identitas penulis buku Darmagandul adalah orang Kristen atau setidaknya pernah mempelajari kekristenan. Jika bukan keduanya maka setidaknya penulis buku tersebut adalah penghayat sinkretisme agama atau bahkan seorang ‘perenialis pilih kasih” sebab menganggap semua agama sama baiknya, kecuali Islam. Namun demikian identitas penulis Darmagandul sebagai seorang yang terjangkiti Islamophobia sukar dibantah.
- Penulis buku Darmagandul bukan penganut agama Budha. Sebab telah gagal menjelaskan beberapa doktrin mendasar dalam ajaran Budha. Salah satu contohnya penulis buku Darmagandul mengadopsi konsep kedewaan[25] dalam doktrin agama Hindhu.
SEPUTAR KERUNTUHAN MAJAPAHIT
Buku
Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan
semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan
Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin penulis Darmagandul memaparkan
hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak
kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa
buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara
keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian
kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh buku Darmagandul
boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber
utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan
motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut
mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.
Berdasarkan
kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai
20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak
Abad pertama hijriyah.[26] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[27]
Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah
berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa
Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi
dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[28] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[29]
Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa
berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah
disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit.
Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di
tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[30] adalah tidak benar.
Pada
masa kerajaan majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh
saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar
asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai
muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[31]
Alasannya pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah
menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi
dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan
beragama Islam.[32]
Sementara
itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana
Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang
telah menganut agama Islam, umumnya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[33]
Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama.
Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan
didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam
maka bias dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.
Padahal,
pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis
akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber
daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri
dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478
ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan
diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada
tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk
menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484).
Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah
Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk
memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit
tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan
Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap
serta wibawa politik yang memudar.[34] Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis
wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang
terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut
mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan
mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.
Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng
Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar.[35]
Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat
dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah
mengalami pengeroposan dari dalam.
Dengan
demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin
pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan
Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap
membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat
setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[36]
dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan
Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat
‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[37] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
INTISARI TULISAN DALAM DARMAGANDUL
Buku
Darmagandul berusaha menggambarkan bahwa pengajar Islam di Jawa yang
disebut wali sanga merupakan sekumpulan ulama yang memiliki moralitas
dan integritas pribadi yang buruk. Melalui cerita yang disampaikan dalam
bentuk dialog, digambarkan bahwa sejumlah wali senantiasa kalah dalam
sejumlah dialog. Sehingga mereka kemudian dicitrakan sebagai pihak yang
tersalah dan bodoh.
Sebagai
contoh dalam perdebatan antara Sunan Benang (Bonang) dengan Raja Jin
yang bernama Buto Locaya. Sebelumnya Sunan Benang digambarkan sebagi
pribadi yang sewenang-wenang dan tidak berfikir panjang dalam melakukan
sebuah tindakan. Diceritakan bahwa Sunan Benang mengutuk sebuah desa
sehingga aliran sungai berpindah ke tempat lain. Akibatnya tempat baru
yang dialiri sungai tersebut terjadi banjir bandang. Maka dengan marah
Raja Jin Buto Locaya kemudian berdebat dengan Sunan Benang. Dalam
perdebatan Buto Locaya selalu digambarkan sebagai pihak yang menang
secara argumentasi sedangkan Sunan Benang berada pada pihak yang
dikalahkan. Jika diamati, argumentasi yang digunakan dalam berbagai
dialog dan isi keseluruhan buku darmagandul, dibangun berdasarkan bentuk
silogisme yang mentah akibat kesalahan pengambilan premis dan
penyimpulannya. Sebagai contoh misalnya premis pertama menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekah,[38] premis kedua adalah Mekah itu tanahnya panas, tidak ada tanaman yang mau tumbuh, hawanya panas dan jarang hujan,[39] kemudian kesimpulannya
adalah jika orang Jawa meninggalkan ajaran lamanya dan melakukan
konversi agama beralih kepada Islam, maka tanah Jawa akan menjadi langka
pangan, berhawa panas, dan jarang hujan.[40]
Demikian bentuk silogisme tersebut. Ditinjau dari segi manapun konklusi
yang diambil dari kedua premis tersebut merupakan argument yang tidak
logis dan sukar diterima akal sehat bahkan oleh akal sakit sekalipun.
Kemudian
Sunan giri digambarkan sebagai juru tenung atau tukang sihir. Hal ini
terlihat bahwa dalam salah satu bagian cerita Sunan Giri mengusulkan
agar Prabu Brawijaya ditenung saja agar tidak merusak kondisi politik
dan ketentaraan.[41]
Kemudian pasca Raden patah berkuasa, tersebutlah Adipati Pengging dan
Adipati Pranaraga yang tidak mau tunduk kepada kesultanan Demak. Kedua
adipati tersebut juga merupakan putra dari Prabu Barwijaya sebagaimana
Raden Patah. Maka keduanya kemudian disingkirkan oleh Sunan Giri dengan
jalan ditenung sampai mengalami kematian.[42]
Sedangkan
Sunan Kalijaga digambarkan menyesali keadaan yang telah berjalan. Maka
sebagai tanda penyesalannya, dia mengganti penampilannya berbeda dengan
para wali yang lain. Yaitu menggunakan baju wulung dan bukannya baju
surban sebagaimana umumnya para wali.[43]
Bahkan sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencari ilmu sejati tidak
harus berguru kepada orang Arab (Islam maksudnya) namun cukup dengan
mengeksporasi dirinya sendiri.
Ide ‘nyleneh’ bertebaran ditampilkan dalam kitab tersebut. Antara lain serat Darmagandul berusaha meyakinkan pembaca bahwa Latta dan Uzza,
berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy, seolah-olah merupakan
manifestasi Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam penyebutan penyebutan
nama ‘Hyang Latawalhujwa’ dibeberapa tempat.[44]
Selain itu terdapat pernyataan bahwa kaum muslimin pada dasarnya bukan
menyembah Tuhan namun menyembah tugu batu yang bernama Ka’bah.
Pernyataan demikian seringkali ditemukan pada era saat ini. Biasanya
lahir dari kekurangmengertian terhadap ajaran Islam. Dalam anggapan
Darmagandul, ka’bah adalah buatan Nabi Ibrahim, seorang manusia. Lantas
buku tersebut mempertanyakan mengapa orang Islam tidak menyembah
batu-batu besar di Gunung Kelud saja, padahal batu gunung tersebut
justru adalah ciptaan Tuhan.[45]
Tentu saja persoalannya bukan siapa menciptakan apa dan konsekuensinya.
Namun Ka’bah merupakan batu penjuru bagi umat Islam, lambang kesatuan
Kiblat sekaligus menjadi bukti bahwa Islam merupakan ajaran Tauhid.
Pembinaan terhadap Ka’bah, dalam doktrin Islam, mengacu pada pembinaan
Baitul Makmur dimana atas perintah Allah para Malaikat melakukan Thawaf
mengitarinya.[46]
Pada hakikatnya bukan menyembah Ka’bah ataupun Baitul Makmur namun
menyembah kepada Allah dengan mengikuti perintah dan tata cara
penyembahan yang telah di atur oleh-Nya.
Lantas
apakan gambaran tentang tentang para wali sebenarnya adalah demikian
adanya ? Atau Apakah Serat Darmagandul merupakan sebuah kebenaran ?
Sulit dipastikan, apalagi jika menggunakan serat Darmagandul sebagai
sumber sejarahnya. Sebagaimana telah dibuktikan di atas Serat
darmagandul bukan merupakan sumber utama sejarah sebab tidak ditulis
pada masa peralihan antara kerajaan majapahit dan Kesultanan Demak
sebagaimana anggapan orang. Kemudian banyak disisipi dengan berbagai
motif dan kepentingan tersembunyi. Sedangkan puncak dari motif dan
kepentingan dalam penulisan buku Darmagandul digambarkan sebagi suara
kutukan roh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah sebagai berikut :
“Entek
katresnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digetak kaya
kucing, sandyan matiya ing tata-kalaire, nanging lah eling-elingen ing
besuk, yen wis ana agama kawruh, ing tembe bakal tak wales, tak ajar
weruh ing nalar bener lan luput, pranatane mengku praja, mangan babi
kaya dek jaman Majapahit.”[47]
Maksud kutukan roh prabu Brawijaya tersebut suatu ketika, agama Islam akan dikalahkan oleh agama kawruh. Agama kawruh
sebagaimana telah dijelaskan sebangun dengan pohon pengetahuan yaitu
yang dimaksud adalah Agama atau ajaran Kristen. Dengan demikian
seolah-olah kitab Darmagandul merupakan kitab Jawa yang seolah-olah
menggambarkan dan memberikan ramalan masa depan bahwa Islam di Jawa akan
ditundukkan oleh agama Kristen yang salah satu cirinya adalah mengajar
benar dan salah[48]
serta memakan babi seperti umumnya orang Majapahit. Jelas umat Budha
tidak semua makan daging. Demikian juga muslim tidak memakan daging
babi. Dan hal ini merupakan bukti yang nyata bahwa buku Darmagandul
sejak awal memang merupakan buku dimaksudkan dan dipersiapkan guna
kepentingan misi penginjilan. Mengingat bahwa penyebaran
ajaran Nashrani di Indonesia telah dilakukan semenjak penjajahan bangsa
Eropa di bumi Nusantara yang dilakukan dengan kekerasan[49]. Hal itu mengingatkan kita bahwa penjajahan bangsa Barat terhadap dunia Timur selalu ditopang oleh slogan gold (kekayaan), glory (kekuasaan politik), dan gospel (penyebaran Injil).
PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat dismpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Penulis
buku Darmagandul adalah penganut agama Nashrani yang terobsesi dengan
kegiatan missi atau setidaknya pernah berinteraksi secara intensif
dengan Kitab Bible
2. Masa
penulisan buku Darmagandul adalah pada saat penjajahan Belanda di bumi
Nusantara atau bahkan pasca itu. Dengan demikian hal ini memabantah
pendapat sebagian kalangan bahwa buku tersebut ditulis pada masa
peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.
3. Buku Darmagandul memiliki
banyak kesalahan dari sisi sejarah dan miskonsepsi dalam sejumlah
contentnya. Hal ini wajar sebagai bukti bahwa penulis Darmagandul bukan
pelaku utama sejarah tersebut sehingga pada hakikatnya buku Darmagandul
adalah sebuah buku fiksi.
4. Dengan
demikian buku Darmagandul tidak dengan serta merta dapat digunakan
dalam menggali sumber sejarah terkait keruntuhan Majapahit dan
berdirinya kesultanan Demak.
Wallahu a’lam
[1] Berdasarkan cerita oral, telah ada pendahulu kerajaan di Jawa seperti Medang Kamulan, Medang Pura, dan lain-lain.
[2] Sistem
Kasta dalam Hindhu menunjuk hierarkhi manusia berdasarkan martabat dan
keturunannya. Dalam Hindhu dikenal 4 macam kasta yaitu Brahmana, Satria,
Waisya, dan Syudra.
[3] Rahmad Subagya. Agama Asli Indonesia. (Sinar Harapan, Jakarta, 1981). Hal. 237
[5] Bahasa
Jawa memiliki penggunaaan yang berbeda untuk masing-masing strata
social. Berdasarkan strata social tersebut Bahasa Jawa dibagi menjadi
tiga yaitu Bahasa Jawa Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Bahasa Ngoko
digunakan untuk strata social masyarakat umum atau oleh seorang
bangsawan dan orang terhormat kepada bawahannya. Bahasa Kromo dipakai
oleh orang yang memiliki derajad dan status sosial sama namun telah
akrab. Sedangkan Bahasa Krama Inggil digunakan oleh seorang yang
memiliki derajad dan status social rendah terhadap orang yang memiliki
derajad dan status social lebih tinggi dengan tujuan untuk menghormati.
[7] Noname. Darmagandul. Ibid. Hal. 21. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai berikut : tentara
Majapahit menembak (dengan senapan = ambedil), sedangkan tentara Giri
berjatuhan mati akibat tidak kaut menghadapi melesatnya peluru.
[8] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 54. Artinya : Beragam
sastra pemberian Gusti Allah wajib dimakan agar kaya dengan pengetahuan
dan ingatan, orang yang tidak mengenal sastra pemberian Allah pasti
tidak akan mengerti ilham. Auliya Gong Cu dengan congkak meniru sastra
pemberian Gusti Allah, namun pembuatannya tidak bisa, sastra bunyinya
kurang, jadi pelat, para Auliya pembuatan sastra ditentukan jumlahnya,
namun aksara China banyak sekali jumlahnya, namun bunyinya pelat, sebab
Auliya China terburu-buru memakan buah pohon pengetahuan, padahal juga
harus memakan buah pohon Budi, Auliya tadi lupa bahwa dirinya tercipta
sebagai manusia, maka karenanya memaksa menggunakan kekuasaan Yang Maha
Kuasa, mengharap yang bukan wajibnya, terburu-buru menerima panglulu
(pujian yang menjerumuskan) menggunakan sastra yang tidak terhitung
jumlahnya, dinamakan sastra daun, daun dari buah pohon Budi dan pohon
Pengetahuan, dipetik dari sedikit, ditata dan dikumpulkan, lantas
dikarang untuk sastra, maka aksara China ribuan jumlahnya, Auliya China
dikutuk, sebab berkemauan membuat sastra hidup seperti buatan Gusti
Allah. Auliya Jawa memakan buah pohon Budi sampai kenyang, maka
mengarang aksara yang tidak terlalu banyak namun sudah bisa mencukupi
dan bunyinya tidak pelat. Auliya Belanda memakan buah pohon pengetahuan
sampai kenyang juga, sedangkan jumlah aksara yang dikarangnya ditetapkan
jumlahnya juga. Auliya Arab memakan buah pohon Kuldi banyak sekali.
Sedangkan aksara yang digunakan juga ditentukan jumlahnya. Akan tetapi
sastra buatan Gusti Allah, tercipta dari Sabda, maujud dengan
sendirinya, maka bunyinya jelas, sastranya tidak ada yang sama.
[9] Selengkapnya baca T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa sarta Latin. (Pantjawarna, Solo, 1959). Hal. 29
[11] Drs. Abu Ahmadi. Perbandingan Agama. Jilid I. Cetakan VII. (AB Sitti Syamsiyah, Surakarta, 1974). Hal. 48
[12] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Darmogandul
berkata, meminta keterangan tentang Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa yang
dikutuk oleh Tuhan, karena telah makan buah dari Kayu (pohon)
Pengetahuan yang ditanam ditengah taman Firdaus. Ada kitab lain yang
menerangkan bahwa yang dimakan oleh Nabi Adam dan Ibu Hawa adalah buah
Kuldi, yang ditanam di surge. Maka mohon diterangkan, kalau dikitab Jawa
bagaimana ceritanya, yang menyebutkan mengapa hanya Kitab Arab dan
Kitab agama Nasrani.
[15] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Kalau Kitab Jawa Tidak menyebutkan demikian.
Yang dimaksud adalah kitab Jawa tidak menyebutkan tentang Kisah Nabi
Adam dan Hawa memakan buah pohon pengetahuan sebagaimana ajaran Kristen
atau makan buah pohon Kuldi sebagaimana diklaim dalam Darmagandul
sebagai ajaran Islam.
[16] Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz I. (Terj. Drs. M. Thalib). (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 88
[17] Penulis
Darmogandul seolah-olah mendedikasikan kitabnya untuk membela agama
Budha dan ajarannya. Namun dalam banyak kesempatan agaknya sang penulis
Darmogandul kurang memahami ajaran Budha itu sendiri. Hal tersebut
terlihat dari pemaknaan Pohon Bodhi, konsep kedewaan, dan beberapa
konsep kehidupan lainnya yang justru berlawanan dengan doktrin pokok
dalam ajaran Budha.
[18] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48. Artinya : Yang
dinamakan agama Nasrani artinya sarana berbakti : benar-benar berbakti
kepada Tuhan, tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, Maka gelar
Gusti Kanjeng Nabi Isa adalah Putra Allah, karena Allah yang
mewujudkannya, demikian yang termaktub dalam kitab Ambiya.
[19] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 27. Artinya : cerita
dari Mesir, Beliau Nabi Dawud, putranya bernafsu menggantikan kekuasaan
sang ayah. Nabi Dawud sampai terdesak meloloskan diri keluar dari
Negara, Anaknya tersebut kemudian menggantikan sebagai raja, tidak
seberapa lama Nabi dawud kembali berhasil merebut negaranya. Anaknya
melarikan diri dengan mengendarai kuda menuju ke hutan. Kuda tersebut
berlari tanpa tentu arah tersangkut-sangkut kayu. Putra Nabi dawud
kepalanya menyangkut di kayu sampai terpotong menggantung dikayu. Itulah
yang dinamakan hukum Allah.
[23] Lihat 2 Samuel 18 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)
[26] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
[27] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[28] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
[29] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
[31] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
[34] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[35]
Syekh Siti Jenar merupakan tokoh kontrovesial yang eksistensinya
sebagai sosok historis masih dipertanyakan. Namun demikian sejumlah
pendapat menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas penyebaran ajaran
syi’ah dan sekaligus paham wihdatul wujud di Pulau Jawa. Menurut salah satu sumber dia memiliki nama asli Syeh Jabaranta dan pernah tinggal lama di Persia. Lihat MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo. (Amanah, Surabaya,tth). Hal. 139
[36] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[37] Buku
Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang
merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan
pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46-47
[46] Selengkapnya dapat dibaca Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1984). Hal. 49-50
[47] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49. Artinya : telah
sirna rasa cintaku keada anak. Sudah diberi kenikmatan makan tidur. Ada
gajah digertak seperti kucing, walaupun mati dalam tata lahir, namun
ingat-ingatlah suatu hari nanti, jika telah ada agama pengetahuan, maka
akan akau balas, akan kuajarkan benar dan salah, peraturan tentang
tatanegara, makan daging babi seperti jaman Majapahit.
[48] Lihat Kejadian 2:17 sebagai berikut : Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
[49] Lihat Kolonel Inf. R. Soegondo. Ilmu Bumi Militer Indonesia. Jilid II. (Pembimbing, Jakarta, 1954). Hal. 227
No comments:
Post a Comment