Showing posts with label Serat. Show all posts
Showing posts with label Serat. Show all posts

Monday, April 23, 2012

SERAT JAKALODANG


Rangga Warsita Basa Kadaton
Basa Kadaton Rangga Warsita

RONGeh jleg tumiBA
GAgaran santoSA
WARtane meh teKA
SIkara karoDA
TAtage tan kaTON
BArang-barang ngeRONG
SAguh tanpa raGA
KAtali kawaWAR
DAdal amekaSI
TONda murang taTA

Gambuh
Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor

SERAT SABDAJATI



R.Ng. Rangga Warsita
          
Megatruh
1.      Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, 
 MarGAne suka basuki,
 Dimen luWAR kang kinayun, 
 Kalising panggawe SIsip, 
 Ingkang TAberi prihatos.
Jangan berhenti selalu berusaha membangun budi pekerti luhur,   
menjadi jalan meraih kemuliaan hidup, 
Agar tercapai apa yang diinginkan, 
Terhindar dari mara bahaya,  
Caranya kuat dalam prihatin.
             ***

SERAT SABDATAMA


R.Ng. Ronggowarsito

Gambuh

Rasaning tyas kayungyun,  Angayomi lukitaning kalbu,  Gambir wana kalawan hening ing ati, Kabekta kudu pitutur,  Sumingkiring reh tyas mirong.

Hati serasa kuat berhasrat,  merengkuh kata hati nurani,  dengan keheningan kalbu, ingin menyampaikan nasehat, melenyapkan kotoran dalam hati.

Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon.

Perhatikanlah, di zaman Kala Bendu,  seyogyanya meredam gejolak nafsu, yang berakibat salah kaprah, “buah karya” perbuatan hina.

Tuesday, August 9, 2011

Serat Jayengbaya

Serat Jayengbaya adalah buku petuah / falsafah kehidupan yang dikarang oleh R. Ngabehi Rangga Warsita dan diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1988 dengan alih bahasa dan alih aksara L. Mardiwarsito. Buku ini dikarang oleh R. Ngabehi Ranggawarsita pada saat beliau berumur antara 20 sampai 28 tahun sewaktu menjadi carik Kadipaten Anom di Kasunanan Surakarta.

Buku serat ini menceritakan tentang seorang tokoh bernama Jayengbaya yang ingin mencari kebahagiaan dalam kehidupannya dengan cara melaksanakan tugas sebaik-baiknya, dengan mencari jabatan tinggi, dan mengejar kedudukan yang terhormat. Dalam usaha ini, 47 macam cara kehidupan telah dicobanya, tetapi tidak ada satupun yang cocok baginya, karena masing-masing cara kehidupan tersebut selalu ada yang mengandung kekurangan-kekurangan dan tidak ada satu pun yang sempurna. Akhirnya, Jayengbaya memutuskan untuk kembali menekuni cara kehidupannya yang semula, karena hal itulah yang dianggap paling baik baginya.

Asmaradana:

Kidung kadresaning kapti
Yayah nglamong tanpa mangsa
Hingan silarja jatiné
Satata samaptaptinya
Raket rakiting ruksa
Tahan tumaneming siku
Karasuk sakèh kasrakat.

Yang secara umum dapat diterjemahkan menjadi:

Inilah nyanyian tentang ketabahan hati
Seakan berkicau tanpa mengenal waktu
Tanpa mengenal batas kesusilaan dan keselamatan,
Oleh karenanya kita harus selalu waspada
dalam menghadapi hukum alam
dan kuat dalam mengendalikan emosi
dan dalam menghadapi penderitaan yang dialami.

Serat Kalathida

Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.

Latar belakang

Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah “zaman gila” atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau “pujangga terakhir”. Sebab setelah itu tidak ada “pujangga kerajaan” lagi.

Arti singkat

Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama ialah bait 1 sampai 6, bagian kedua ialah bait 7 dan bagian kedua ialah bait 8 sampai 12. Bagian pertama ialah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip. Bagian kedua isinya ialah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya ialah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.

Petikan

Bait Serat Kalatidha yang paling dikenal adalah bait ke-7. Sebab bait ini adalah esensi utama syair ini. Amanat syair ini bisa diringkas dalam satu bait ini.

Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

Menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
bagaimana akan mendapatkan bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Serat Jaka Lodang

Serat Jaka Lodang adalah syair/karangan dalam bahasa Jawa dari pujangga Rangga Warsita yang mengandung petuah akan adanya suatu zaman yang penuh dengan pancaroba.

Serat Jaka Lodang ini terdiri dari dua bagian: bagian pertama dalam bentuk gambuh dengan 3 bait/paragraf (masing-masing mengandung 5 baris) dan bagian kedua dalam bentuk sinom. …

Pada bagian kedua yang juga terdiri dari 3 bait (masing-masing mengandung 9 baris), terdapat petuah sebagai berikut (beserta terjemahan bebas bahasa Indonesianya):

Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira

Suatu waktu seluruh kehendak tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan akan berantakan,
apa yang dirancang menjadi gagal,
yang ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela,
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
lebih baik nama tercemar daripada bertanggung jawab (mati),
sedangkan yang kecil juga tidak mau tahu akan keterbatasannya.

Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira

Banyak orang yang alim, tetapi hanyalah bersifat hiasan saja,
diluar tampak baik (putih) tetapi di dalamnya kuning,
banyak ulama berbuat maksiat,
mengisap ganja, berbuat selingkuh, minum minuman keras, berjudi.
Banyak haji melemparkan,
dan melepas ikat kepala hajinya,
para wanita kehilangan kewanitaannya,
karena pengaruh harta benda,
semuanya itu hanya kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.

Para sudagar ingargya
Jroning zaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma

Di antara para saudagar dan pedagang,
hanya harta bendalah yang dihormati pada zaman itu,
seluruh isi dunia penuh dengan penderitaan,
kesengsaraan makin menjadi-jadi,
di tahun Jawa 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1) atau 1930 Masehi
yang akan menjadi tonggak sejarahnya.
Pada akhirnya penderitaan yang akan terjadi,
pada saat semua mulai bertobat dan menyerahkan diri,
kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati.