“Maka kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah
bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri,
dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka
kerjakan”. (Qs. Al Baqarah, 2: 79)
PENDAHULUAN
Tidak hanya satu atau
dua karya Kristen yang digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan
kitab suci Al Quran. Karya tersebut tidak jarang pula merupakan
perpanjangan tangan dari kepentingan Kristenisasi. Penyebarannya
meliputi kalangan umat Islam yang masih memiliki kondisi pemahaman
terhadap Islam secara terbatas. Misalnya, Gilchrist menyebutkan bahwa
pada era khalifah Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud menolak naskah Hafsah,
sedangkan Ibnu Mas’ud sendiri dikatakan memiliki naskah lain yang
berbeda.
[1] Kisah besutan ini seolah mencoba mengesankan hadirnya ”fakta” bahwa Al Quran memiliki ragam variasi.
Cerita tentang ”kasus Ibnu Mas’ud” ini
merupakan ”fakta buatan” cukup populer dalam sejumlah statemen
apologetik di dunia Kristen untuk memojokkan Islam. Awalnya, isu ”kasus”
ini merupakan bentuk pengembangan dari korpus orientalis yang
menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari keberadaan Surah An Nas dan Al
Falaq sebagai bagian dari Al Quran. Dengan berpegang pada pendapat ini
maka terciptalah ”ilusi” bahwa seakan-akan Al Quran memiliki sejumlah
versi berbeda. Faktanya, tidak ada perbedaan atau versi dalam Al Quran.
Jika pun ada, perbedaan yang pernah berkembang dalam sejarah Islam
terkait Al Quran tidak lain hanya perbedaan dialek yang digunakan dalam
membaca Al Quran, bukan masuk dalam ranah substansial.
Keberadaan ”kasus Ibnu Mas’ud” tersebut
tidak lain adalah pendustaan dan pemalsuan yang disandarkan kepada
pribadi Ibnu Mas’ud, seorang sahabat Nabi saw yang mulia. Surat An Nas
dan Al Falaq merupakan bagian dari Al Quran, dimana keduanya memiliki
penyebutan istimewa sebagai kedua surah ”mu’awwizatain” sejak
era Rasulullah saw. Proses kompilasi Al Quran tidak semata-mata
didasarkan kepada keberadaan naskah, namun lebih mengacu kepada tradisi
periwayatan. Secara sederhana, tulisan Al Quran didasarkan kepada riwayah.
Al Quran merupakan kitab yang terpelihara dalam hafalan hamba-hambanya
yang shalih, sehingga bila terjadi sedikit saja kesalahan atau
penyimpangan penulisan maka dengan mudah dapat diketahui. Tradisi
menghafal Al Quran ini telah berkembang sejak era Rasulullah saw hingga
hari ini, bukan sekedar sejak Al Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf.
Kristen Barat umumnya menutup mata terhadap eksistensi penghafal Al
Quran ini. Bahkan tradisi periwayatan ini masih berkembang pula hingga
hari ini di sejumlah negara berpenduduk Islam.
Statemen-satetemen lain yang serupa
dengan Gilchrist tentang Al Quran, umumnya telah dijawab dengan baik
oleh sejumlah sarjana muslim. Menariknya Gilchrist kemudian
membandingkan ”fakta semu” tentang Al Quran tersebut dengan proses
kompilasi Bible, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ia
menyatakan bahwa Bible, dalam hal ini ia menggunakan King James Revised Standar Version
merupakan kitab yang terpelihara karena merupakan bentuk terjemahan
dari Kitab asli Bahasa Yunani. Ia mengemukakan bahwa terdapat sekitar
4000 naskah dalam Bahasa Yunani yang ditulis tidak kurang dari tahun 200
sebelum masa Muhammad. Kedua, ia menyebutkan bahwa tidak pernah terjadi
perubahan materi dalam bentuk apapun dalam struktur, ajaran, ataupun
doktrin dalam Bible. Ketiga, tidak ada naskah-naskah terjemahan tersebut
tidak merupakan sebuah wujud perbedaan versi. Hakikatnya Bible, menurut
Gilchrist tidak pernah mengalami perubahan dengan cara apa pun, tetap
murni, dan utuh.[2]
Tulisan ini akan mencoba melihat secara
mendalam argumentasi yang sejenis terutama ditujukan untuk mencermati
proses kompilasi Bible. Hal ini penulis maksudkan bukan untuk
berkonsentrasi kepada buku yang tidak mencantumkan identitas
pengarangnya secara jelas tersebut. Namun lebih sebagai upaya untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim yang menjadi target bagi
penyebaran tulisan yang bersangkutan. Umumnya mereka memiliki tingkat
pemahaman Islam yang awam dan mudah terombang-ambing menjadi korban
disinformasi. Penulis berharap tulisan ini akan memberi sedikit
sumbangan wawasan bagi para da’i yang bergerak dalam kalangan tersebut.
Umat Islam harus terus diarahkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam
dan tidak seharusnya terjebak dengan propaganda menyesatkan.
FAKTA BERBICARA
Secara umum kitab suci yang digunakan oleh umat Kristen memang menghadapi problem sejak awal, baik Perjanjian Lama (Old Testament) yang merupakan “warisan” dari kaum Yahudi (Hebrew Bible) maupun Perjanjian Baru (New Testament).
Kitab-kitab yang ada saat ini umumnya merupakan salinan dan terjemahan
dari sebuah ”naskah asli”. Justru, problem mendasarnya adalah ”naskah
asli” tersebut tidak pernah diketemukan. Sehingga perlu upaya yang lebih
mendalam untuk memulihkan ”naskah asli” tersebut. Upaya pemulihan
”naskah asli” itu sendiri pada akhirnya hanya bertumpu pada proses yang
sepenuhnya bersifat spekulatif. Hal ini terungkap sebagai berikut:
Roh Kudus tetap
memimpin Geredja Kudus, biarpun tidak seperti menjolok didalam Geredja
purba. Tidak mungkin Ia membiarkan Kitab Kudus jang diselenggarakanNja
guna mendjadi dasar pengadjaran dan pemimpinan Geredja untuk
selama-lamanja, tidak tetap terpelihara utuh dan murni, salah
ditafsirkan atau disalahgunakan sehingga dapat mendjadi pokok kesesatan.
Untuk itu djabatan pengadjaran Geredja jang resmi tetap dipimpin oleh
Roh Kudus.
Kalau dikatakan,
bahwa Kitab Kudus bebas dari kechilafan, hal ini memang mengenai
naskah-naskah asli sadja. Tetapi naskah-naskah asli itu belum satupun
ditemukan. Jang diturunkan kepada kita, ialah salinan-salinan dan
terdjemahan-terdjemahan dari naskah-naskah asli itu. Salinan-salinan
dari abad kedua sampai abad kelima sudah ratusan ditemukan. Tetapi hanja
beberapa jang lengkap. Dari kebanjakan karangan tersimpan sebahagian
sadja.
Salinan-salinan itu
umumnja tidak dikerdjakan dengan ketelitian jang kita idamkan, tetapi
perbedaan antaranja djarang mengenai isi, melainkan mengenai bahasanja. Dengan membandingkan segala salinan satu dengan jang lain, para ahli telah berhasil hampir-hampir memulihkan jang asli. Dalam pekerdjaan itu digunakan djuga terdjemahan dalam pelbagai bahasa jang dikerdjakan dalam abad-abad pertama sedjarah Geredja. [3]
Permasalahan utamanya, sulit ditemukan
suatu otoritas yang mampu menjamin kebenaran dari proses pemulihan
tersebut. Apalagi jika mengaca pada kondisi “naskah asli” yang tidak
terpelihara dengan baik. Dr. C. Groenen, seorang pakar theologi Kristen,
mengungkapkan proses penyalinan kitab tersebut sebagai berikut:
Semua naskah aseli
yang ditulis oleh penulis suci tidak terpelihara bagi kita. Berabad-abad
lamanya naskah-naskah itu disalin dengan tangan (percetakan memang
belum ada). Dengan disalinnya naskah-naskah itu banyak kesalahan
menyusup. Memang sulit menyalin sesuatu tanpa salah. Coba saja anda
menyalin satu halaman sebuah buku, lalu periksalah berapa kesalahan
menyusup. Dalam menyalin Alkitab ada kesalahan yang kebetulan
saja terjadi, tetapi ada juga yang sengaja dibuat atas dasar macam-macam
pertimbangan. Salah satu sumber kesalahan juga bahwa cara
menulis dan bentuk huruf dahulu berbeda dengan yang kemudian. Lalu
bentuk kuno dialihkan ke dalam bentuk baru dan boleh jadi penyalin
keliru, sebab tidak tahu lagi bentuk huruf lama. Ada juga huruf-huruf
Ibrani yang sangat serupa satu sama lain, sehingga penyalin mudah
keliru. Meskipun orang Yahudi mesti dipuji karena ketelitiannya dalam
menyalin Kitab Kudusnya, namun masih banyak kesalahan menyusup. Ternyata
Tuhan tidak menjaga supaya Kitab Suci terpelihara secara utuh sempurna.
Penyalin-penyalin tidak mendapat pertolongan khusus.[4]
Kesulitan pemulihan teks itu sendiri pada
akhirnya sulit mendapatkan jalan keluar. Proses-proses yang terjadi
dalam penyalinan Bible sangat kompleks, tidak sesederhana yang dikira.
Kesalahan-kesalahan penyalinan paling awal dari sebuah teks pada
akhirnya diwariskan dalam teks-teks selanjutnya. Melacak kembali
”bentuk” semula dari ”kitab suci” dengan memanfaatkan jejak-jejaknya
sudah tentu bukan hal yang mudah. Apalagi jika jejak utamanya telah
terhapus dalam kurun masa yang sulit diperkirakan. Dr. Th. Vriezen
mengemukakan masuknya sejumlah tambahan atau sisipan ke dalam ”kitab
Suci” yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia, sebagai berikut:
Ada beberapa
kesulitan yang harus kita hadapi kalau kita mau membahas bahan sejarah
Perjanjian Lama secara bertanggung-jawab. Sebab yang utama ialah bahwa
dalam proses-sejarah ada banyak sumber2 kuna itu yang diterbit-ulang
atau yang diredaksi (yaitu diolah kembali oleh penyadur). Proses
penyaduran turun temurun itu ada untung-ruginya. Salah satu untung
ialah bahwa sumber2 kuna itu dipertahankan dan tidak menjadi hilang atau
terlupakan. Tetapi ada ruginya juga, yaitu adanya banyak penambahan dan
perubahan yang tahap demi tahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga
sulit sekali sekarang untuk menentukan, bagian manakah dalam naskah2
historis itu yang bersifat original (asli), dan bagian manakah yang
merupakan sisipan2 kemudian. Dalam tugas mem-beda2kan lapis
itu, teknik2 riset kesusasteraan dapat membantu kita. Tetapi metode2
yang dipakai dalam riset itu tidaklah mutlak dan tidaklah gampang
dipakai; itu berarti bahwa proses pemeriksaan dan penyelidikan bahan2
yang dari jaman kuna itu memerlukan ketelitian dan waktu yang cukup
banyak.[5]
Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas Dr. C. Mulder mengungkapkan adanya kesalahan dalam proses penyalinan sebagai berikut:
Naskah2
asli dari Kitab Sutji itu sudah tidak ada lagi. Jang ada pada kita hanja
turunan atau salinan. Dan salinan itupun bukannja salinan langsung dari
naskah asli, melainkan salinan dari salinan dari salinan dan
seterusnya. Sering didalam menjalin Kitab Sutji itu terseliplah
salah-salin. Bagaimanapun djuga text atau naskah Kitab Sutji itupun ada
sedjarahnja, maka dalam menjelidiki terdjadinja Kitab Sutji ilmu
pembimbing sepatutnja djuga mengupas sedjarah naskah itu.[6]
Prof. H. H. Rowley, pakar Kristen
lainnya, mengungkapkan proses kanonisasi Bible secara lebih kronologis.
Kumpulan paling awal dari Perjanjian Lama yang dianggap sebagai ”suci”
adalah Pentateuch. Namun waktu terbentuknya Pentateuch hingga
mencapai bentuk seperti hari ini, tidak pernah diketahui. Mungkin
sebelum abad ke 4 SM, Pentateuch telah menemui sebuah bentuk tertentu.
Kitab-kitab yang ada di dalamnya sudah pasti dinyatakan sebagai ”suci”
pada sekitar permulaan abad II SM. Salah satunya adalah kitab Yesus bin
Sirakh, yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai bacaan apokripa.
Pada akhir abad I M, para Rabbi Yahudi berkumpul di Yamnia untuk
membicarakan bagian mana sajakah kitab-kitab tersebut yang harus
dianggap bacaan suci. Inti pembicaraannnya kemudian mengarah pada kitab
Yehezkiel dan Kidung Agung. Dalam naskah-naskah tertua Perjanjian Lama
yang saat ini diterima oleh kekristenan, terdapat beberapa kitab
tambahan yang tidak termaktub dalam Perjanjian Lama Ibrani. Hal ini
terjadi karena Kristen hanya menerima begitu saja kitab tersebut dari
umat Yahudi. Namun penerimaan tersebut sebenarnya tidak memiliki bukti
bahwa kitab-kitab tersebut telah diterima secara kanonik oleh para Rabbi
dari Yamnia. Lambat laun kitab-kitab tambahan tersebut diterima sebagai
bagian dari Bible. Tetapi proses penerimaaan tersebut tidak terjadi
secara aklamasi dan tidak semua gereja mau mengakuinya pada saat itu
juga. Pada abad XVI M, dalam Konsili Triente, Gereja Katholik menerima
kitab-kitab ini sebagai Kanonik, namun terdapat pula orang-orang yang
menolak. Rowley juga menekankan bahwa selama proses penyalinan tangan
yang terjadi antar generasi, banyak menghasilkan kesalahan penyalinan.
Perbedaan antar naskah sudah menjadi konsekuensi logis akibat proses
penyalinan yang bersifat demikian. Sampai saat ini, menurut Rowley,
naskah utama tertua Perjanjian Lama versi bahasa Ibrani yang digunakan
sebagai acuan penulisan kitab suci, hanya berasal dari naskah abad X
Masehi atau bahkan dari masa selanjutnya. Sedangkan pasca penemuan
naskah di Gua Qumran, terdapat beberapa naskah Perjanjian Lama yang
umumnya tidak lebih tua dari abad I M.[7]
KANONISASI PERJANJIAN BARU
Sebagaimana halnya dengan kitab
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru juga memiliki perjalanan kesejarahan
yang hampir serupa dalam proses pembentukannya. Perjanjian Baru telah
mengalami sejarah yang cukup panjang mulai dari proses penulisan,
pengumpulan, hingga penetapan. Kitab ini baru ditulis dan dihimpun pada
masa yang jauh setelah kehidupan Yesus. Bahkan boleh dikatakan bahwa
baru ditulis setelah jamaah Kristen mula-mula muncul. Karangan-karangan
yang membentuk Perjanjian Baru tidak serta merta dikenal dan diterima
umat Kristen sebagai kitab suci.[8]
Naskah-naskah yang digunakan sebagai acuan oleh umat Kristen umumnya
juga bukan berasal dari teks awal yang ditulis para pengarang Injil,
melainkan hanya didasarkan pada teks-teks turunan saja. Teks awal telah
hilang sehingga kebenaran penyalinan tersebut tidak dapat diverifikasi
pada masa selanjutnya. Salah satu bagian Injil Yohannes berasal dari
masa yang tidak lebih tua dari abad ke-2 M. Naskah-naskah lainnya
berasal dari abad ke – 4 dan ke-5 M.[9]
Penulis karangan-karangan dalam Injil
tersebut umumnya tidak pernah diketahui secara pasti identitasnya. Sebab
mereka bukan para murid Yesus dan tidak pernah secara langsung
mendapatkan pengajaran darinya. Para penulis tersebut umumnya hanya
merupakan generasi belakangan yang memanfaatkan sumber dari sejumlah
tradisi yang berkembang. Tidak mengherankan jika Bambang Noorsena, tokoh
Kristen Orthodoks Syria, mengungkapkan adanya “kebingungan” para ahli
tentang Perjanjian Baru, misal pernyataan dalam footnote bukunya bahwa
Surat Ibrani awalnya diduga ditulis oleh Rasul Paulus, tetapi para ahli
pada masa sekarang ini telah meninggalkan pendapat itu dan menyetujui
bahwa surat ini ditulis oleh orang lain yang mempunyai latar belakang
Yahudi.[10]
Footnote Bambang Noorsena ini sejalan dengan tulisan Dr. C. Groenen,
pakar theologi. Awalnya Kitab Ibrani yang tidak diketahui identitas
pengarangnya ini memang tidak dianggap sebagai kitab suci. Surat Ibrani
ini hanya dianggap sebagai karya sastra atau prosa yang berwibawa saja,
bukan bagian dari bacaan suci. Baru sekitar tahun 200 M, Patenus,
seorang pujangga gereja di Alexandria mengakui bahwa Ibrani merupakan
kitab suci karangan Paulus. Dasar yang digunakan oleh Patenus dalam
penetapan tidak jelas hingga hari ini. Sekitar 225 M, Origenes
menyebutkan bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui penulis Ibrani. Namun
meskipun demikian sampai tahun ini, Ibrani belum pasti apakah dianggap
masuk sebagai kitab suci atau tidak. Hingga tahun 330 M, umat Kristen
kawasan timur menerimanya sebagai kitab suci karangan Paulus. Namun
demikian sampai sekitar 400 M, Hieronimus masih mengetahui bahwa
orang-orang Roma tidak bersedia menganggap Ibrani sebagai kitab suci dan
karangan Paulus. Hieronimus sendiri menerimanya sebagai kitab suci
meskipun meragukannya sebagai karangan Paulus. Kemudian baru pada abad
kelima, Ibrani diterima umum sebagai kitab suci karya Paulus. Namun
keyakinan ini mulai diragukan dengan datangnya era Reformasi pada abad
keenam belas. Tradisi yang menganggap Ibrani sebagai karangan Paulus
ternyata sangat lemah dan tidak didukung oleh karangan itu sendiri.
Karangan ini sebenarnya lebih dekat pada tradisi Yohanes dibandingkan
tradisi Paulus. Mengingat kehalusan bahasa dan kemahiran mengarang bisa
dipastikan penulisnya sangat menguasai dan hidup dalam kebudayaan
Yunani. Penulis Ibrani juga diyakini sangat menguasai Perjanjian Lama
dalam Bahasa Yunani, sehingga disimpulkan bahwa ia pastilah seorang
Kristen keturunan Yahudi.[11]
Dengan mencermati proses penulisan dan
pengumpulan serta penetapannya sebagai kitab suci maka tidak ragu lagi
bahwa Injil merupakan kitab yang tidak bisa tidak sulit dilepaskan dari
suatu kebudayaan yang melingkupinya. Contoh lain yang membuktikan
masuknya ”proses kebudayaan” adalah terkait pemunculan dalil trinitas
dalam Perjanjian Baru, kitab umat Kristen. DR. C. Groenen OFM, seorang
teolog Kristen (Katholik), mengungkapkan bahwa dalil mengenai trinitas
merupakan ayat-ayat yang ditambahkan kemudian pada abad IV M setelah
umat Kristen mengalami perdebatan panjang seputar eksistensi trinitas.
Jadi merupakan sebuah hal yang baru dan bukannya final sejak masa Yesus.
Ini membuktikan bahwa Agama Kristen merupakan agama sejarah yang
terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan lama,
termasuk dalam diskursus pembentukan basic konseptual
ketuhanannya. Oleh karena itulah maka juga dapat disebut sebagai agama
budaya. Hal tersebut diungkapkan secara lugas dan jelas oleh DR. C.
Groenen OFM sebagai berikut :
Di zaman umat
Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa
dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan
dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan dalam alam pikiran filsafat
dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan
dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu ialah yang
lazim disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5:7 menurut Vlg.). Sejak abad IV
nas itu muncul, mula-mula di daerah negeri Spanyol. Nas itu menyusup ke
dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan
Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke
dalam Bahasa Yunani dan disisipkan juga ke dalam naskah-naskah Yunani.
Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari zaman belakangan.[12]
Dalam catatan kakinya, Dr. C. Groenen
menambahkan bahwa hanya ada 3 (tiga) naskah Yunani yang memuat teks I
Yohanes 5:7. Teks itu pun baru dibuat selama abad XIV dan XVI M.
Congregatio S. Officili pada tanggal 13 Januari 1897 pernah
mempertahankan ayat I Yohanes 5:7 sebagai asli. Tetapi keputusan
tersebut dicabut kembali pada tanggal 2 Juni 1927.[13]
Namun belakangan ini Perjanjian Baru, termasuk yang beredar di
Indonesia, memuat kembali penambahan teks I Yohannes 5: 7 yang
sebelumnya pernah dihapuskan dari gereja. Hal ini sudah tentu karena
gereja membutuhkan dalil tersebut sebagai legitimasi atau sebenarnya
justifikasi keyakinan yang dimilikinya, walaupun hakikatnya bisa
dibuktikan hanya merupakan dalil buatan dan hasil perumusan semata.
Perlu ditegaskan bahwa doktrin trinitas merupakan jantung utama paham
Kristianitas. Namun ternyata ajaran tersebut hanya merupakan paham yang
didukung oleh ayat-ayat “buatan” pada masa-masa kemudian. Selain itu
banyak ayat-ayat lain dalam Bible yang telah dibuktikan oleh teolog
sebagai ayat-ayat tambahan yang sepenuhnya “baru”.
Ayat yang seringkali digunakan sebagai
dasar paham trinitas yaitu Surat Kiriman Yohanes Pertama (I Yohannes)
Pasal 5 ayat 6-8 dalam edisi Indonesia berbunyi sebagai berikut:
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.[14]
Penggunaan tanda kurung dalam kedua ayat
tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ayat tersebut palsu. Artinya ayat
tersebut baru ditambahkan kemudian pada era-era terakhir. Hal ini bisa
dibuktikan dengan melakukan perbandingan versi Bible yang lain, misalnya
The Holy Bible Contemporary English Version yang berbunyi :
5:6 Water and blood
came out from the side of Jesus Christ. It wasn’t just water, but water
and blood. The Spirit tells about this, because the Spirit is truthful.
5:7 In fact, there are three who tell about it.
5:8 They are the Spirit, the water, and the blood, and they all agree.[15]
The Holy Bible Contemporary English Version
ini bukannya satu-satunya versi yang memiliki perbedaan dengan Bible
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Versi tanpa penambahan
atau perubahan, juga bisa dibaca dalam The Holy Bible New International Version[16] dan The Holy Bible Today’s English Version[17].
Lantas, mengapa terdapat versi yang berbeda dalam ayat-ayat yang
dianggap sebagai dalil tentang trinitas tersebut ? Tokoh Gereja yaitu
Dr. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland menyatakan :
“Di dalam Alkitab tidak diketemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “tritunggal” atau suatu ayat
tertentu yang mengandung dogma tersebut. Alasan, yang menimbulkan dogma
itu, mungkin terdapat dalam I Yohanes 5 : 6-8. Tetapi sebagian besar
dari ayat-ayat ini agaknya belum tertera dalam naskah aslinya. Bagian
itu setidak-tidaknya harus diberi kurung.“[18]
Dari tulisan kedua tokoh gereja di atas dapat diketahui bahwa tambahan kalimat “Bapa, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu”
pada kitab Yohanes yang menunjuk kepada 3 (tiga) oknum trinitas,
sebenarnya adalah suatu bentuk pengubahan dan penambahan terhadap kitab
yang dianggap suci atau dengan kata lain adalah pemalsuan teks kitab.
Perbuatan ini sudah tentu dilakukan oleh para penginjil dari era
belakangan yang memerlukan “dalil” tegas bagi apa yang mereka percayai,
sebuah dalil buatan. Terkait ayat di atas tokoh Kristen terkemuka
Amerika, Jerry Falwell, bahkan secara terbuka dan terang-terangan
mengungkapkan bahwa ayat 7 dan 8 dari I Yohanes adalah tidak original
dan bukan wahyu (firman Tuhan). Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
“The rest of verse 7
and the first nine words of verse 8 are not original, and are not to be
considered as a part of the words of God.”[19]
Artinya :
“ Kalimat terakhir
ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli
(orisinal) dan tidak bisa dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
Meskipun menyadari bahwa ayat 1 Yohanes
5: 7-8 tersebut hanya merupakan ayat tambahan untuk menegaskan bahwa
dalil adanya trinitas, Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland masih
mencoba berkilah. Ia menyebutkan bahwa ajaran ketritunggalan tidak
tergantung kepada satu ayat saja. Termasuk istilah “Allah Anak” tidak
hanya mengandalkan kepada Markus 1: 1 yang ternyata juga merupakan
“sisipan”.[20]
Buku “Dogmatika Masa Kini” karya kedua doktor tersebut menguraikan
bahwa dalam 1 Korintus 12 : 4-6 dan Efesus 4: 4-6, Paulus berbicara
sekaligus tentang Roh, Kyrios (Tuhan Yesus), dan Allah Bapa. Demikian
juga dalam pembaptisan Yesus oleh Yohanes terdapat hubungan khusus
antara Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Allah Bapa (Markus 1: 10). Hal ini
menurut mereka, juga berlaku pada ayat-ayat seperti Yohanes 14:25-26 dan
15:26 dan seterusnya.[21]
Terkait masalah tersebut telah banyak
sarjana yang mencoba menjelaskannya. Berdasarkan kajian yang dilakukan
oleh M. Hashem menyebutkan sejumlah atribut-atribut ketuhanan memang
telah disematkan pada diri Yesus Kristus terutama selama kekristenan
berinteraksi dengan sejumlah kepercayaan pagan. Ketika Yesus
dipersaingkan dengan Adonis, maka Yesus diberi gelar Kurios atau Kyrios,
sebagaimana dalam 1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 yang dicantumkan
oleh Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland sebagai ayat yang
mendukung dalil trinitas yang lain. Ketika menghadapi Dewa Molokh
(=raja) maka Yesus kemudian diberi gelar Raja. Ketika dihadapkan dengan
Attis sebagai anak tunggal Bapa dengan Ibu Tuhan Cybelle maka Yesus
kemudian diberi sebutan Anak Tunggal. Demikian juga gelar Anak Sulung
merupakan gelar yang diberikan kepada Yesus dengan mengacu bahwa hanya
anak sulung sajalah yang akan dikorbankan kepada Dewa Baal dan Molokh.
Unsur-unsur pemberian gelar inilah yang menurut Hashem merupakan
penyebab bahwa akhirnya Yesus menjadi “Tuhan sebenar-benarnya Tuhan”.[22]
Istilah Kyrios sebagaimana digunakan oleh
1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 terhadap pribadi Yesus dalam
kaitannya dengan Roh Kudus dan Allah Bapa, sebenarnya memiliki makna
sekedar sebagai Tuan (Lord, Heer), jadi bukan “Tuhan”. Hanya saja istilah tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani (Yahudi) maka akan menjadi kata Adonai, suatu istilah yang hanya diterapkan pada Yehovah, Tuhan dalam agama Yahudi.[23]
Berawal dari sinilah kekacauan penyebutan “Tuhan” terhadap pribadi
Yesus itu terjadi. Seharusnya adalah “Tuan Yesus”, bukan “Tuhan Yesus”.
Terkait masalah pengartian tersebut,
kesalahan yang terjadi nampaknya memang sengaja dipelihara pada masa
berikutnya tanpa pelurusan. Hal ini diungkapkan dalam pengantar sebuah
Injil yang diterbitkan di Ende Flores sebagai berikut :
Djadi, sebenarnja
lebih tepat, kalau kita menterdjemahkan ”kyrios” mengenai Kristus dengan
”Tuan”. Tetapi kami segan berbuat demikian sebab ”Tuhan” sebagai
gelaran Kristus sudah terlalu umum dalam bahasa agama kita …[24]
Perjanjian Baru, dalam sejumlah tempat
tidak jarang dalam penulisannya mendapatkan inspirasi dari Perjanjian
Lama. Sejumlah ayat Perjanjian Baru menggambarkan bahwa eksistensi Yesus
dan perilakunya merupakan penggenapan terhadap ayat-ayat nubuatan yang
ada dalam Perjanjian Lama. Misalnya saja, kitab Perjanjian Baru Matius
12: 16-20 menceritakan bahwa Yesus dianggap merupakan penggenapan dari
Perjanjian Lama Yesaya 42: 1-4. Ungkapan-ungkapan serupa yang mencoba
menghubungkan Perjanjian Baru dengan Perjanjian Lama ini banyak terdapat
dalam Bible. Bisa dipastikan bahwa pengarang Perjanjian Baru telah
merujuk kepada kitab Perjanjian Lama dalam proses penulisannya. Namun
demikian kadangkala, tulisan dalam Perjanjian Baru hanya melakukan klaim
saja bahwa Yesus penggenapan dari nubuatan Perjanjian Lama. Sebagai
contoh, dalam Lukas 24: 44-46 disebutkan perkataan Yesus sebagai
berikut:
24:44 Ia berkata
kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu
ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi
semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab
nabi-nabi dan kitab Mazmur.”
24:45 Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.
24:46 Kata-Nya
kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan
bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga,[25]
Konsepsi mengenai penderitaan Mesias dan
kebangkitan dari kematian pada hari ketiga merupakan salah satu ajaran
penting dan mendasar dalam kekeristenanan. Keberadaannya seringkali
dihubungkan dengan konsepsi mendasar lainnya yaitu tentang penebusan
dosa. Berdasarkan makna harfiah Lukas 24: 44-46 maka konsepsi
penderitaan Mesias dan kebangkitan pada hari ketiga tersebut merupakan
penggenapan secara langsung dari nubuatan dalam Taurat Musa, Kitab para
Nabi, dan Mazmur. Baik taurat, kitab para Nabi, dan mazmur merupakan
unsur yang tersusun dalam Perjanjian Lama.
Hanya saja konsepsi penderitaan Mesias
dan kebangkitan pada hari ketiga sebagaimana termaktub dalam kitab Lukas
tersebut jelas tidak akan dapat diketemukan di bagian manapun
Perjanjian Lama, baik Taurat Musa, kitab para nabi, maupun Mazmur.
Fenomena menarik ini sempat mengemuka dalam suatu dialog Islam-Kristen
yang terjadi pada Kamis, 19 Juni 2003 di Masjid Ad Dakwah Rewwin Waru,
Sidoharjo, Jawa Timur. Pihak Islam diwakili oleh Masyhud SM, seorang
kristolog muslim, menanyakan kepada Pendeta Hany Sumali, SH, M.Com,
Ketua Yayasan Kristen Orthodoks Syria, tentang darimana asal-usul ayat
Injil Lukas tersebut mendapat inspirasi dari Perjanjian Lama. Pertanyaan
tersebut tidak dapat terjawab pada hari itu juga. Dua minggu
selanjutnya, Masyhud SM mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama
kepada Pendeta Hany Sumali, namun pendeta tersebut tetap tidak mampu
menjawabnya. Akhirnya Masyhud memberikan closing statement terhadap pertanyaannya sendiri dengan menyatakan: “Jangankan
anda yang baru jadi pendeta, pakar-pakar Alkitab seluruh Indonesia,
bahkan seluruh dunia tidak akan menemukan jawabannya”.[26]
Dr. B. M. Schuurman, akademisi yang
karyanya menjadi salah satu rujukan Bambang Noorsena, mengakui bahwa
kitab suci agama Kristen merupakan karangan manusia, yang pada saat yang
sama juga menjadi karya dari Roh Kudus sebagai persaksian terhadap
keberadaan Yesus Kristus.[27]
Konsepsi tentang pengilhaman roh kudus ini, bukannya tidak terlepas
dari problemnya sendiri. Sejumlah teolog Kristen telah sejak awal
menyadari bahwa terdapat banyak pertentangan yang paradoks dalam
sejumlah substansi Bible. Pandangan beberapa theolog, kadangkala
menyiratkan gagasan-gagasan yang problematis yang menunjukkan bahwa
seolah ”Roh Kudus” hanya mampu memberikan ilham dalam proses pembentukan
Bible namun gagal menjaganya dari ’penyimpangan’ yang terjadi pada
”masa selanjutnya”. Jawaban-jawaban apologetik sering mengemuka untuk
mempertahankan rumusan tersebut. Di antaranya adalah ungkapan yang dari
Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland, akademisi Kristen, sebagai
berikut :
”Kita tidak usah
merasa malu, bahwa terdapat pelbagai kekhilafan di dalam Alkitab :
kekhilafan-kekhilafan tentang angka-angka, perhitungan-perhitungan,
tahun dan fakta. Dan tidak perlu kita pertanggungjawabkan
kekhilafan-kekhilafan itu berdasarkan caranya isi Alkitab telah
disampaikan kepada kita, sehingga dapat kita berkata : dalam naskah asli
tentulah tidak terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi
kekhilafan-kekhilafan itu barulah kemudiannya terjadi di dalam
turunan-turunan (salinan-salinan) naskah itu. Isi Alkitab, juga dalam
bentuknya yang asli, telah datang kepada kita ”dengan perantaraan
manusia” (Calvin). Roh Kudus tidak mematikan manusia untuk membuat dia
menjadi suatu alat yang tak berkehendak …[28]
Dalam perjalanan kesejarahan pertemuannya
dengan Islam, telah lahir kekhawatiran tersendiri dalam tubuh
kekristenan. Pada abad ke-17 misalnya, muncul aliran “orthodoks” dalam
Kristen yang sangat mungkin terpengaruh oleh pandangan terhadap Al Quran
dalam agama Islam. “Ilham” oleh aliran ini diartikan sebagai berikut:
bahwa roh kudus telah mengimlakkan atau mendiktekan kepada
penulis-penulis Alkitab, apa yang harus mereka catat.[29]
Namun pemahaman ini akhirnya menjadi buah simalakama tersendiri menilik
kandungan Bible yang menyimpan kontradiksi yang paradoksal dalam form
maupun substansinya. Islam di satu sisi memiliki standar penilaian
terhadap sumber kebenaran yang terlalu tinggi, sehingga jika “standar
Islam” ini diterapkan kepada Bible maka niscaya secara keseluruhan isi
kitab ini akan tertolak, tidak dapat digunakan sebagai dalil maupun
argumentasi. Belum lagi posisi Bible berhadapan vis-a-vis
dengan “Ilmu Pengetahuan”, nyatanya juga lebih banyak tidak
menguntungkan pihak gereja. Dalam proses-proses inilah budaya juga turut
memainkan peranannya, termasuk dalam menjaga jarak antara dunia dengan
institusi gereja maupun kekristenan.
KOMPARASI BIBLE DAN HADITS
Beberapa tokoh seringkali membandingkan
bahwa cerita-cerita Bible dari segi periwayatannya memiliki
karakteristik yang paralel dan sederajad dengan tradisi hadits dalam
ajaran Islam. Dr. Maurice Bucaille, misalnya, menyatakan bahwa Bible
memiliki persamaan dengan hadits, sebab keduanya memuat kisah-kisah
tentang Nabi dan orang shalih beserta ajarannya. Perjanjian Baru juga
mirip dengan hadits sebab ditulis oleh orang-orang beberapa puluh tahun
setelah wafatnya Isa.[30]
Pendapat Dr. Bucaille yang hanya ditinjau dengan mengacu pada sejumlah
segi penyamaan yang bersifat fenomenologis saja, sudah tentu terlalu
berlebihan, sebab hadits jelas tidak bisa dibandingkan dengan Bible.
Terdapat sejumlah perbedaan mendasar yang sulit dipertemukan antara
kedua entitas tersebut. Beberapa penulis muslim juga sering memberikan
perbandingan antara ayat-ayat Bible dan hadits. Dikatakan bahwa Bible
setara dengan hadits maudlu’ (hadits palsu), kalaupun mungkin hanya akan mencapai derajad hadits dha’if (hadits lemah).[31]
Sebagian ulama berpendapat, dalam kasus hadits yang lemah karena
perawinya sudah tua sehingga terkendala dengan hafalan yang menurun
karena usia, derajadnya bisa menjadi hadits hasan (baik) jika
terdapat kondisi bahwa terdapat perawi lain yang memiliki kondisi sama
yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Sehingga hadits tersebut
dikenal sebagai hadits hasan li ghairihi artinya hadits
tersebut bernilai baik karena ditopang dan dikuatkan oleh keberadaan
hadits yang lain. Akan tetapi ayat-ayat Bible tidak akan pernah dapat
mencapai tingkatan derajad yang demikian. Sebab sejak awal memang tidak
memiliki tradisi pengujian keshahihan yang terpercaya.
Jika dengan hadits dha’if saja tidak
memenuhi standar sehingga dapat disejajarkan, maka apatah lagi jika
dikomparasikan dengan Al Quran. Keberatan utama muslim adalah terkait
dengan keabsahan sumber yang berasal dari Bible ketika disejajarkan
dengan nash Al Quran. Standar kebenaran sumber dalam Islam yang paling
utama adalah mengandalkan sumber dari khabar shadiq. Khabar shadiq ini pun memiliki tingkatan-tingkatan, dimana yang tertinggi adalah mutawatir. Sedangkan derajad Al Quran adalah dari khabar shadiq yang mutawatir.
Sedangkan hadits memiliki derajad yang berbeda-beda. Sebagiannya juga
mencapai derajad khabar shadiq yang mutawatir tersebut. Lawan dari
khabar shadiq adalah khabar kadzib (berita dusta). Beberapa hadits sengaja diciptakan oleh orang-orang belakangan sehingga menempati kedudukan sebagai khabar kadzib
sebab tidak berasal dari perkataan Rasulullah dan memiliki konsekuensi
hukum tersendiri yang tidak sesuai dengan Al Quran dan As shunnah.
Seringkali kalangan muslim menyebut khabar ini sebagai “hadits palsu”
yang maknanya, bukan hadits dalam arti sebenarnya.
Hadits memiliki sistem verifikasi
validitas yang sangat ketat. Sebenarnya, hadits palsu bahkan derajadnya
adalah lebih tinggi dari Bible, sebab hadits palsu (hadits maudlu’)
terkadang masih memiliki sejumlah informasi yang menyebutkan jalur
periwayatan tertentu yang bisa dirunut beserta pengenalan terhadap
jalur-jalur tersebut. Sedangkan Bible termasuk bagian Perjanjian Barunya
sama sekali tidak memiliki metode telaah yang bersifat demikian.
Penisbatan suatu kitab terhadap penulis tertentu dari Bible, umumnya
hanya disandarkan pada sejumlah teori yang bersifat spekulatif dan masih
memiliki peluang untuk diperdebatkan. Sebut saja misalnya Pentateuckh,
kebanyakan umat Kristiani menganggap kelima kitab tersebut merupakan
karya dari Musa. Akan tetapi tidak ada satu pun jalur periwayatan yang
dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Pentateuch memang benar-benar
merupakan karya Musa. Justru jika dianggap sebagai karya Musa, maka
Pentateuch menyisakan sejumlah kejanggalan. Diantaranya adalah cerita
tentang kematian Musa sendiri yang tidak mungkin dikisahkan oleh Musa
secara pribadi.[32] Tentang “Kitab Musa” ini Vriezen telah memberikan penjelasan tersendiri sebagai berikut:
Mengenai jaman Musa, banyak soal yang
masih belum terpecahkan. Bahkan belakangan ini para pengkritik malah
menyoroti dengan lebih tajam lagi tradisi2 berkenaan dengan Musa itu.
Ada ahli yang meragukan sekali, apakah betul oknum Musa memainkan
peranan historis dalam pembebasan dari Mesir dan dalam pernyataan di
gunung Sinai. Ada ahli yang menolak secara hampir total (menyeluruh)
adanya dasar Musais pada agama israel, atau pada institusi2 agama Israel
yang tertentu. Banyak ahli berpendapat bahwa bukti2 berupa naskah
otentik dari jaman Musa malah tidak ada sama sekali.[33]
PENUTUP
Dengan demikian, Bible bukan hanya
disampaikan pada suatu kaum dengan suatu budaya tertentu melainkan mulai
dari proses pembentukannya hingga kompilasi memang sukar dipisahkan
dari proses-proses kebudayaan manusia. Kesalahan penyalinan, penambahan,
dan proses penetapan merupakan konsekuensi logis dari proses-proses
kebudayaan tersebut. Persoalan kitab suci merupakan hal yang paling
mendasar dari sebuah agama, sebab merupakan sumber-sumber dari agama
yang bersangkutan. Jika problem ini saja belum mendapatkan pencerahan
maka kekacauan sudah tentu akan merambah kepada aspek-aspek yang lain
tanpa terkecuali, meliputi tradisi, ritual, dan bahkan merambah pada
wilayah keyakinan yang paling mendasar yaitu masalah ketuhanan.
Kesan yang hendak dibangun bahwa
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terbebas dari problematika,
hendaknya dicermati ulang. Proses-proses kebudayaan yang berjalan di
sekitar penulisan hingga kompilasinya terlalu riskan untuk diabaikan.
Sebab umumnya kelupaan terhadap kronologi sejarah kitab tersebut
merupakan keuntungan tersendiri yang berguna untuk memuaskan suatu
argumen ajaran. [Susiyanto – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)].
No comments:
Post a Comment