Salah satu upaya yang dilakukan oleh
orientalis dalam menyingkirkan pengaruh dan peranan Islam dalam suatu
masyarakat adalah melalui nativisasi. Nativisasi ini secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha yang sistematis maupun tidak
yang dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya
dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal setempat.
Keberadaan “budaya lokal” setempat yang diangkat itu sendiri, dalam arus
nativisasi, bukan merupakan hal yang telah final, melainkan melalui
proses rancang ulang yang tidak jarang merupakan hasil rekayasa belaka.
Tujuan utama dari program ini adalah memarginalkan peran Islam, lantas
menempatkannya sebagai “pengaruh asing” yang diposisikan berseberangan
dengan “agama asli” pribumi. Bukan dalam rangka mengangkat budaya
pribumi itu sendiri, melainkan lebih banyak dilakukan untuk kepentingan
lain yang bersifat hegemonik, termasuk kristenisasi.
Salah satu contoh yang jelas dari proses
nativisasi misalnya adalah identifikasi Mesir dengan peradaban Piramida.
Dalam diskursus ini direkayasa bahwa Mesir menjadi besar karena budaya
Piramid dan bukannya karena kedatangan Islam. Peranan Islam di masa lalu
coba digantikan dengan peranan semu yang dilakukan oleh para Fir’aun
dari masa yang jauh lebih kuno. Dalam pada ini, Islam hanya diposisikan
telah meninggalkan peradaban yang tidak signifikan bagi kemajuan. Mesir
menjadi maju karena mewarisi kebesaran dan semangat dari Fir’aun yang
berhasil membina sejumlah bangunan monumental.
Di Indonesia, proses nativisasi ini juga
dijalankan oleh para orientalis dan misionaris. Mulai dari pengaburan
sejarah terkait peran ulama dan pahlawan Islam hingga pemunculan
sejumlah aliran kebatinan yang tidak sepenuhnya “original”. Pada
beberapa kasus bahkan bersifat mekanistis karena terbentuk melalui
melalui proses rekayasa. Sejajar dengan bangunan Piramida di Mesir, di
Indonesia kaum orientalis berusaha mengangkat kebudayaan candi sebagai
kebudayaan asli Indonesia yang dianggap jauh lebih bermakna daripada
warisan tradisi Islam.
Diskursus tentang kebudayaan candi dan
upaya marginalisasi Islam dengan memanfaatkan isu ini rasanya menarik
untuk dikaji. Tulisan ini disajikan untuk menjembatani wujud pewacanaan
yang dimaksud. Pada giliran selanjutnya, besar harapan penulis akan
menjadi pemantik bagi proses pengembangan kajian selanjutnya.
KEBUDAYAAN YANG DILUPAKAN
Kebudayaan candi
sebenarnya merupakan kebudayaan yang pernah mati dan hilang dari ingatan
publik masyarakat di nusantara. Usaha mengangkat kembali, candi sebagai
peninggalan leluhur yang adi luhung seringkali tidak sepi dari motif
dan kepentingan tertentu. Diantaranya berusaha memarginalkan peran Islam
di nusantara sebagai pijakan untuk melaksanakan misi kristenisasi
melalui pendekatannya untuk menemukan titik temu antara kejawen dan
Kristen. Tulisan Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria,
merupakan salah satu wujud dari karya yang bersifat demikian. Dalam
bukunya Noorsena membuat klaim sebagai berikut:
“ …. Serat Wedhatama mengistilahkan sembah raga yang masih harus ditingkatkan pada tahapan yang lebih halus: sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa. Suatu penjawaan dari jalan-jalan pendakian tasawuf syari’ah, Tariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, yang terlebih dahulu sudah dirasuki mistik Hindhu-Budha.
Penggambaran
tahap-tahap pendakian mistik ini, mudah dilacak dari berbagai
peninggalan bersejarah di tanah air kita. Hal ini membuktikan betapa
kuat meresapnya jejak-jejak mistik Hindu, Buddha, dan Islam, yang
berpadu dengan unsur agama asli. Monumen stupa Borobudur dan Masjid
Demak merupakan contoh pengabadian bangunan punden berundak dari masa megalitikum. Bangunan stupa Borobudur disebut dari bawah: Kamadatu (alam keinginan), rupadatu (alam rupa), dan arupadatu
(alam tanpa rupa) sejajar dengan masjid Demak bersusun tiga yang
melambangkan Syari’ah, tariqah, dan haqiqah. Sedangkan tujuan tertinggi
dari perjalanan mistik digambarkan dengan makuta di ujung atas
masjid yang semotif dengan stupa teratas Borobudur yang dulu kosong
karena menggambarkan keabadian alam Buddha (sunya).”[1]
Dalam kutipan di atas, nampaknya Bambang
Noorsena menggambarkan bahwa sejumlah tradisi Islam telah mengalami
penjawaan sedemikian rupa dengan masuknya unsur-unsur agama Jawa asli
setelah sebelumnya dirasuki mistik Hindhu dan Buddha. Dengan demikian
Islam dalam sejumlah karya sastra Jawa tersebut oleh Bambang Noorsena
ditempatkan sebagai entitas yang sepenuhnya tunduk terhadap agama asli
Jawa. Noorsena kemudian berusaha membuktikan bahwa jejak-jejak perpaduan
agama itu dapat dilacak pada sejumlah peninggalan sejarah di tanah air
termasuk Candi Borobudur dan Masjid Demak.
Argumentasi Bambang Noorsena bahwa
keempat jalan pendakian tasawuf Islam telah direduksi oleh pengaruh
mistik Hindu dan Buddha dengan mengambil bukti pendukung berupa Candi
Borobudur dan Masjid Demak, jelas merupakan rasionalisasi yang kurang
tepat. Tentang Borobudur, misalnya, candi yang dianggap sebagai warisan
bangsa Indonesia ini memang seringkali ditempatkan sebagai bukti bahwa
Budhisme pernah sedemikian kuat pengaruhnya bagi sebagian masyarakat
Jawa. Sampai pada titik ini tidak terlalu ada masalah. Namun kemudian
justru kenyataan ini dimanfaatkan sebagai justifikasi bahwa Budhisme
masih memainkan peran hingga pada masa kini dengan bukti Borobudur ini.
Termasuk memposisikan ajaran Islam di Jawa yang dianggap telah tereduksi
oleh semangat Budhisme karena masih mengadopsi ciri-ciri arsitektural
yang sama. Jelas ini adalah proses untuk menempatkan posisi generasi
mendatang dengan “ingatan” yang dibentuk dengan sebuah “kelupaan
sejarah”.
Borobudur sendiri sebenarnya telah pernah
lenyap dari ingatan kolektif penduduk nusantara. Soediman, seorang
Pengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada serta
pernah menjabat sebagai Pimpinan Harian Kantor Pelaksana Proyek
Pemugaran Candi Borobudur, mengungkapkan bahwa Borobudur baru
diketemukan kembali pada tahun 1814 setelah kira-kira delapan abad
dilupakan orang dan terpendam di dalam tanah. Pada waktu diketemukan
candi ini berada dalam keadaan menyedihkan.[2]
Candi ini telah berujud menjadi sebuah gunung kecil atau bukit yang
ditutupi oleh semak belukar. Di gunung tersebut banyak ditemukan
potongan-potongan arca oleh penduduk setempat yang pemberani. Sedangkan
umumnya penduduk saat itu justru takut untuk datang ke gunung yang
kemudian diketahui sebagai Borobudur. Penyebabnya, masyarakat era itu
menganggap bahwa gunung tersebut sebagai tempat angker dan berbahaya.
Hingga tahun1814, Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di
Jawa, mendengar berita penemuan sejumlah potongan arca di gunung
tersebut.
Pada tahun 1900 M di bawah pemerintah
Hindia Belanda maka dilakukan perawatan terhadap “bukit” yang ditemukan.
Semak belukar dan tanah yang mengurugnya mulai dibersihkan dan
ditemukanlah struktur bangunan candi. Sebagian besar ditemukan dalam
kondisi yang sudah rusak parah. Baru pada yahun 1907 dilakukan pemugaran
yang dipimpin oleh Theodore Van Erp, seorang perwira Zeni Angkatan
Darat Kerajaan Belanda. Perbaikan di bawah pimpinan Van Erp ini
berlangsung antara 1907 sampai 1911. Pemugaran ini pun hanya sampai
memasang beberapa buah gapura, sementara dinding lorong pertama dan
kedua tetap dibiarkan miring, serta pagar langkannya masih banyak yang
menganga.[3] Pada era ini Candi Borobudur pun belum bisa diperkenalkan kepada publik secara luas dengan alasan keamanan bangunan.
Dengan mencermati sejarah “penemuan
kembali” Candi Borobudur ini, maka muncul pertanyaan baru, Apakah layak
mendasarkan sebuah teori bahwa ajaran Buddha sedemikian kuatnya
berpengaruh dengan menggunakan contoh Candi Borobudur yang disejajarkan
dengan bangunan Masjid Demak? Sementara diketahui bahwa Candi Borobudur
telah “hilang” selama 8 (delapan) abad sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa
“kelupaan sejarah” terhadap Candi Borobudur ini bahkan telah
berlangsung melewati masa Majapahit dan Kesultanan Demak. Belum lagi
jika kita harus memperhitungkan lagi proses pemugaran pasca ditemukan
kembali hingga layak diperkenalkan kepada publik yang memakan waktu
lebih dari satu abad sendiri.
Jadi, Borobudur sendiri sebenarnya telah
“pernah mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa
ingatan publik masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa lalu
berupa ajaran Budha ini tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada.
Hanya merupakan sapuan cat yang mudah terkelupas dari sepotong kayu.
Kebesaran masa lalu yang terlalu diagung-agungkan dengan melupakan
kenyataan sejarah yang lebih besar. Sebuah bukti bahwa “keagungan” masa
lalu bisa dibangkitkan kembali dengan menjajah ruang kesadaran kita.
Oleh karena itu menghubungkan antara tingkatan yang ada dalam Candi
Borobudur dengan tingkatan pada masjid Demak, sebagaimana pengutipan
yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, rasanya merupakan tindakan yang
ahistoris dan mengada-ada.
Buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang
menjadi rujukan standar dalam penulisan sejarah tentang Indonesia juga
mengungkapkan fenomena yang sama. Dikatakan bahwa beberapa masjid kuno
memiliki pola lengkung mirip kalamakara dalam mihrabnya. Beberapa bangunannya mengingatkan pada seni bangunan candi, yaitu menyerupai meru
pada jaman Hindhu. Juga beberapa detail lainnya. Namun buku tersebut
sama sekali tidak membuat konklusi gegabah bahwa proses adopsi maupun
adaptasi bangunan fisik akan selalu diikuti dengan proses yang sama
terhadap nilai “bathin” yang dimilikinya. Menariknya, kesimpulan buku
tersebut justru mengungkapkan bahwa Islamisasi yang dilakukan melalui
seni bangunan dan seni ukir pada sejumlah bangunan Islam justru
menunjukkan bahwa proses pengislaman tersebut dilakukan dengan damai.
Kecuali itu dari segi ilmu jiwa dan taktik, menurut buku tersebut,
penerusan tradisi bangunan dan seni ukir pra Islam merupakan alat
Islamisasi yang sangat bijaksana yang mudah menarik orang-orang bukan
Islam secara perlahan memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya.[4] Dengan istilah lain, inilah salah satu bukti titik temu yang sulit dibantah antara Islam dan Jawa.
Untuk lebih mendalami persoalan ini, akan
semakin menarik jika mencermati analogi yang dikemukakan Prof. Dr. Syed
Muhammad Naguib Al Attas, pakar kebudayaan Melayu, sebagai berikut:
Sebagaimana si Ali
berpakaian chara Barat memang nampak pengaruh Barat pada zahir dirinya,
dengan tiada semestinya bererti bahwa batin dirinya itupun terpengaruh
oleh kebudayaan Barat, begitulah juga fakta-fakta sejarah yang zahir
pada sesuatu masharakat dan kebudayaannya tiada semestinya membayangkan
sifat batin masharakat dan kebudayaan itu.[5]
Jadi, sejumlah bangunan Islam di Jawa
yang menampilkan sebagian corak dari masa lalu tidak berarti mewarisi
pola “batin” yang sama. Kesamaan pada sejumlah detail pola bangunan
Hindhu dan Budha, tidak lantas menjadi bukti bahwa Islam telah mewarisi
ajaran mistik kedua agama tersebut. Kesimpulan Noorsena tersebut seperti
halnya bangunan gereja-gereja kuno, baik di Timur dan di Barat,
seringkali memiliki detail bangunan dan menggunakan simbol-simbol yang
sama yang sama dengan bangunan penganut paganisme yang ada disekitar
pertumbuhan umat Kristen. Salib adalah simbol yang sama pernah dipakai
oleh sejumlah ajaran pagan sebelum masa Kristen. Bukan hanya terbatas
pada simbolnya, bahkan cerita-cerita seputar salib dari agama penyembah
berhala tersebut hampir sama dengan detail dan ajaran dalam kekristenan.
Jika didasarkan dengan hal tersebut kemudian disimpulkan bahwa “Kristen
telah mewarisi tradisi mistik kaum pagan”, dimanakah posisi
keberterimaan Bambang Noorsena ? Tetap konsistenkah ia dengan analogi
yang diyakininya?
Jika Borobudur merupakan candi Agama
Budha, maka Candi Prambanan sebagai candi bercorak Hindhu juga mengalami
nasib yang kurang lebih sama. Candi Hindhu ini ditemukan secara tidak
sengaja pada tahun 1797, ketika penguasa Belanda membangun markas di
Klaten. Sebelumnya tidak ada gambaran bahwa disekitar tempat pembangunan
markas tersebut terdapat kompleks bangunan kuno tersebut. Hal ini
terjadi karena sebagian besar bangunan telah tertutupi dengan
tanaman-tanaman keras. Penduduk sekitar juga menjadikan lokasi tersebut
sebagai tempat pembuangan sampah. Sehingga kesulitan utama yang dihadapi
oleh Belanda ketika hendak membangun kembali peninggalan Hindhu
tersebut adalah menyingkirkan tanaman dan sampah yang terlanjur menutupi
badan bangunan batu tersebut. Sejumlah bangunan batu yang lain yang
lebih utuh memang ada yang digunakan oleh penduduk sekitar sebagai
tempat pemujaan. Pemujaan yang dilakukan tentu saja bukan berasal dari
tradisi Hindhu, melainkan lebih mirip ritual penyembahan terhadap batu
dan pepohonan yang berasal dari kebudayaan punden berundak-undak.
Sejumlah arca yang sempat ditemukan dilokasi tersebut selalu menjadi
barang dagangan yang diminati oleh orang-orang asing. Sementara penduduk
sekitar kompleks candi tersebut – terutama yang berprofesi sebagai
pedagang – cenderung mengabaikan dengan menjadikannya sebagai “peluang”
mendapatkan uang.[6]
Candi-candi lainnya secara umum memiliki
nasib yang hampir serupa. Ditemukan sebagai reruntuhan yang diabaikan,
tertutup oleh sejumlah pepohonan dengan tanpa perawatan, terkubur dalam
tanah, atau terbengkelai memuing sehingga sukar direkonstruksi ulang
hingga hari ini. Sebagian besar candi itu umumnya ditemukan kembali
setelah melalui proses penggalian. Untuk selanjutnya dipopulerkan oleh
kalangan akademisi orientalis maupun misionaris. Bukan dengan tujuan
untuk bersimpati secara penuh terhadap wujud kebudayaan ini, melainkan
untuk kepentingan lain yang akan dijelaskan selanjutnya.
ELIT YANG BERJARAK DARI RAKYAT
Saat ini kita hidup dalam era dimana
kebudayaan candi merupakan salah satu khazanah warisan masa lalu yang
dalam sejumlah aspek dianggap sebagai bagian dari kebesaran masa lalu.
Pertanyaan yang menggelitik untuk diajukan adalah “mengapa kebudayaan candi ini kemudian pernah ditinggalkan oleh masyarakat?”.
Pada tingkatan yang lebih ekstrim bahkan budaya tutur tentang warisan
kuno ini ternyata juga tidak menjadi bagian dari budaya lesan yang
berkembang di antara masyarakat Jawa pada masa lalu. Kenyataan ini,
tentu mengherankan bagi kita. Bagaimana mungkin, jika benar kebudayaan
Candi merupakan warisan budaya yang tidak terpisah dari masyarakat,
justru pada saat yang sama dilupakan oleh masyarakat tanpa berbekas sama
sekali sampai wujud bangunannya direkonstruksi ulang dan diperkenalkan
kembali kepada khalayak.
Realitas bahwa pernah terjadi proses
“kelupaan” terhadap budaya candi ini menimbulkan sejumlah spekulasi
dalam merunut peyebabnya. Dr. I. Groneman, seorang orientalis, membangun
teorinya bahwa kerusakan candi ini terjadi murni akibat kejadian
alamiah seperti gempa bumi, erupsi vulkanik, tanaman parasit yang
merusak pondasi, dan sejumlah peristiwa lainnya. Groneman juga
menyalahkan kebodohan rakyat sebagai penyebab mereka kurang menghargai
produk agung warisan dari masa lampau.[7]
Wacana yang dihasung Groneman ini hanya sampai pada tataran menjelaskan
bagaimana hilangnya candi akibat proses alamiah yang berjalan, namun
kurang menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih konkret. Sebab jika
penyebabnya adalah kebodohan manusia, justru hal ini bisa menjadi lahan
subur dan sekaligus pemantik untuk pemujaan terhadap bangunan kuno.
Dengan demikian tidak mampu menjelaskan mengapa kebudayaan candi
ditinggalkan oleh masyarakat atau rakyat kerajaan Budha atau Hindhu.
Sejumlah cerita babad di Jawa yang vulgar
mendapat pengaruh pemikiran Belanda berusaha menggambarkan bahwa
terjadinya “kelupaan” sejarah terhadap kebudayaan candi ini adalah
akibat pengaruh kedatangan Islam. Islam juga dianggap turut memberikan
kerusakan terhadap sejumlah bangunan monumental di tanah Jawa. Prof. Dr.
Denys Lombard, seorang akademisi dan pakar simbologi Perancis, mengakui
kenyataan bahwa terdapat sejumlah tuduhan orientalis terhadap Islam
sebagai penyebab kehancuran sejumlah candi. Lombard sendiri membantah
dengan menyatakan bahwa hampir tidak pernah ada monumen yang dihancurkan
atas prakarsa pihak Islam. Candi-candi di Jawa secara umum telah
menjadi reruntuhan sementara Hindhuisme masih menjadi agama mayoritas.
Kedatangan Islam di Indonesia memang bersamaan waktu dengan terputusnya
secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang telah berkembang di
Jawa selama lebih delapan abad. Beberapa sejarawan Eropa berusaha
menggarisbawahi bahwa Islam merupakan agama yang bersifat “mematikan”
bagi kebudayaan lokal ini. Namun mereka lupa bahwa di Semenanjung
Indochina, tempat dimana Islam tidak berhasil berkembang, pembangunan
candi-candi besar juga telah berhenti sebagaimana yang terjadi di Jawa.[8]
Denys Lombard menggarisbawahi bahwa
keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindhu di Jawa dan penghentian pembangunan
gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena
kerajaan Budha dan Hindhu mengalami kemunduran karena mulai ditinggalkan
oleh rakyatnya sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih memilih
untuk tinggal di kota-kota pelabuhan atau wilayah sekitarnya.[9]
Pola masyarakat agraris juga mulai bergeser menjadi masyarakat bisnis
sehingga daerah pedalaman yang menjadi pusat kerajaan Hindhu atau Budha
dinilai kurang kondusif lagi bagi gaya hidup mereka yang baru. Dengan
demikian proses “kelupaan” terhadap pembangunan dan pemeliharaan candi
di Jawa penyebab utamanya adalah kerajaan sebagai inisiator utama telah
ditinggalkan oleh sebagian besar rakyatnya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kerajaan
Budha dan Hindhu itu ditinggalkan oleh masyarakatnya? Drs. R. Moh. Ali,
Kepala Arsip Nasional dan Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran (UNPAD), yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad
Mansur Suryanegara, senada dengan Denys Lombard, menyatakan bahwa
kebudayaan candi justru merupakan salah satu penyebab terjadinya eksodus
penduduk kerajaan Budha atau Hindhu dari dari pusat kekuasaan menuju
daerah pesisir atau pelabuhan. Pembangunan sejumlah candi dan
patung-patung besar biasanya merupakan proyek yang melibatkan masyarakat
sekitar dalam prosesnya. Masyarakat tersebut terdiri dari kalangan
petani yang mata pencahariannya lebih banyak berkutat pada bercocok
tanam dan memelihara ternak. Sedangkan proyek pembuatan candi dan
patung biasanya melibatkan rakyat yang digolongkan dalam kasta Sudra dan Paria tersebut
dalam kerja bakti. Akibatnya kerja bakti tersebut menjadikan rakyat
kecil menderita dan mata pencariannya terbengkelai. Dampaknya, mereka
berusaha menyingkir dan meninggalkan wilayah pembangunan candi karena
tidak ingin waktu dan tenaganya habis untuk memenuhi kewajiban kerja
bakti kepada raja. Ketika Islam mulai masuk ke tanah Jawa, mereka bukan
hanya meninggalkan keyakinan lamanya namun juga masuk Islam. Status
sosialnya sebagai rakyat dengan kasta terendah (Sudra dan Paria) dengan
sendirinya hilang setelah menganut agama Islam.[10] Sebab dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian strata sosial yang diskriminatif sebagaimana terjadi dalam konsep kasta.
Jadi tanpa bermaksud meremehkan peran
candi pada masa kini sebagai bagian dari khazanah warisan masa lalu,
kebudayaan candi itu sendiri pada awalnya bukan merupakan kebudayaan
yang murni milik “jiwa” masyarakat nusantara. Candi hanya berhenti
sebagai milik kalangan elit kekuasaan yang terdiri dari kasta Brahmana dan Ksatriya
saja. Sementara bagi kalangan rakyat jelata yang umumnya terdiri dari
kasta Sudra dan Paria, candi merupakan simbol monumental sebuah proses
penindasan oleh kalangan elit politis. Oleh karenanya, maka kebudayaan
candi ini pada masa pembangunannya tidak menjadi bagian dari jiwa dan
hati rakyat jelata. Apalagi diharapkan menjadi bagian dari
kerohaniannya. Sehingga pada masa selanjutnya proses “kelupaan” terhadap
tradisi ini menjadi hal yang sangat alamiah dan wajar. Realitas tentang
penghargaan terhadap budaya candi pada era kini, sama halnya dengan
bangunan monumental Tembok Besar di Cina yang menjadi kebanggaan negara
tersebut tetapi sejarah masa lalunya –yang secara umum dilupakan orang –
dibangun dengan pertaruhan jiwa rakyat yang terlibat dalam suatu proyek
kerja paksa dengan korban yang tidak berbilang.
Sungguh tepat ungkapan Syed Muhammad
Naguib Al-Attas, seorang pakar peradaban Melayu, bahwa peninggalan
kesenian berupa tugu-tugu maupun candi-candi serta pahatan-pahatan batu
yang menunjukkan kehalusan cita rasa seni tidak selalu menjadi ciri
suatu peradaban yang bermutu tinggi. Kesenian memang merupakan salah
satu ciri yang mensifatkan peradaban, namun pandangan hidup yang
berdasarkan kesenian itu adalah semata-mata merupakan kebudayaan
estetik, kebudayaan klasik, yang dalam penelitian konsep perabadan
sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang memiliki sifat keluhuran
budi dan akal serta pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah telah memberikan
pelajaran bahwa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin
menandakan kemerosotan aspek budi dan akal. Selanjutnya Al-Attas
menunjukkan contoh Acropolis di Yunani, Persepolis di Iran, dan
Piramid-piramid di Mesir yang sama sekali tidak menunjukkan peradaban
dalam wujud ketinggian moralitas dan kemajuan pemikiran dari sebuah
peradaban. Sebaliknya, Al-Attas menegaskan bahwa dalam menilai peranan
dan kesan terhadap Islam, karakteristik yang harus dicari oleh mereka
bukan pada peninggalan yang bersifat material seperti tugu dan candi
melainkan pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya lebih bersifat daya
budi dan akal yang merangkum kemajuan pemikiran.[11]
Akhirnya, pengakuan seorang orientalis
bernama T. Ceyler Young terkait tentang “kebudayaan asli” di
negeri-negeri berpenduduk Islam patut dicermati bersama : “Di setiap
negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar
peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk
mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi
cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam
atau peradaban-peradaban lama tersebut”.[12]
Praktik mendekati budaya asli dengan kepentingan yang jauh berbeda dari
sikap yang dipertunjukkan sebagaimana diakui Ceyler Young ini bukan
merupakan strategi marginalisasi Islam yang aneh. Dapat dicatat bahwa
Misionaris dan orientalis seperti Hendrik Kraemer (1888-1965) misalnya,
ia berusaha mendekati dan mengkaji serta mengembangkan kebudayaan
kejawen, namun bukan dilandasi simpati terhadap kebudayaan kejawen itu
sendiri melainkan didorong oleh “keputus asaan” pasca terantuk kesulitan
untuk menundukkan Islam di Jawa agar tersentuh oleh kegiatan misi
penginjilan.[13]
Hal yang sama juga berlaku pada sejumlah kajian orientalisme yang
berusaha untuk mengembangkan diskursus “pribumi” untuk menyingkirkan
peranan dan pengaruh Islam. “Pribumi” yang dimaksud tentu bukan dalam
makna yang senyatanya, sebab kebudayaan Budha dan Hindhu pada dasarnya
merupakan bagian dari proses yang oleh sejarawan disebut sebagai Indianisasi.
PENUTUP
Eksistensi kebudayaan candi – tanpa
mengabaikan peran kekiniannya- merupakan salah satu kekayaan
perbendaharaan budaya masa lalu nusantara. Akan tetapi mengangkat
kebudayaan monumental ini sebagai warisan budaya adi luhung memang
seharusnya dipaparkan kembali secara seimbang. Masyarakat seharusnya
diberikan informasi yang sebenarnya bahwa mereka selama ini telah
dikondisikan dalam bahasa-bahasa yang lebih bersifat jargon daripada
menyentuh realitas. Sudah saatnya masyarakat insyaf bahwa kekayaan
budaya yang berwujud demikian tidak selalu mewariskan cerminan
kebudayaan yang menjunjung ketinggian moralitas dan kemajuan akal
pemikiran yang menjadi ciri utama peradaban mulia.
Jadi pengembangan kebudayaan ini
hendaknya diimbangi dengan informasi yang benar, bukannya terjebak dalam
bahasa-bahasa slogan yang mengedepankan sikap manipulatif dan
persuasif. Informasi yang seimbang akan membentuk masyarakat yang
kritis dalam menilai dan tegas dalam memposisikan titik tolak
pemikirannya. Termasuk dalam diskursus budaya candi yang sebenarnya
merupakan wujud jauhnya keberpihakan elit politis dengan masyarakat
kelas bawah yang menjadi tanggung jawabnya. Publikasi tentang kekayaan
budaya hendaknya tidak dibarengi dengan pengorbanan yang terlampau besar
dengan menurunnya intelijensi masyarakat akibat proses pembodohan yang
berjalan sistematis tersebut. Jika proses mengingat kembali kebudayaan
lama ini dianggap menjadi bagian dari pemahaman terhadap khazanah
kekayaan budaya. Maka proses kelupaan terhadap “masa lalu” yang pernah
berjalan secara alamiah mestinya juga merupakan bagian dari kebudayaan
itu sendiri. Sehingga perlu juga dibuka secara jujur dan tidak
ditutup-tutupi.
No comments:
Post a Comment