Nama “Mbah Petruk” mendadak
menjadi terkenal ke seantero negeri pasca letusan Merapi yang mewarnai
November 2010 bak selebritis baru yang sedang menanjak karirnya .
Apalagi setelah salah seorang warga bernama Suswanto, 43 tahun, berhasil
memotret asap solvatara gunung Merapi yang menyerupai kepala Petruk.
Selama ini mitos Mbah Petruk sering dikaitkan dengan pemuka jin ini
bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Gunung Merapi,
termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar
dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah, menurut isu
yang sempat beredar, keselamatan penduduk tergantung.
Tentu saja tanggapan atas mitos Mbah
Petruk cukup beragam. Jika ilmuwan vulkanologi menyatakan awan mirip
Petruk tidak berarti apa-apa, Ponimin (50) yang disebut-sebut “sakti”
seperti Mbah Maridjan, punya penafsiran sendiri. Menurutnya, hidung
Petruk yang menghadap Yogyakarta mengandung arti Merapi mengincar
Yogyakarta. (detiknews,13/11/2010). Permadi, seorang paranormal, dalam
sebuah infotainmen “Silet” di sebuah televisi siaran swasta nasional
memiliki pendapat yang hampir serupa dengan Ponimin. Lain lagi dengan
Sultan Hamengkubuwana, Gubernur Yogyakarta saat ditemui di Kepatihan
(2/11/2010) mengungkapkan: “ Itu kan kata mereka. Kalau aku bilang itu
Bagong, bagaimana? Atau itu Pinokio, karena hidungnya panjang”.
(Tempointeraktif.com, 2/11/2010). Spekulasi terus bermunculan akibat
photo ini. Belum lagi juga muncul photo lain dari asap Merapi yang
membentuk tulisan Arabic “Allah”.
SIAPAKAH MBAH PETRUK ?
Tidak diragukan bahwa nama Mbah Petruk
telah menjadi sebuah mitos yang tidak terpisah dari warga yang mendiami
wilayah sekitar Gunung Merapi. Tokoh ini sering dikaitkan sebagai
penguasa gaib Merapi yang “bertanggungjawab” terhadap dunia “gaib”
Merapi. Cerita tentang “kekuasaan” Mbah Petruk” ini secara umum
berkembang di sekitar lereng Merapi terutama di wilayah yang masuk
Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Cepogo dan Selo yang menjadi
“basis kerja” Mbah Petruk pada “masa lalu” justru memiliki versi yang
cenderung berbeda.
Berdasarkan cerita Versi warga Cepogo bagian atas, nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo.
Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Merapi pada sekitar era
1700-an. Wilayah geraknya lebih banyak meliputi Cepogo bagian atas dan
tidak menutup kemungkinan juga di wilayah yang lain. Dalam cerita tutur
digambarkan bahwa ia memiliki bentuk badan yang agak bungkuk. Kyai
Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang
lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya
dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh Masyarakat setempat. Petruk dalam
mitologi Jawa merupakan tokoh wayang punakawan yang memiliki bentuk
hidung sangat mancung. Meskipun demikian menghubungkan Mbah Petruk
dengan tokoh pewayangan Petruk jelas merupakan sebuah kekeliruan.
Mbah Petruk ini adalah seorang ulama yang
dimungkinkan merupakan murid generasi kedua dari Sunan Kalijaga.
Sebagai seorang ulama ia memiliki level setingkat ulama lain yang semasa
dengan kehidupannya seperti Mbah Ragasari yang dimakamkan di Tumang dan
juga dai yang lain bernama Hasan Munadi. Juru kunci Merapi pada era
Mbah Petruk ini bernama Kyai Rohmadi, seorang muslim pula, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Mpu Permadi.
Hanya saja agak berbeda dengan Mbah Petruk, Mpu Permadi memiliki gaya
keislaman yang lebih dekat dengan dunia klenik, terutama pengamalan
terhadap kitab Mujarobat (semacam primbon). Mpu Permadi ini nampaknya
telah terpengaruh dengan mistisme Persia yang bersumber dari kitab Syamsul Ma’arif Kubro
yaitu sebuah kitab yang menggabungkan dunia perdukunan Persia dan
mistisme Syiah. Kitab ini boleh dikatakan sebagai sumber dari hampir
semua kitab Mujarobat yang banyak beredar di masyarakat. Isinya berupa
kumpulan mantra, penggunaan azimat, wifiq, dan lain sebagainya. Makam Mpu Permadi dapat ditemui di Watu Bolong.
Dalam versi masyarakat Selo, Mbah Petruk
seringkali disebut-sebut sebagai anak seorang pejabat atau versi lain
Wedana. Pada era ini Selo merupakan wilayah dari kawedanan Ampel yang
membawahi Ampel, Cepogo, Paras, dan Selo. Versi ini tidak bertentangan
dengan versi cerita cerita warga Cepogo. Hal ini tidak mengherankan,
sebab salah satu fenomena penyebaran Islam adalah melalui perkawinan,
termasuk membangun kedekatan dengan menikahi putri-putri penguasa
setempat. Namun demikian secara umum, masyarakat sekitar Merapi telah
mafhum bahwa Mbah Petruk merupakan salah seorang penyebar agama Islam di
sekitar daerah itu. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan
meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah
yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.
Perlu diketahui Gunung Bibi sampai hari ini masih merupakan kawasan
“berbahaya” karena masih dihuni hewan-hewan liar termasuk oleh ular-ular
python raksasa. Tidak mengherankan jika penduduk sekitarnya selalu
menahan KTP para pendaki yang hendak naik ke Gunung Bibi, alasannya agar
bisa segera memberitahu keluarganya bila pendatang yang bersangkutan
tidak kembali turun dari gunung. Fenomena ini bisa saja menjelaskan hal
tersebut disamping adanya kemungkinan lain yang logis.
TANTANGAN DAKWAH MBAH PETRUK
Sesuai dengan pendapat
Karel Steenbrink, sampai sekitar tahun 1700-an, daerah di sekitar Merapi
masih merupakan kawasan yang penduduknya menganut Agama Hindhu. Namun
catatan yang lain menyebutkan bahwa pada era Perang Jawa (1825-1830),
ulama dan sekaligus penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama
Kyai Mojo telah memobilisasi pasukan yang berasal dari lereng Merapi.
Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi di kawasan ini telah
berjalan.
Pada era awal dakwah di lereng Merapi,
tantangannya tidaklah mudah. Aliran yang berkembang di lereng Merapi
pada masa ini menunjukkan adanya sinkretisme antara agama Kapitayan
dan aliran Bhairawa Tantra. Di Jawa aliran ini memang telah menyatu
dengan mantra-mantra Jawa Kuno dan kepercayaan terhadap para tukang
tenung. Penobatan raja-raja Jawa dilakukan melalui percampuran ritual
tantra disertai dengan berbagai sihir dan ajaran rahasia. (Prijohutomo,
II, 11953: 105).
Agama Kapitayan adalah keyakinan
masyarakat Jawa sebelum proses Indianisasi yang meliputi perkembangan
agama Hindhu dan Budha. Ajarannya yang hanya mengenal satu Tuhan
memiliki sejumlah kemiripan dengan monotheisme. Ritualnya adalah menyembah Hyang Taya yaitu pencipta alam semesta yang memiliki sifat tan kinaya ngapa (tidak dapat diperkirakan oleh akal pikiran manusia). Ibadahnya disebut sembahyang
dilakukan sebanyak 3 waktu dalam sehari yaitu saat matahari terbit,
matahari diatas kepala, dan matahari terbenam. Kepercayaan ini memiliki
tempat peribadatan yang bangunan berbentuk segi empat bernama langgar.
Untuk memasuki langgar seorang penganut Kapitayan harus dalam keadaan
bersih dan melepas alas kaki yang dikenakannya. Dalam Kapitayan sendiri
terdapat dua cara pandang yang saling berbeda yaitu Tu dan To. Penganut pandangan Tu
melakukan ritual agamanya dengan tanpa perantaraan (tawasul). Mereka
menyembah penciptanya dengan mengandalkan ketaatan diri kepada pencipta
dan tanpa membutuhkan wujud materi yang digunakan untuk sesaji.
Sedangkan penganut pandangan To membutuhkan persembahan berupa sesaji
dalam rangkaian peribadatannya. Dalam mitologi pewayangan Jawa karakter
berpandangan Tu diejawantahkan dengan Semar Badranaya yang
menjadi pamomong para satriya berwatak mulia. Sedangkan karakter To
dengan disimbolkan dengan tokoh Togog yang menjadi pamomong para bhuta dan danawa yang berwatak candala.
Sedangkan Bhairawa Tantra merupakan
bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha. Awalnya keyakinan ini hanya
berkembang di elit politis Keraton Jawa saja dan berfungsi untuk menjaga
kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan
memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan
lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut
ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya
manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan
nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Prijohutomo, I, 1953: 89).
Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks
bebas). (Rasjidi, 1967: 68; Soekmono, 1988: 33-34). Dalam bentuk yang
paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan
persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa
meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Munoz, 2009: 253, 448).
Juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat
peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, 2007:347).
Proses Indianisasi di Pulau Jawa dengan
produk berupa Hindhuisme dan Budhisme memang memberi nilai tambah dalam
bidang teknis seperti arsitektur dan seni, namun bersifat destruktif
terhadap keyakinan awal masyarakat Jawa yang telah monotheis. Kasus
serupa juga terjadi di Sunda, Kidung Jatiniskala telah
menunjukkan bahwa masyarakat Sunda Kuno telah memiliki kecenderungan
kepada kepercayaan terhadap Sang Pencipta yang mirip konsepsi Tauhid
dalam Islam. Belum lagi jika kita mau meneliti lebih lanjut terhadap Agama Sunda Wiwitan.
Salah satu wujud ritual yang terpengaruh oleh pembauran antara Agama Kapitayan yang bersifat To
dan Bhairawatantra yang dijalankan di Merapi adalah pengorbanan manusia
untuk menolak mara bahaya dan bencana. Pengorbanan ini dilakukan dengan
menceburkan manusia ke dalam kawah Merapi. Bentuk pengorbanan dengan
menggunakan manusia ini sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran
Bhairawatantra yang merupakan sinkretisme antara Hindhu dan Budha ini.
Bentuk pengorbanan yang hampir sama masih kita jumpai dalam tradisi
tutur yang berkembang di sekitar Gunung Bromo. Di Gunung Bromo juga
terdapat tradisi mempersembahkan hasil bumi ke kawah Bromo yang
merupakan perkembangan dari ritual ini. Berdasarkan tradisi tutur pula
dapat diketahui bahwa penduduk Gunung Bromo sebenarnya merupakan
pelarian dari Majapahit, sebuah kerajaan Jawa Hindhu-Budha yang bercorak
Bhairawatantra.
Pada era dakwah Mbah Petruk bentuk
pengorbanan ini mulai diperhalus dengan menggantinya dengan kepala
kerbau. Kepala kerbau tersebut di tanam di Pasar Bubrah yang merupakan
puncak Gunung Merapi Purba dan juga dimasukkan ke kawah Merapi. Tentu
saja proses subsitusi korban manusia dengan kepala kerbau ini bukan
sebuah jalan yang mudah. Butuh pendekatan yang luar biasa untuk jaman
dimana tradisi masyarakat masih dipengaruhi oleh pengruh yang kuat dari
Hindhu Budha. Namun pembelokan melalui natifisasi telah membelokkan
perkembangan ini sehingga proses dakwah yang seharusnya berjalan justru
berjalan stagnan dan generasi selanjutnya kehilangan sisi periwayatan
ini.
Praktik mistik yang lain yang masih eksis
di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi
Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam
selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi
Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang
pemimpin upacara. (Liberty, 11-20/1/2008: 67). Ritual ini juga masih
memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah
sekitar Merapi bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia
dan area persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat
ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra
masih dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini
telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Cerita yang
beredar di masyarakat saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang
menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo tersebut pada
waktu malam mengeluarkan suara tangisan yang bisa didengarkan hampir
oleh setiap penduduk sekitarnya. Namun masyarakat telah memilih Islam
dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu.
KAPITALISASI INDUSTRI PARIWISATA
Tradisi seperti penanaman kepala kerbau
atau binatang ternak lain ini sebenarnya sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat seiring dengan perkembangan dakwah Islam. Perhelatan ritual
ini saat ini hanya dilakukan oleh sebagian orang dan tidak jarang atas
sponsor Pemerintah Daerah dengan motif “memeras kocek” wisatawan. Kyai
Muhammad Solikhin, peneliti dan pamomong masyarakat Desa Pedut, Cepogo
misalnya mencontohkan bahwa pada saat gempa 2006, masyarakat di desanya
masih melakukan penyembelihan Kambing dan kepalanya ditanam di sejumlah
perempatan desa. Namun dalam gempa tahun 2010 ini tradisi bersifat
bairawi tersebut telah ditinggalkan. Ketika terjadi gempa, masyarakat
lantas berlindung ke masjid. Nampaknya mitos keliru tentang Mbah Petruk
dan ritual yang mengikutinya memang sengaja hendak dipelihara dan
dilestarikan demi sebuah kepentingan.
Dengan berlindung dibalik slogan
“kearifan lokal” pemerintah daerah setempat berupaya
mengkomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan
tersebut. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah
bentuk stagnasi sebuah periode sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai
obyek mati yang tidak bersifat dinamis dalam merespon perkembangan
kebudayaan manusia. Komersialisasi demikian hakikatnya adalah
pengembangan budaya bertopeng kapitalisme yang bergerak sebagai
“monster” dalam ranah penghancuran kearifan lokal sebenarnya. Di satu
sisi mampu meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, namun juga
mengorbankan aspek moralitas dan mentalitas manusia yang menjadi modal
utama menjalani kehidupan dalam sebuah tuntunan baik. Isu “kearifan
lokal” bukan berarti mengangkat “kebudayaan asli” melainkan menempatkan
kebudayaan pada sebuah pemberhentian sampai mengalami titik jenuh.
Pandangan yang digunakan bukan lagi menggunakan gaya ketimuran,
melainkan berdasarkan paham yang diimpor dari kacamata materialisme
Barat dalam melihat timur. Padahal cara pandang ini sebenarnya sangat
aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah banyak ditinggalkan.
Anehnya, pola ini malah diamalkan diIndonesia pada hari ini. Van
Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap
kebudayaan hari ini telah bergeser, dimana setiap orang merupakan
kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, 1976:12).
Terkait Mbah Petruk, sudah saatnya umat
Islam melanjutkan perjuangannya yang belum selesai dan menanti sentuhan
berkelanjutan. Dakwah adalah sebuah amanah dari risalah kenabian yang
dibebankan pada pundak kita. Jadi, demi kepentingan apa pun, jangan
pernah memfitnah Mbah Petruk. Selamat berjuang. Wallahu a’lam.
(Makalah ini disusun berdasarkan
investigasi terhadap tradisi lesan yang berkembang dalam masyarakat Selo
dan Cepogo dimana Mbah Petruk merupakan ulama yang paling banyak
beraktivitas di kedua tempat ini dibandingkan di wilayah lain di sekitar
lereng Merapi. Investigasi ini melibatkan tokoh masyarakat setempat
diantaranya adalah Kyai Muhammad Solikhin, “pamomong” masyarakat Pedhut,
Cepogo yang juga merupakan seorang peneliti dan penulis buku yang cukup
produktif tentang kebudayaan Jawa). -Susiyanto
No comments:
Post a Comment