Menegok
kembali ke dalam beberapa materi ajar sejarah yang diberikan kepada
generasi muda Indonesia, dari pendidikan Dasar hingga bangku
perkuliahan, barangkali akan membuat kita terhenyak dan terheran-heran.
Sejumlah fakta atau bahkan opini terkadang hanya ditampilkan sekilas,
sehingga tidak jarang membentuk persepsi yang salah terhadap
substansinya. Pemaparan fakta yang bersifat demikian sudah tentu akan
membuka ruang bagi kesalahan penafsiran. Sejarah, bisa jadi, memang
berasal dari fakta tunggal yang kemudian ditafsirkan dengan menggunakan
berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan berbagai penafsiran
berbeda. Namun memaparkan fakta secara sekilas dan memberi ruang bagi
kesalahan penafsiran juga merupakan hal yang musti dihindari.
Sebut
saja, misalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh
serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah
pada tahun 1478 M atau 1400 saka. Dari mulai pelajaran Pendidikan Dasar
hingga lanjutan Atas bahkan di bangku perkuliahan, selalu dikemukakan
dalam sejumlah buku teks pelajaran sejarah bahwa faktor penyebab
keruntuhan Majapahit salah satunya adalah akibat serangan Demak.
Biasanya pernyataan ini tidak diikuti dengan pembahasan dan keterangan
lain secara jelas, terkait misalnya, mengapa Demak harus menyerang dan
lain sebagainya. Pernyataan ini seolah-olah memang memperlihatkan
superioritas dan keunggulan Demak di atas Majapahit. Namun jika ditilik
lebih mendalam, sebenarnya merupakan upaya untuk mengaburkan pandangan
bahwa Islam di Tanah Jawa telah disebarkan melalui praktik kekerasan
bersenjata dan pertumpahan darah. Tidak jarang juga dimanfaatkan untuk
menyerang pribadi Raden Patah, sebagai raja Islam pertama di Tanah Jawa,
sebagai ‘anak durhaka’ yang telah menyerang ayahnya sendiri, Prabu
Brawijaya V. Seringkali juga digunakan untuk menyerang pribadi para
ulama tanah Jawa, dalam majlis dakwah Walisanga, yang menjadi pendukung
bagi Kesultanan Demak. Oleh karena itu pemaparan sejarah yangt bersifat
demikian hendaknya segera dibenahi sebab dimuati sejumlah kepentingan
dan motif tersembunyi, terutama dalam mendiskreditkan dan memarginalkan
peran Islam di Tanah Jawa.
MAJAPAHIT, DEMAK, DAN KERUKUNAN AGAMA
Berdasarkan
kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai
20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak
Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2]
Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah
berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa
Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi
dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4]
Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa
berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah
disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit.
Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di
tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam
era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh
saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar
asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai
muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6]
Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah
menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi
dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan
beragama Islam.[7]
Bahkan,
jika menilik salah satu kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan
bahwa telah banyak bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam
dan tetap mengabdi kepada pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga
nampak di sana. Denys Lombard mengungkapkan bahwa di Jawa
Timur terdapat salah satu prasasti Arab tertua, yaitu parasasti Leran
dari abad ke-11, ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim,
yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka
tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di
situs ibu kota lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto
sekarang, di pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya,
L.-Ch. Damais telah menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada
beberapa yang memuat teks suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi
nama orang yang dikubur tidak pernah disebut (kecuali satu kali). Kalau
disebut,perhitungannya menurut tarikh saka, kecuali satu kali menrut
tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14 (1368, 1376, dan 1380 M) dan
delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475), tetapi mungkin saja ada
prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di salah satu
pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas disebut
secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang
Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah Islam bukan hanya
berkembang dikalangan rakyat jelata namun telah merambah kepada kalangan
bangsawan Istana Majapahit. Sementara itu kerukunan antar agama terjadi
pada masa itu.
Sementara
itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana
Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang
telah menganut agama Islam, sebagaiannya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[9]
Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama.
Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan
didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam
maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.
SENJA KALA TAHTA MAJAPAHIT
Jaman
keemasan Majapahit digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun
sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan.
Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan kepemimpinan generasi
selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah
kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada keahlian.
Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang merupakan faktor
penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah Mada,
kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai
perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga
menyebabkan melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu
penopangnya.
Pada masa Patih Gajah
Mada hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir berhasil menguasai
seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya pada masa
sebelumnya pun dianggap belum dapat melakukan proses penguasaan wilayah
seluas itu.[10]
Kejayaan Majapahit tersebut dibangun melalui peperangan dan penakhlukan
atas wilayah yang melampaui pulau Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang
bersifat demikian sudah tentu memiliki sejumlah konsekuensi turunan.
Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu
kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat mandiri. Hal ini berarti
kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan dirinya sebagai
negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah sebuah
wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh
Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah.
Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi
negara takhlukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain,
negara-negara taklukan tersebut yang menganggap Majapahit sebagai
penjajah.
Babad Soengenep,
misalnya, buku yang menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di
Madura ini, dengan jelas memaparkan kebencian masyarakat Soengenep
terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana proses
penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan
bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Kudapanole dalam melawan
agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.[11]
Walaupun buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun
semangat dari buku tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat.
Spirit yang digambarkan oleh babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang
kuat terhadap penjajahan dari negara lain. Sifat khas dari bangsa yang
ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian
juga cerita-cerita tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah
di Sumatra yang menimbulkan kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan,
penjarahan, dan pembakaran umumya hanya ditanggapi sebagai dongeng
belaka.[12] Termasuk kisah tentang pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13]
Juga cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari
secara “biasa saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah
kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan
antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu
Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya
hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno,
raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk
menjemput mempelainya.[14]
Namun yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal
Gajah Mada menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan
Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi namun justru
berakhir dengan peperangan dengan kematian sang Maharaja Pajajaran.
Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian umumnya hanya disikapi secara
‘dingin’ oleh para sejarawan.
H.
J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat
penyebab lain dari keruntuhan Majapahit adalah tidak loyalnya para
pelaku ekonomi terhadap pemerintahan Majapahit. Dikatakan bahwa mata
pencaharian utama rakyat Majapahit adalah bertani. Kaum petani ini
umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap Majapahit. Namun
demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan
bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerintahan Majapahit. Golongan
lain di luar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar.
Golongan tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan
perekonomian, namun justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit.
Sejak awal mereka telah merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan
Majapahit. Perceraian kedua golongan inilah, yaitu petani dan kaum
saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai salah satu penyebab
kerutuhan Majapahit pada masa selanjutnya.[15]
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dukungan terhadap pemerintahan Kerajaan
hanya ditopang oleh kesetiaan kaum petani. Loyalitas masyarakat petani
inipun umumnya bukan didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang
hakikat pemerintahan kerajaan. Sedangkan kaum pedagang dan orang-orang
kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian justru berada pada pihak yang
tidak loyal. Apalagi pasca rakyat kecil yang terdiri dari para petani
ini, pada masa selanjutnya justru banyak diantara mereka yang menganut
agama Islam, maka kekuatan pendukung Majapahit tersebut semakin
berkurang dan wibawa kerajaan semakin menurun drastis.
Dr. W. B. Sidjabat memiliki analisa
lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor penyebab tersebut
antara lain adalah sering terjadinya banjir besar di sungai Berantas,
salah satu sungai yang memiliki posisi strategis bagi pelayaran dan
ekonomi Majapahit. Hal ini mengakibatkan perniagaan-perniagaan di Sungai
Berantas terus berkurang. Lebih-lebih pasca meletusnya Gunung Kelud,
Sungai Berantas menjadi dangkal akibat aliran lahar dan muaranya maju ke
laut sehingga mengakibatkan pelayaran di Canggu berhenti sama sekali.
Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan turut memperlemah semua potensi
Majapahit.[16]
Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg
yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut
merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan
Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani
dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit.
Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak
dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah
Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan
namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah
kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab
utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai
pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian,
dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[17]
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis
wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang
terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama
lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sehingga
dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan
tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami
pengeroposan dari dalam.
Dengan
demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin
pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan
Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap
membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat
setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[18]
dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan
Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat
‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
Lantas
mengapa sejarah negeri ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait
dengan keruntuhan Majapahit buku-buku pelajaran sejarah seringkali
mengulang-ulang bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah serangan dari
Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut biasanya hanya dikemukakan
begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas mengapa Demak harus
menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya Demak dianggap
sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di Tanah
Jawa.
SERANGAN GIRINDRAWARDHANA, FAKTOR UTAMA
Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis”
menolak anggapan bahwa pihak yang telah menyerang Majapahit pada masa
Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom
serangan yang dianggap menewaskan Prabu Brawijaya V tersebut dilakukan
oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada”
menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam keraton
yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri.[20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.
Teori
penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh
Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana
ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun
setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat
serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang
berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa
seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar
upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud
dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana
berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana,
sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama Girindrawardhana.[21]
Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak
mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru
tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit
pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana
pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu
spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap
pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka
tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan
Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M
tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi
keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang
Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik gathuk
seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan
terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain
maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan
menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII)
maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa
kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu
Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas
siapakah Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana
atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau
Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit.
Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian
Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih
Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana
menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22]
Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa
Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada
masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau
Prabu Udara.
Pasca
perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan
Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara
tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunakan gelar Prabu Udara atau
Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya
disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri
di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu
Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian,
kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan
kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Sejarah mencatat
bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso
d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain
panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat
gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak
yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor)
menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah
kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang
terjadi.[23]
Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut
maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih
cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih
lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas
Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24]
Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana
adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya
berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25]
Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh
Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan
gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana
di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat
dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun
1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada
pun yang lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa
Pemerintahan Prabu Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26]
Motifnya, jelas upaya untuk mempertahankan kehormatan Islam dan
mengambil kembali tahta Majapahit yang merupakan hak sepenuhnya dari
sultan Demak. Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik
Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama
Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara
atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai
penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah
tidak terbukti. Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab
keruntuhan Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa
dierangkan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebabnya yang
melatarbelakanginya maka hal ini jelas merupakan paparan yang tidak
netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang urgen. Dengan kata lain
jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya,
informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak,
dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf,
mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan
merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan
sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota
Walisanga.[27] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad
yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang
penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana. Pengarang
babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan
antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28]
Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah
maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat
serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara
kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran
Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal
ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang
bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.
PENUTUP
Dengan
demikian dapat diketahui bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang
dilakukan oleh Demak terhadap Majapahit, awalnya terjadi karena
kesalahan pandangan dari para penulis cerita babad. Kesalahan ini
terjadi akibat menganggap sama dua tokoh yang sebetulnya berbeda, yaitu
Girindrawardhana dan Sunan Giri. Tidak jarang, sejarawan memanfaatkan
cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa sejarah. Terkait bahwa
cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi dalam penggambaran
sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha memelihara
“sejarah” dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan upaya
yang sarat kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.
No comments:
Post a Comment