Maksud dari Raja atau Datoe pertama Bolaang Mongondow secara pemahaman dan penamaan yang “Holistic maupun Konfrehensif ” nama tersebut adalah bukan cuma ditujukan hanya kepada putranya Tadohe’ atau dikenal juga dengan ayah kandung dari raja Jacobus Manoppo, tetapi sesuai uraian dan pedoman para penulis-penulis atau indolog-indolog Belanda termasuk W. Dunnebier sendiri, menggunakan salah satu peggangan, pandangan, acuan, atau tumpuan dalam mengkaji perihal manusia di zaman purba yang dikenal dalam pengistilahan bahasa Belanda dengan “SCHEPPPINGSVERHALEN”, yaitu “Perihal asal muasal, asal usul, cerita-cerita tentang terciptanya sebuah kerajaan dan lain sebagainya”.
Dalam konteks sejarah Bolaang Mongondow, maka pengertiannya antara lain yaitu merujuk kepada raja-raja Bolaang Mongondow yang masih diketahui ataupun yang sudah tidak diketahui lagi oleh masyarakat(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 hal. 12, dan hal. 13 dan di beberapa halaman lainnya) yang dikenal juga dengan nama “Ki Abo’ Mokoagow atau Ki Mokoagow”, karena seluruh raja-raja Bolaang Mongondow dari zaman purbakala sampai raja terakhir yaitu Raja H. J. C. Manoppo yang menjabat tahun 1943-1950 M juga mengunakan jabatan yang sama, yaitu gelar kepala kerajaan Bolaang Mongondow yang dikenal dengan sebutan, pewarta “Punu’(Raja) Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang melalui prosesi pengangkatan secara adat”.
Hal ini juga sesuai dengan pandapat ahli sejarah Inggris yang bernama Arnold J. Toynbee yang intinya kurang lebih bahwa dalam penulisan sejarah harus ada kesinambungan sejarah secara utuh dan menyeluruh dan tidak boleh dipenggal-penggal, dipotong-potong, dikusutkan/dikacaukan, dialihkan, dihilang-hilangkan/dihilangkan/tidak ditulis, diplestkan terus langsung didaulat tidak ada dimana hal ini merupakan suatu bentuk pemerkosaan terhadap peradaban tertentu untuk dimanipulasi lalu hasil manipulasi tersebut digolongkan atau dialihkan ke dalam peradaban yang lain dalam penulisan sejarah, seperti yang dilakukan oleh W. Dunnebier, para penguasa, dan sebagian tokoh adat pada saat itu termasuk antara lainnya yang berhasil dibongkar oleh W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72 yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” terhadap penulisan sejarah raja-raja kerajaan Bolaang Mongondow dan termasuk dalam buku karya-karyanya.
Sebagai contoh sederhana untuk memudahkan pengertian-pengertian tersebut dengan contoh-contoh penamaan lainnya, yaitu sebagai berikut :
1. Kepala kerajaan di kerajaan manapun disebut dengan Raja atau Ratu I, II, III, …, dst. Sesuai urutan periode masing-masing raja atau ratunya.
2. Kepala Kesultanan di manapun itu sering disebut dengan Sultan I, II, III, …, dst. Sesuai urutan periode masing-masing sultannya.
3. Kepala kekaisaran di kekaisaran manapun disebut dengan Kaisar I, II, III, … dst. Sesuai urutan periode masing-masing kaisarnya. dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Dengan penamaan-penamaan tersebut, yang digunakan untuk menamakan atau penyebutan kepada sebutan kepala-kepala kerajaan, kekaisaran, kesultanan dan lain sebagainya baik raja Pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, sama-sama pernah menyandang gelar yang sama, akan tetapi walaupun pernah menyandang jabatan raja yang sama, antara raja yang satu dengan raja lainnya, tentu berbeda pribadi atau orangnya satu sama lain begitu juga sebaliknya, dan berurutan sesuai masa atau periode masing-masing raja, sultan, kaisar dan seterusnya.
Namun kalau di kerajaan Bolaang Mongondow pada zaman sebelum dihapuskannya kerajaan ini pada tanggal 29 Juni tahun 1950, untuk penamaan kepala kerajaan Bolaang Mongondow secara adat pengangkatan raja disebut dengan “Punu’ Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang dari yang masih diketahui ataupun yang sudah tidak diketahui lagi oleh masyarakat”, yang mana dalam tulisan-tulisan maupun dokumen-dokumen Belanda cuma menulis nama pribadi secara perorangan, tanpa dijelaskan perihal dalam menyandang gelar raja secara adat Bolaang Mongondow tersebut, yang oleh pemerintah Belanda dikenal dengan pengistilahan…….“Maka hanya menyangkut atas “penobatan oleh penduduk secara kedalam”(W. Dunnebier tahun 1984 hal. 40).…. , yang maksudnya adalah Pengangkatan secara ke dalam oleh orang-orang atau pihak-pihak kerajaan Bolaang Mongondow, di mana dalam prosesi ini pemerintah Belanda tidak melibatkan diri secara langsung, sehingga dalam penulisan pada prosesi tersebut tidak diabadikan oleh pemerintah Belanda sendiri dalam arsip dokumen-dokumen Belanda, yang dibenarkan pula oleh Dunnebier dalam membicarakan pengangkatan Raja Jacobus Manoppo dengan “Gelar adat Raja-Raja Loloda Mokoagow atau yang biasa juga di sebut Datu Binangkang” pada tanggal 3 Oktober 1694, di mana juga gelar tersebut pernah dijabat oleh seluruh raja-raja Bolaang Mongondow lainnya.
Cuma sayangnya para indolog barat selama ini tidak menulis suatu buku dan semacamnya tentang prosesi pengangkatan raja-raja secara adat tersebut, walaupun para indolog-indolog yang bersangkutan membenarkannya. Sehingga berdasarkan bukti tersebut dipastikan bahwa penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow hanya menyangkut kontrak Belanda dengan kerajaan Bolaang Mongondow dari periode-periode raja-raja Manoppo(atau tidak berlaku untuk keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow yang bukan keturunan Raja-Raja Manoppo), dan tidak memuat prosesi-prosesi adat tersebut, apa terlebih raja-raja Bolaang Mongondow pada era jauh sebelum periode raja Tadohe’(Raja Tadohe’ memerintah 1661-1670 M atau berkuasa kurang lebih Sembilan tahun lamannya).
Bersambung ke tulisan yang berjudul “PERJANJIAN PALOKO DAN KINALANG DI TUDU IN BAKIN TERLETAK DI SEBELAH UTARA DESA PONTODON TERNYATA JUGA DILAKUKAN OLEH RAJA-RAJA BOLAANG MONGONDOW SEBELUM TADOHE’(RALAT III) “.
SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow)
No comments:
Post a Comment