(RALAT I)
Dari contoh yang sederhana tersebut, kita juga dapat melihat kasus penamaan kepada ayahnya Raja Jacobus Manoppo yang notabennya adalah juga putranya Tadohe’, di mana apakah dapat diperkenankan penulisan berulang, mengingat nama Loloda Mokoagow dalam kasus ini mempunyai dua konteks yang berbeda, yaitu pertama nama sebagai nama bawaan sejak kecil, dan ke-dua nama sebagai gelar yang diberikan secara adat pada waktu ia menjabat sebagai raja Bolaang Mongondow pada tahun 1670-1695 M, yang notabennya juga pernah diberikan kepada seluruh Punu-Punu’(Raja-Raja) Bolaang Mongondow lainnya sejak zaman purbakala termasuk yang pernah disandang oleh raja Tadohe’, raja Jacobus Manoppo dan lain sebagainya.
Jadi menurut penulis tata cara dan kaidah-kaidah penulisan untuk menghindari panulisan kata yang sama secara berulang tetap ada, tetapi kata yang sama dalam konteks yang berbeda jelas ada penjelasan khusus terhadapnya, apakah itu ditulis ulang atau bagaimana, tujuannya guna menghindari kekeliruan dalam penafsiran maupun pemahaman apa terlebih persoalan ini adalah menyangkut nama orang maupun nama jabatan yang sama yang dipakai oleh banyak orang secara turun temurun, seperti kasus nama atau penamaan gelar raja pada putranya Tadohe’ atau juga ayahnya Jacobus Manoppo, yang bernama Tuang Loloda Mokoagow. Jadi intinya adalah penamaan ganda pada nama Tule’ Loloda Mokoagow yang berbeda dalam konteks nama kecil dan konteks sebagai penamaan atau pewarta kepada nama gelar para raja yang pernah disandang oleh raja-raja Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah Tule’ Tadohe’, di mana Tadohe’ sendiri juga pernah menyandang gelar tersebut pada waktu menjadi raja dan disebut juga dengan nama “Punu’(Raja) Loloda Mokoagow” periode tahun (1661-1670 M). Adapun tahun 1600 M Tadohe’ memerintah itu hanya perkiraan W. Dunnebier saja di mana ia sendiri mengakui tidak dapat memastikan perihal tahun tersebut.
Selama ini dalam pembahasan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow, salah satunya juga lebih berorientasi kepada seni dan budaya, dan belum pernah disoroti dari sisi-sisi ilmu politik dan pemerintahan, sedangkan kerajaan adalah pemerintahan yang pekerjaannya yaitu melakukan proses politik. Para budayawan atau seniman, mereka merasa tabu untuk merobah atau mengubah tulisan sejarah kerajan Bolaang Mongondow untuk dikaji dari berbagai sisi dan metode kajian politik maupun kajian pemerintahan. Hal ini bisa kita maklumi dari keterbatasan-keterbatasan para seniman maupun budayawan dalam melihat sisi-sisi proses perkembangan perpolitikan kerajaan Bolaang Mongondow. Menurut kaca mata seniman dan budayawan, mereka tidak mampu membaca unsur-unsur perpolitikan dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow padahal kehidupan kerajaan adalah proses perubahan politik yang selalu disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan zaman.
Maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow DIGIRING KE KEBUDAYAAN(BUDAYA) DAN KESENIAN(SENI) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.
Dalam penulisan sejarah Bolaang Mongondow oleh W. Dunnebier dan diikuti oleh para penulis kontemporer pengikut ala bantahan W. Dunnebier dalam penulisannya terhadap sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kental dengan pemelintiran sejarah sebab banyak raja-raja Bolaang Mongondow lainnya tidak ditulis bahkan dihilang-hilangkan maupun diplesetkan lalu di daulat tidak ada, sebagai bukti dapat kita lihat dalam TULISAN W. DUNNEBIER tahun 1984 halaman 12, 13 yang berbunyi :
“Tentang para pengganti tertua dari Mokodoludut (atau “Raja Loloda Mokoagow” yang juga terkenal dengan nama “Datu Binangkang” berdasarkan sumber data dan literatur yang ada=Tambahan penulis), sejauh dapat diketahui oleh atau penulis(W. Dunnebier) riwayatnya turun-temurun sudah sangat kurang. Untuk itu hanya yang berikut yang dapat di paparkan : …..”, dan pada halaman-halaman yang lainnya.
Hal ini juga sesuai dengan pandapat ahli sejarah Inggris yang bernama Arnold J. Toynbee yang intinya kurang lebih bahwa dalam penulisan sejarah harus ada kesinambungan sejarah secara utuh dan menyeluruh dan tidak boleh dipenggal-penggal, dipotong-potong, dikusutkan/dikacaukan, dialihkan, dihilang-hilangkan/dihilangkan/tidak ditulis, diplestkan terus langsung didaulat tidak ada dimana hal ini merupakan suatu bentuk pemerkosaan terhadap peradaban tertentu untuk dimanipulasi lalu hasil manipulasi tersebut digolongkan atau dialihkan ke dalam peradaban yang lain dalam penulisan sejarah, seperti yang dilakukan oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu antara lainnya W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72 yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” terhadap penulisan sejarah raja-raja kerajaan Bolaang Mongondow termasuk dalam buku karya-karyanya dan para penulis kontemporer lokal lainnya.
Bersambung ke tulisan yang berjudul : “RAJA-RAJA BOLAANG MONGONDOW TERMASUK RAJA MANGGOPAKILAT JUGA DISEBUT DATU BINANGKANG ATAU RAJA LOLODA MOKOAGOW
SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya.
No comments:
Post a Comment