MOKOAGOW : berasal dari gabungan kata “Moko” yaitu dapat berbuat atau mewujudkannya, dan kata “Agow” yaitu kepiawaian dalam tipu, tipu muslihat, tipu daya, menguasai, menaklukan dan lain sebagainya. Jadi kata Mokoagow artinya, yaitu kemampuan seseorang untuk dapat memiliki, menguasai ataupun menaklukan sesuatu karena kepintaran, kelihaian, kejeniusan, kepiawaian, kepandaian, keperkasaan, kekuatan, kemampuan, kekuasaan dan lain sebagainya.
BINANGKANG : berasal dari gabungan awalan “bi” dan kata “bangkang”. Bi yaitu awalan yang merujuk kepada sesuatu yang diperbuat atau dilakukan, dan kata “bangkang” artinya, yaitu tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya.
Sehingga apabila digabungkan menjadi kata “Mokoagow atau Binangkang” mempunyai artian sebagai wujud ketaklukan orang lain kepada seseorang yang dikenal karena ke Mokoagowannya atau kemampuan dan kepiawaiannya dalam menaklukan orang lain dan segala sesuatunya. Adapun seluruh raja-raja Bolaang Mongondow dan keturunannya selama ini khususnya dalam penggunaan nama pribadi biasanya juga digunakan nama panggilan “ABO’ untuk laki-laki dan BUA’ untuk wanita”di awal atau di depan nama kecil ataupun nama besar.
Adapun perbedaan dan persamaan kata “BINANGKANG” dengan kata “BINANGKANGAN” adalah dua kata yang sangat jauh berbeda artinya yang mana Binangkang terdiri dari awalan “bi” yaitu telah melakukan atau telah diperbuat dan kata “bangkang” yang artinya melakukan tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya, sehingga Binangkang artinya yaitu telah melakukan tipu, tipu muslihat, tipu daya, memiliki, menaklukan, menguasai, dan lain sebagainya. Sedangkang kata Binangkangan terdiri dari awalan “bi”, ”Bangkang”, dan akhiran “an”, yang mana akhiran “an” dalam kata binangkangan jelas sudah merubah arti yaitu merujuk kepada orang yang dikibuli bukan lagi pihak yang melakukan perbuatan menguasai, menaklukan, dan lain sebagainya sebagai wujud ketaklukan orang lain kepada seseorang yang dikenal karena sifat, tabiat dan kelakuan Binangkangnya(bukan Binangkangan) sehingga perbedaan antara kedua kata tersebut adalah di mana kata Binangkang merujuk kepada pribadi yang melakukan ekspansi sedangkan Binangkangan merujuk kepada pihak yang diekspansi, dikuasai atau dikibuli menimbulkan kerancuan akan tetapi bagi yang faham dan menguasai bahasa Mongondow secara utuh maka kerancuan tersebut akan mudah dijelaskan,
dan “Dalam sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow tidak ada gelar Datu Binangkangan tetapi yang ada adalah gelar Datu Binangkang”. Nah para penulis kontemporer karena tidak bisa atau tidak menguasai bahasa Mongondow yang mana tidak bisa menguraikan sesuai tata bahasa Mongondow berdasarkan keterbatasannya sehingga salah eja dan salah dalam mengartikan arti dari kata Binangkang dan kata Binangkangan secara holistic dan konfrehensif dalam segala pemahamannya. Dalam gelar Para Raja Bolaang Mongondow bukan Datu Binangkangan tetapi disebut “Datu Binangkang”. Jadi akhiran “an” dikeluarkan atau tidak dipakai.
Kejadian terhadap ayahnya Loloda Mokoagow ayahnya Raja Jacobus Manoppo atau putranya Raja Tadohe’ bukan karena ia dikibuli tetapi ayahnya Raja Jacobus Manoppo tersebut adalah mempunyai garis politik yaitu disekutui oleh Spanyol sedangkan Raja Jacobus Manoppo adalah bergaris politik yang disekutui oleh Belanda(pengganti Portugis) yang bergabung dalam garis politiknya Raja Paputungan sehingga kita bisa tahu bahwa ketidak cocokan tersebut karena konstalasi politik antara kedua pihak baik di kedua kerajaan Eropa tersebut maupun kedua dinasti Bolaang Mongondow yaitu dinasti keturunan-keturunan Raja Yayubangkai maupun dinasti keturunan-keturunan Raja Pondadat dan anaknya yang bernama Raja Ponamon, yang kedua dinasti Bolaang Mongondow tersebut notabennya adalah sama-sama keturunan langsung dari Punu’ Molantud Mokodoludut.
Jadi unsur politik dan perpolitikan yang terjadi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow sangat dipengaruhi oleh persaingan kedua dinasti keturunan Punu’ Molantud Mokodoludut yang mana Spanyol (pernah menjajah Portugis dan Belanda) berpihak kepada dinasti para keturunanatau Raja Yayubangkai, dan Belanda beserta Portugis(yang pernah dijajah Spanyol) berpihak kepada dinasti para keturunan Raja Pondadat dan anaknya Raja Ponamon yang mana antara Spanyol dan Belanda-Portugis seperti perpanjangan permusuhan ketiga kerajaan tersebut yang mempunyai permasalahan dendam lama di Eropa juga turut bergabung, berpihak, berkonstalasi dan memboncengi konstalasi persaingan perpolitikan antara keturunan-keturunan dari kedua putranya Punu’ Molantud Mokodoludut itu sendiri yaitu antara dinasti keturunan-keturunannya Raja Pondadat vs dinasti keturunan-keturunannya Raja Yayubangkai dalam memperebutkan tahta “Punu’ Molantud” kerajaan Bolaang Mongondow secara turun temurun.
Adapun sebagai penghargaan kepada kerajaan-kerajaan eropa tersebut maka para dinasti keturunan Punu’ Molantud tersebut memberikan tanah konsesi atau tanah/wilayah ijin pakai dalam jangka waktu tertentu yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Sebagai contoh Punu’ Molantud Paputungan atau Raja Loloda Mokoagow pernah memberikan tanah konsesi kepada Belanda sekitar tahun 1653 dan sebagai ketaatan Belanda kepada Raja Paputungan Belanda sangat menjunjung tinggi dan mengormati keturunan-keturunan Raja Paputungan termasuk cucunya Raja Paputungan yang bernama Raja Marcus Manoppo yang dapat kita lihat dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 52 MARCUS MANOPPO baris ke-17(tujuh belas) kata ke-6(enam) sampai baris ke-22(dua puluh dua) yang berbunyi :
“Dalam memori penyerahan tgl. 20 Agustus 1778 Gubernur Valckenaar lukiskan, “Marcus Manoppo seorang yang cakap mampu dan disegani, berasal dari keluarga terhormat”. (G. M., hal.130 dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 52). Dan dapat kita ketahui bersama bahwa dalam pengangkatan raja Bolaang Mongondow di periode raja-raja Manoppo Pemerintah Belanda memprioritaskan Raja-Raja Manoppo dari keturunan Paputungan, sebagai contoh yaitu Raja Eugenius(Egenus) Manoppo ibunya yang bernama Bua’ Pogu’ Paputungan adalah putri langsung dari Raja(Punu’) Molantud Paputungan dengan Bua’ Buako’ Manoppo(kakak kandung dari Raja Tadohe’), dan Raja Marcus Manoppo ayahnya bernama Punu’ Molantud Damopolli(Inta Kinalang) adalah putra langsung dari Punu’ Molantud Paputungan dengan Bua’ Buako’ Manoppo(kakak kandung dari Raja Tadohe’).
Jadi kita dapat mengetahui bahwa seluruh raja-raja Bolaang Mongondow yang dapat diketahui maupun sudah tidak dapat diketahui lagi, juga menyandang gelar yang sama berdasarkan data yang ada, yaitu raja-raja Bolaang Mongondow yang dikenal dengan nama “RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW” atau “PARA DATU BINANGKANG”, dan penamaan-penamaan lain dari fam-fam tersebut di Bolaang Mongondow maupun daerah lain, di mana yang lainnya sudah beralih fam, dengan menggunakan nama nenek, atau nama kakek, sebagai penamaan pada fam atau marga oleh keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang telah diuraikan sebelumnya sebagai “keturunan raja-raja atau kaum mododatu(golongan raja Mongondow)”.
Adapun bukti terhadap penamaan bahwa Raja Loloda Mokoagow itu bukan cuma ayahnya Raja Jacobus Manoppo dan Raja Makalunsenge yaitu dapat kita lihat dalam buku “Tidjschr. Ind. T. L. en Vl., deel XXXV pada halaman 32(yang juga berisikan antara lain pasal 2 berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”)”, mengatakan “Raja-Raja Loloda Mokoagow” atau “Radja-Radja Binangkong” yang mana bukan hanya menyebutkan “Raja” saja tetapi “Raja-Raja” yang menerangkan kata “Raja” secara jamak atau lebih dari satu orang yang artinya adalah banyak.
RAJA LOLODA MOKOAGOW atau DATU BINANGKANG : Berasal dari gabungan kata “Punu’, Tule’, Datu, atau raja itu sendiri”; “Loloda”; “Mokoagow”; , dan “Binangkang”. Dengan mengacu kepada definisi dan artian, uraian kata, dan pengistilahan yang sudah berlaku sejak zaman purbakala sebagaimana tersebut di atas, dari berdasarkan sumber-sumber data dan literatur yang ada, maka sebutan ini mempunyai arti, yaitu Raja yang disegani karena kemampuan, kepiawaian, kekuatan dan kehendaknya dalam memerintah, menguasai dan menaklukkan daerah-daerah lainnya di bawah kekuasaan besarnya atau juga disebut “Sang Penakluk Besar Yang Disegani atau Datu Binangkang”.
Dengan berdasarkan penjelasan dan uraian-uraian tersebut di atas, disamping kita mendapatkan dan menemukan kejanggalan-kejanggalan atas penamaan Loloda Mokoagow itu sendiri, dalam upaya pengkultusan W.Dunnebier kepada putranya Tadohe’ atau juga ayah dari Raja Jacobus Manoppo dari maksud “Upaya keturunan Tadohe’ dalam Pentadohe’an raja-raja Bolaang Mongondow yang bukan Tadohe’ yang didaulat sebagai Tadohe’dalam sejarah yang diangkat oleh Dunnebier“, juga telah menjelaskan kepada kita akan kebohongan-kebohongan sejara yang berdampak secara sistemik yang dalam pendekatan ilmu sejarah disebut sebagai bentuk “mis information sejarah atau manipulasi data-data sejarah” guna untuk kepentingan penguasa-penguasa dan sebagian tokoh adat saat itu yang ditulis dalam buku karyanya yang berjudul “Over de Vorsten Van Bolaang Mongondow” Dalam penulisan sejarah Bolaang Mongondow oleh W. Dunnebier tersebut dan diikuti oleh para penulis kontemporer pengikut ala bantahan W. Dunnebier dalam penulisannya terhadap sejarah kerajaan Bolaang Mongondow kental dengan
pemelintiran sejarah sebab banyak raja-raja Bolaang Mongondow lainnya tidak ditulis bahkan dihilang-hilangkan maupun diplesetkan lalu di daulat tidak ada.
Sebagai bukti dapat kita lihat dalam TULISAN W. DUNNEBIER tahun 1984 halaman 12, 13 yang berbunyi : “Tentang para pengganti tertua dari Mokodoludut (atau “Raja Loloda Mokoagow” yang juga terkenal dengan nama “Datu Binangkang” berdasarkan sumber data dan literatur yang ada=Tambahan penulis), sejauh dapat diketahui oleh penulis(W. Dunnebier) riwayatnya turun-temurun sudah sangat kurang. Untuk itu hanya yang berikut yang dapat di paparkan : …”, dan pada halaman-halaman yang lainnya. Hal ini juga sesuai dengan pandangan ahli sejarah Inggris Arnold J. Toynbee yang intinya kurang lebih bahwa dalam penulisan sejarah harus ada kesinambungan sejarah secara utuh dan menyeluruh dan tidak boleh dipenggal-penggal, dipotong-potong, dikusutkan/dikacaukan, dialihkan, dihilang-hilangkan/dihilangkan/tidak ditulis, diplestkan, dan lain sebagainya terus langsung didaulat tidak ada dimana hal ini merupakan suatu bentuk pemerkosaan terhadap peradaban tertentu untuk dimanipilasi lalu hasil manipulasi tersebut digolongkan atau dialihkan ke dalam peradaban yang lain dalam penulisan sejarah atau pembohohan sejarah, seperti yang dilakukan oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu terhadap penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang antara lainnya dengan menghilangkan dan tidak menulis sertakan fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan di dalam tulisan ini berdasarkan data-data yang ada termasuk bukunya yang berjudul “Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow yang artinya Mengenal Sejarah Raja-Raja Bolaang Mongondow”.
Sebagai bukti yang ada yaitu W. Dunnebier sendiri tidak bisa menerangkan yang mana Loloda Mokoagow itu, karena ternyata Loloda Mokoagow itu banyak, sehingga ia sendiri kebingungan dan akhirnya menyatakan tidak bisa menerangkan perihal tahun penamaan, ditujukan kepada siapa-siapa nama tersebut, dan siapa raja ini sebenarnya Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 30 baris ke-31 kata pertama sampai baris ke-32 kata ke-2 yang berbunyi :
“Dalam tahun berapakah Loloda’ Mokoagow Raja, penulias(W. Dunnebier) tidak dapat mengatakannya”. Kekeliruan W. Dunnebier tersebut dapat kita maklumi karena iapun sendiri hanya menyandarkan data-data maupun temuan lapangan yang hanya berdasarkan pada paparan dan penuturan-penuturan secara sepihak dari keturunan-keturunannya Tadohe’ yang notabennya juga adalah leluhur dari penulis sendiri yang diwarisi oleh penulis melalui jalur keturunan dari raja-raja Manoppo seperti : Jacobus Manoppo(1691-1730 M); Salomon Manoppo(1735-1748 M, dan 1756-1764 M); Manuel Manoppo(1779-1823 M); Egenus Manoppo(1764-1770 M); Markus Manoppo(1770-1779 M); Cornelis Manoppo(1823-1829 M);, dan Fransiscus Manoppo(1731-1735 M).
Juga dapat kita lihat pada daftar isi penulisan bukunya yaitu “Over De Vorsten Van Bolaang Monogndow” , ternyata literatur atau daftar pustaka dalam buku tersebut, tidak menunjukan dan mewakili sedikitpun sebagai bentuk keterwakilan fam-fam orang Bolaang Mongondow pada umumnya, di mana sesuai data yang ada adalah seluruhnya keturunan para raja Bolaang Mongondow selain dari pada keturunannya Raja Jacobus Manoppo dan dalam bilbiografi(daftar pustaka) tersebut Cuma melampirkan catatan dari pihak manoppo(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 86 sampai halaman 87 yang mana pada alaman 87 tersebut pada baris ke-3(tiga) kata pertama sampai dengan baris ke-6(enam) kata ke-4(empat) yang berbunyi :
“Salinan dari karya Raja Datoe Cornelis Manoppo yang hanya ditulis dengan tangan, bertanggal 31 Agustus 1909 dan berjudul : Hikayat kerajaan Bolaang Mongondow moelai dari zaman poerbakala hingga pada masa kini”. Sehingga menurut pandangan penulis dalam penulisan buku tersebut berdasarkan kepada bukti-bukti yang ada, ternyata lebih cocok juga diberi judul “Tadoheisme” atau juga “Pentadohean Raja-Raja Bolaang Mongondow yang Bukan Tadohe” sebagai upaya pengkultusan kepada Tadohe’ cs”, yang mulai marak nanti sejak buku tersebut dirilis termasuk pada tahun-tahun terakhir dirilisnya kembali pasca berakhirnya kerajaan Bolaang Mongondow pada tahun 1950.
Adapun daftar silsila tahun 1836 adalah bentuk salinan langsung dari tulisan tangan Raja Jacobus Manoppo yang hampir sebagian sudah tidak jelas terbaca lagi seluruhnya dan dapat kita Lihat dalam W Dunnebier tahun 1984 halaman 43 atau halaman Fransiskus Manoppo baris ke-9 kata ke-9 sampai baris ke-10 kata ke-9 yang berbunyi sebagai berikut :
“……, namun nama-nama mereka dengan tulisan tangan aslinnya tidak terbaca seluruhnya”., sehingga dengan jelas menerangkan kepada kita bahwa datanya sudah tidak akurat lagi mewakili seluruh fam-fam orang Mongondow yang notabennya adalah semuanya adalah keturunan dari para raja Bolaang Mongondow itu sendiri, apa terlebih dalam buku tersebut hanya menguraikan leluhur dari raja-raja Manoppo saja, itupun tidak lengkap secara utuh, karena masih ada yang dihilangkan, antara lainnya seperti : Yayubangkai; Ponamon; Mamonto; Damokiong; Paputungan; Kolopita; Ginoga; Dakotegelan; Koinsing; Simbala; Raja(Tuang) Cornelis Kobandaha(asal usul marga Kobandaha yang dikenal juga dengan nama MOKOAGOW yang dijelaskan sebagai kakak beradik atau kakak kandungnya Raja Tadohe’ dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 15); Damopolii putranya Paputungan; Damopolii putranya Yayubangkai; Busisi; Makalalo; Mokodompit; Binangkang Tumulung Mokoagow dan fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini dikenal juga dengan salah satu dari para raja Bolaang Mongondow yang menggunakan nama gelar dan julukan “Mokoagow” dan lain sebagainya, Juga raja yang diangkat resmi lewat kontrak dengan pemerintah Belanda tanggal 30 Oktober tahun 1773, yaitu Raja Markus Manoppo atau cucu langsung dari raja Paputungan dan raja Jacobus Manoppo sendiri, diangkat sebagai raja dan terkenal namanya secara adat dengan gelar Raja Loloda Mokoagow atau juga nama panggilan sehari-harinya, yaitu “Ki Mokoagow atau Ki Abo’ Loloda Mokoagow”, ternyata secara terbukti dihilangkan di dalam daftar hikayat tersebut dalam tulisannya W. Dunnebier tahun 1984 halaman 39, ini sesuai juga dengan temuan lapangan lewat penuturan keturunan-keturunan raja ini di desa Nuangan, Tabang, Pobundayan, Poyowa Besar, Matali’ desa Paku di Bolaang Itang terletak di kabupaten Bolaang Mongondow Utara seperti keturunannya Abo’ Busang Limandatu Manoppo-Mokoagow(BLM), dan lain sebagainya di tempat-tempat lainnya.
Keterjebakan terhadap penamaan nama pribadi dan gelar raja Loloda Mokoagow oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian tokoh adat pada saat itu antara lainnya adalah sebagai berikut :
Adapun keterjebakan tentang penamaam “Loloda Mokoagow” oleh Dunnebier selama ini secara turun temurun, sengaja ataupun tidak disengaja, telah menghapuskan, memelintirkan, merobah, memutarbalikan, dan membelokkan makna dari penamaan Punu’ atau Raja Loloda Mokoagow itu sendiri, yang Dunnebier kultuskan hanya kepada putranya Tadohe’ atau juga ayah kandungnya Jacobus Manoppo, yang diakibatkan oleh keterbatasan Dunnebier dalam menerapkan, menjelaskan, menguraikan, ruang lingkup wawasannya, analisa, penjelasan yang kurang atau jauh sekali dari pada cukup, termasuk penggunaan bahasa dan lain sebagainya.
Sehingga keterjebakan penamaan tersebut telah menciptakan kekeliruan pengistilahan maupun pewartaan atau sebutan kepada nama atau juga gelar punu’-punu’(raja-raja) Bolaang Mongondow secara keseluruhan yang seolah-olah hanya dikenal pada nama kecil dari putra punu’ Tadohe’ karena akibat mempunyai nama yang sama atau GANDA(double atau juga pengertian dan pemahaman yang confusion/Konfusi=yang menyebabkan kekacauan, kebingungan, kekusutan/kusut dan kerusakan dalam pengistilahan dan pemahaman dalam tata bahasa dan tata penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow secara sistematis dan intelektual) yang disandangnya bersamaan secara kebetulan, yaitu sebagai berikut :
1. Loloda Mokoagow sebagai nama bawaan sejak kecil dari ayahnya Raja Jacobus Manoppo atau juga putra Tadohe’.
2. Loloda Mokoagow yaitu sebagai gelar kepala kerajaan(raja) Bolaang Mongondow yang sudah dipakai sejak zaman purbakala, yang pernah juga dijabat oleh seluruh leluhur-leluhurnya orang Bolaang Mongondow, di mana pula nama tersebut sering dipakai oleh keturunan-keturunan para punu’ Bolaang Mongondow sebelum dan sesudah periode Tule’ Tadohe’ secara turun temurun, dan dapat dilihat pada daftar silsila dari berbagai sumber literatur dan data-data yang ada dimana juga pihak leluhurnya Tadohe’ termasuk Tadohe sendiri dimasa berada dalam kekuasaan pihak leluhurnya Raja Paputungan dan Tadohe beserta leluhur dan keturunan-keturunannya pernah menjabat dan berstatus sebagai Kohongian, Simpal, Tahiq, Yobuat, Nonow, atau ata(bawahan) sesuai siklus, roda perjalanan waktu dan silih bergantinya periode-periode kepemimpinan sebagai raja tertinggi maupun raja bawahan atau taklukan di bawah kekuasaan tertinggi raja-raja Bolaang Mongondow.
Dari penjelasan tersebut telah menjelaskan kepada kita bahwa kita bisa melihat, menangkap, dan membedakan perihal nama tersebut apakah hanya untuk nama kecil ataupun nama sebutan sebagai gelar jabatan raja secara turun-temurun. Untuk menghindari penggunaan nama yang ganda atau double semacam itu dalam tata bahasa manapun, selalu dihindari pengulangan kata yang sama, tetapi pada konteks nama ayahnya raja Jacobus Manoppo jelas ada bedanya, pengulangan nama punu’ Loloda Mokoagow tersebut biasa dipahami, akan tetapi untuk memberikan kejelasan dari substansi seperti pada kasus putranya Tadohe’, maka harus ada penjelasan yang rinci, konfrehensif, holistik dan sistematis, agar tidak terjadi kejanggalan dalam pemahaman terutama oleh generasi-generasi yang akan datang , agar sejarah yang benar dan berimbang itu tetap terjaga dan terpelihara kemurniannya dari kepentingan-kepentingan selain dari pada kepentingan ilmu pengetahuan, yang mempunyai kepentingan besar dalam upaya penghilangan dan pemelintiran identitas sejarah kerajaan Bolaang Mongondow.
Keterjebakan pemakaian kata dan tata bahasa yang terjadi dalam menjelaskan secara substansial penamaan nama gelar Datu Loloda Mokoagow kepada keturunan-keturunannya sebagai nama kecil saja, berbeda sekali dengan nama sebagai gelar jabatan bagi para Tuang kerajaan Bolaang Mongondow selama ini, memang namanya sama tetapi konteks penggunaan dan pemakaiaan nama tersebut jelas dapat kita bedakan, yaitu sebagai nama kecil kepada keturunan-keturunan pada umumnya, maupun sebagai pewarta pada nama jabatan. Sebagai Ilustrasi contoh yang sederhana lainnya terhadap penamaan ganda atau double semacam itu, antara lainnya sebagai berikut :
“Ada seorang pengusaha sukses bernama Pak Haji Wiliem Intau Orkay, beliau menggunakan nama “Haji” di depan namanya, karena atas pemberian ayah kandungnya yang bernama Pak Jordan Ki Ama Orkay kepada anaknya yang bernama Pak Haji Wiliem Intau Orkay tersebut sejak lahir.
Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay ini sudah menginjak usia 51 tahun. beliau telah menunaikan ibadah wajib yaitu rukun islam yang kelima bagi umat islam atau ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay pulang kembali ke tanah air dari selama perjalanan menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah, oleh masyarakat di manapun terutama umat islam, otomatis akan memberikan sebutan dan gelar kepada orang-orang yang telah usai menjalankan ibadah tersebut dengan gelar atau nama “Haji(Hi.)” bagi pria dan “Haja(Hj.)” bagi wanita di depan nama, seperti nama gelar yang biasa digunakan sebagai nama apakah itu gelar atau status kesarjanaan maupun status sosial, pangkat, jabatan, dan lain sebagainya.
Timbul pertanyaan. Setelah Pak Haji Wiliem Intau Orkay selesai menunaikan ibadah tersebut, untuk nama panggilan Pak Haji akan digunakan nama yang bagaimana? Apakah masyarakat akan memanggilnya Pak Haji(Hi.) Haji Wiliem Intau Orkay? Yang mana sudah terjadi pengulangan kata yang sama pada kata haji pertama yang digunakan untuk gelar telah usai menunaikan ibadah haji, dan kata haji kedua yaitu nama yang digunakannya sejak ia masih kecil yang diberikan oleh Pak Jordan Ki Ama Orkay ayah dari Pak Haji Wiliem Intau Orkay tersebut.
Apakah kata atau nama tersebut diucapkan atau ditulis dua kali?. Disinipun kita akan dipertemukan dengan kendala pemakaian nama atau sebutan dalam konteks yang berbeda. yaitu nama sebagai nama kecil yang dipakai sejak lahir dan nama panggilan atau gelar kepada seseorang karena jabatan, gelar dan semacamnya yang sama di mana keduanya disandang oleh orang yang satu, yang dalam contoh kasus perihal penamaan pada nama orang di sini kita ibaratkan yaitu Pak Haji Wiliem Intau Orkay.
Untuk orang yang tidak menggunakan nama haji sebagai nama kecil sejak lahir otomatis penambahan nama atau gelar haji apabila sudah menunaikan ibadah tersebut tidak akan menemukan masalah dalam tata bahasa terutama dalam penamaan nama pribadi dan nama gelar jabatan dan lain sebagainya, tetapi khusus pada kasus nama yang ganda dari Pak Haji Wiliem Intau Orkay bagaimana?. Apakah kebetulan bila kita bertemu atau berpapasan dengannya kita akan memanggil dan menyapanya dengan sebutan Selamat pagi Pak Haji Haji?, Bagaimana kabarnya Pak Haji Haji?, Hallo apa kabar Pak Haji Haji?, dan seterusnya. (Nama atau pribadi Pak Haji Jordan Ki Amai Orkay dan Pak Wiliem Intau Orkay dari contoh ilustrasi di atas adalah hanya fiktif belaka, dan diambil berdasarkan kenyataan atau fenomena dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekedar saja digunakan hanya sebagai contoh perihal penamaan yang ganda atau sama pada seseorang). Bersambung ke tulisan yang berjudul “SAMBUNGAN ARTI RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG(RALAT I)”.
SUMBER DATA : Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”; dan lainnya. Untuk konvirmasi data-data sejarah atau hikayat maupun daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda’ Mokoagow)
No comments:
Post a Comment