Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja.
Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau.
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama.
Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung.
Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya.
Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama.
Beliau diberi gelaran : Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda.
Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan.
Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi.
Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana.
Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali.
Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja.
Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri.
Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir.
Semua raja berbakti kepada cucu putra Girinata.
Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara.
Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka.
Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali.
Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar.
Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali.
Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.
Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali.
Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja.
Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh.
Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana.
Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu, tunduk menengadah.
Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri Buwana yang sulung, luput dari cela.
Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati.
Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
Pernikahan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga.
Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti.
Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati.
Setitah raja diturut, menggirangkan pandang.
Tingkah laku mereka semua meresapkan.
Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan putranya di Kediri.
Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara.
Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau.
Dan di pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.
Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta.
Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik.
Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari.
Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha.
Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh.
Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan.
Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Paduka.
Tahun Saka 1250, beliau berpulang.
Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama.
Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah.
Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda Rajapatni.
Sumber bahagia dan pangkal kuasa.
Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta.
Tahun Saka 1253 sirna musuh di Sadeng, Keta diserang.
Selama bertakhta, semua terserah kepada Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat, tenteram".
Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah.
Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki.
Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia.
Dewa asalnya, titisan Girinata.
Barang siapa mendengar kisah raja.
Tak puas hatinya, bertambah baktinya.
Pasti takut melakukan tindak jahat.
Menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Paduka Empu minta maaf berkata : "Hingga sekian kataku, sang rakawi.
Semoga bertambah pengetahuanmu.
Bagai buahnya, gubahlah puja sastra".
Habis jamuan rakawi dengan sopan.
Minta diri kembali ke Singasari.
Hari surut sampai pesanggrahan lagi.
Paginya berangkat menghadap Sri Paduka.
Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu.
Lengkap dengan senjata, kuda dan kereta.
Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak.
Bala bulat beredar membuat lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat.
Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru den membakar.
Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur.
Api tinggi menyala menjilat udara.
Seperti waktu hutan Alaspati terbakar.
Lihat rusa-rusa lari lupa daratan.
Bingung berebut dahulu dalam rombongan.
Takut miris menyebar, ingin lekas lari.
Malah manengah berkumpul tumpuk timbun.
Banyaknya bagai banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci.
Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa.
Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat?
Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari.
Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat.
Kijang menjawab : "Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari.
Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin".
Kaswari, rusa dan kelinci setuju.
Banteng berkata : "Amboi! Celaka kijang, sungguh binatang hina lemah.
Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati.
Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban." Kerbau, lembu serta harimau setuju dengan pendapat ini.
Jawab singa : "Usulmu berdua memang pantas diturut, Bung.
Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk.
Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan.
Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya.
Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda.
Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta.
Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja.
Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk.
Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati.
Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau.
Lebih utama dari pada terjun ke dalam telaga.
Siapa di antara sesama akan jadi musuhku?
Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh.
Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup.
Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
Bagaikan katanya: "Marilah berkumpul!" Kemudian serentak maju berdesak.
Prajurit darat yang terlanjur langkahnya.
Tertahan tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda.
Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh.
Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.
Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya.
Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun.
Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak.
Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun.
Ada pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan.
Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan.
Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai.
Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam.
Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda.
Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.
Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura.
Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan.
Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau.
Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi.
Disambut penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam.
Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu.
Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu.
Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan.
Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi.
Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai.
Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara.
Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur.
Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri.
Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi.
Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah.
Menimbul-kan iri di dalam hati pengawas candi suci.
Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci.
Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas.
Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti.
Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca.
Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.
Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka.
Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?.
Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun.
Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai.
Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga.
Di sisinya lukisan putri istana berseri-seri.
Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap pemandangan.
Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada.
Ke timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka.
Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam.
Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa padameyan.
Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang.
Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang.
Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap.
Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu.
Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap bersama-sama.
Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan.
Di sisi Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap.
Paginya pasukan kereta Sri Paduka berangkat lagi.
Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring.
Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang.
Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak.
Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui.
Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.
No comments:
Post a Comment