Kerajaan Majapahit
mulai mengalami kehancuran di tangan raja Hayam
Wuruk. Raja
yang tidak memiliki wahyu raja di dalam dirinya, karena para dewa tidak
berkenan kepadanya. Raja muda dan congkak yang hanya berbangga diri menikmati kebesaran dan kejayaan
hasil kerja para
raja pendahulunya. Raja, yang karena ingin juga dipandang besar dan
hebat,
ingin dipandang sebagai raja besar dan bahkan ingin dipandang lebih
besar daripada dewa sesembahan manapun "mengabulkan" penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Barat,
perbuatan-perbuatan yang selalu dihindari oleh para raja pendahulunya, karena
raja-raja
di Jawa Barat adalah juga raja-raja di bawah naungan para dewa, yang
juga
memuja dewa di dalam peribadatannya. Cukuplah seharusnya bila
kerajaan-kerajaan itu mau mengakui kebesaran kerajaan Majapahit dan mau
bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Terjadinya Perang Bubat menjadi awal hilangnya "pamor" keraton Majapahit.
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda Galuh dari ketertarikannya terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman dan ia jatuh cinta kepada putri tersebut.
Hayam Wuruk mengirimkan surat pinangan
kepada Maharaja
Linggabuana untuk melamar putri Dyah Pitaloka dengan rencana upacara
pernikahan akan
dilangsungkan di Majapahit. Pihak keluarga kerajaan Galuh bersedia
menerima pinangan tersebut, tetapi pihak dewan kerajaan Sunda Galuh
berkeberatan bila upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit, karena
menurut adat-istiadat yang berlaku saat itu tidak lazim pihak
pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada
dugaan
bahwa itu adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang
gencar
melebarkan kekuasaan.
Maharaja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke
Majapahit dilandasi rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Prabu Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, adalah
seorang anak keturunan Sunda dengan
ibu dari Jawa Timur. Dan kalaulah benar Majapahit ingin menguasai dan
menaklukan kerajaannya, tentulah kerajaan sebesar Majapahit akan
mengirimkan bala tentaranya untuk datang meratakan dengan tanah kerajaan
kecilnya. Lagipula akan menjadi suatu kehormatan besar bila kerajaan
Galuh bisa bersekutu dan menikahkan putrinya dengan raja Majapahit,
sehingga raja-raja Majapahit sesudahnya adalah anak-anak keturunan
mereka. Pernikahan itu juga akan meniadakan niat Majapahit menginvasi
kerajaan Galuh.
Maharaja
Linggabuana berangkat ke Majapahit beserta permaisurinya mengantarkan
rombongan calon pengantin putri Dyah Pitaloka dan dikawal hampir tiga
per empat prajurit kerajaan. Tahta kerajaan dititipkan kepada
keponakannya (yang
kelak akan disebut Prabu Siliwangi, yang menjadi raja setelah kematian
Raja
Linggabuana). Rombongan berangkat melalui jalan darat ke pelabuhan
Cirebon.
Dari Cirebon perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal laut
kerajaan.
Seiring kabar kesetujuan raja Galuh atas pinangan Hayam
Wuruk dan kabar perjalanan mereka ke Majapahit, di Majapahit sendiri terjadi
perdebatan panas mengenai kedatangan rombongan calon pengantin tersebut. Ada
pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kedatangan mereka sebagai tanda tunduk
kepada Majapahit. Seandainya pun pihak raja Galuh tidak setuju, maka akan mereka paksa dengan kekerasan.
Banyak pembesar-pembesar Majapahit yang
tidak senang dengan
kesuksesan Gajah Mada. Nama Gajah Mada terlalu cemerlang, bahkan lebih
terkenal daripada nama rajanya sendiri yang sedang memerintah. Mereka
selalu berusaha menjatuhkan Gajah Mada di depan
raja mereka. Hayam Wuruk sendiri adalah raja baru, masih muda dan belum
cukup
memiliki kebijaksanaan sebagai seorang raja. Selaku orang tua Gajah Mada
berusaha menahan diri
untuk memberi teladan kepada rajanya.
Gajah Mada sendiri berpendapat dan berusaha memberi
pengertian bahwa kerajaan-kerajaan Sunda tidak perlu ditaklukkan dengan
kekerasan mengingat selama
ini antara kerajaan Jawa dan Sunda dan rakyat mereka sudah hidup
berdampingan dengan rukun. Menyerang
kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh para raja pendahulu, karena
raja-raja
di Jawa Barat adalah juga raja-raja di bawah naungan para dewa, yang
juga
memuja dewa di dalam peribadatannya. Itulah juga sebabnya dalam
penaklukkan nusantara Gajah Mada tidak menginvasi jawa barat, walaupun
itu adalah wilayah yang terdekat dengan kerajaan Majapahit dan harus lebih dulu ditaklukkan.
Cukuplah
kiranya bila kerajaan-kerajaan Sunda itu mau mengakui kebesaran
Majapahit dan mau bersekutu, tidak perlu dihancurkan. Lagipula
kerajaan-kerajaan Sunda adalah
kerajaan-kerajaan kecil yang tidak dapat dibandingkan dengan kebesaran
kerajaan Majapahit, tidak akan membahayakan Majapahit. Walaupun begitu,
mereka dapat dijadikan sekutu untuk mengamankan wilayah barat pulau Jawa
dan dapat dimintai
bantuannya sewaktu-waktu. Dalam hal ini rombongan Dyah Pitaloka yang
datang ke
Majapahit adalah sebagai putri calon pengantin dari negeri sederajat,
bukan
sebagai putri persembahan.
Hayam Wuruk bimbang atas permasalahan
tersebut. Namun atas desakan
orang-orang di sekitarnya, akhirnya ia berkeputusan bahwa dia akan tetap
memperistri putri Dyah Pitaloka, merebutnya dengan paksa bila perlu, dan
menjadikan kerajaan Galuh sebagai bawahan Majapahit. Menurutnya,
kebesaran Majapahit tidak
dapat disamakan atau dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Sunda,
apalagi dianggap sederajat. Mereka semua harus tunduk di
bawah panji-panji kebesaran Majapahit. Kalau perlu, tentara Majapahit
akan dikirimkan ke tanah Sunda untuk meratakan dengan tanah semua
kekuasaan yang ada disana.
Atas keputusan itu, orang-orang yang berseberangan dengan Gajah Mada
merasa mendapat angin dan mulai berani mencela Gajah Mada. Diam-diam pun mereka sudah merencanakan gerakan-gerakan
untuk menjatuhkan Gajah Mada.
Setelah masuk ke laut Jawa Timur, kapal rombongan calon pengantin
menyusuri sungai untuk semakin dalam mendekati pusat kerajaan Majapahit. Rombongan
mendarat di suatu tempat yang dianggap aman. Rombongan Raja Linggabuana dan
prajuritnya meneruskan perjalanan melalui jalan darat, sedangkan putri
Dyah Pitaloka ditinggalkan di kapal bersama para pengiring pengantin dan sebagian
prajurit untuk menjaganya. Rencananya, kedatangan Raja Linggabuana terlebih dahulu adalah
untuk memberi kabar bahwa rombongannya sudah sampai dengan selamat. Sedangkan
calon pengantin sendiri tentunya nantinya akan dijemput oleh pihak Hayam Wuruk setelah
upacara pernikahan sudah siap dilaksanakan.
Rombongan Raja Linggabuana diterima di pos penjagaan
Majapahit di luar kota dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Belum lagi Gajah Mada menerima berita
kedatangan Raja Linggabuana, sejumlah besar pasukan khusus Majapahit
sudah
bergerak mendatangi pesanggrahan Bubat. Dengan pakaian keprajuritan
hitam-hitam dan simbol-simbol pasukan khusus Majapahit mereka memaksa
Raja Linggabuana untuk
mengakui kebesaran kerajaan Majapahit atas kerajaan Galuh. Raja
Linggabuana menolak pemaksaan
itu. Maka terjadilah pertarungan antara pasukan Majapahit itu dengan
pasukan Raja
Linggabuana.
Barisan pasukan
khusus Majapahit bergerak melingkar, mengepung Raja Linggabuana dan para
pengawalnya. Pasukan khusus Majapahit bersenjatakan tombak panjang,
dengan barisan yang rapat bergerak menyerang maju menusuk dan mundur
bertahan dan gerakan kaki menghentak ke tanah, teratur saling mengisi
dan melindungi, gerakan barisan banteng dan gajah, membuat tentara Raja
Linggabuana terjepit dan terdesak. Sama sekali tak ada ruang untuk
menghindar atau mundur, apalagi lari.
Prajurit
Raja Linggabuana membentuk formasi bertahan melingkar mengelilingi raja
mereka. Pasukan pendekar pengawal raja bergerak ganas melompat-lompat
menyerang menerjang dengan senjatanya masing-masing dan mengaum-aum
seperti macan. Raja Linggabuana sendiri sudah mengetrapkan ilmu
pamungkasnya, ajian macan liwung, ilmu khusus keluarga kerajaan
yang ganas, yang diterapkan hanya dalam kondisi terdesak antara hidup
dan mati. Sekalipun sudah cukup tua, gemuk dan gendut, tetapi kegesitan
dan kekuatannya tidak berkurang. Raja Linggabuana yang sakti, dengan
bersenjatakan sepasang belati khusus, bergerak trengginas seperti seekor harimau besar, gagah perkasa.
Suasana
perang hiruk-pikuk penuh dengan suara auman macan dan hentakan kaki ke
bumi. Satu per satu korban berjatuhan di kedua pihak. Tetapi pasukan
khusus Majapahit lebih tangguh daripada lawannya. Prajurit dan pasukan
pendekar Raja Linggabuana terdesak dan berjatuhan sudah hampir habis,
tak mampu melawan barisan pasukan khusus Majapahit. Raja Linggabuana
dengan belatinya sudah menewaskan banyak prajurit Majapahit, tetapi juga
sudah beberapa kali tertusuk tombak tajam, namun tidak terluka.
Dengan
satu teriakan aba-aba yang keras di pihak pasukan Majapahit,
pertempuran terpecah terbagi menjadi dua lingkaran besar. Lingkaran
pertama adalah kepungan 5 orang kepala pasukan khusus Majapahit yang
sudah menghunus kerisnya masing-masing, mengepung Raja Linggabuana.
Tombak-tombak mereka tak mampu melukai Raja Linggabuana. Lingkaran kedua
adalah para prajurit pasukan khusus Majapahit yang mengepung para
prajurit dan pendekar, pejabat, anggota keluarga kerajaan dan permaisuri
Raja Linggabuana.
Pertempuran
yang ganas kembali berlanjut. Raja Linggabuana semakin terjepit,
terpisah dari kelompoknya dan tak mampu menyatukan kekuatan dengan para
pengawalnya. Para pengawalnya pun tak mampu berbuat banyak, karena harus
melindungi dirinya sendiri dan para keluarga kerajaan yang lain.
Kembali para pendekar dan pengawal raja berjatuhan tewas satu per satu.
Raja Linggabuana sendiri harus mulai banyak menghindar, karena walaupun
keris-keris lawannya berhasil dihindari tidak sampai menyentuh tubuhnya,
tetapi kesiuran angin tusukan dan sabetan keris-keris lawannya terasa
panas dan perih di kulitnya.
Akhirnya
pada sebuah kesempatan seorang kepala pasukan khusus Majapahit berhasil
menusuk pinggang Raja Linggabuana. Raja Linggabuana tersungkur
terduduk. Rasa perih dan panas terasa sangat menyengat. Darah merah
hitam mengalir dari pinggangnya membasahi pakaiannya. Walaupun terasa
sakit dan perih dipaksanya untuk dapat berdiri. Dengan jurus lompatan
harimau, perlawanannya yang terakhir, dia melompat menubruk dan
belatinya menembus dada seorang lawannya, tetapi musuh-musuhnya yang
lain menghujamkan keris-keris mereka ke tubuh Raja Linggabuana. Akhirnya
Raja Linggabuana yang gagah perkasa gugur di medan laga.
Para
prajurit dan pasukan pendekar Raja Linggabuana gugur satu persatu.
Kegagahan dan ketangguhan pasukan khusus Majapahit benar-benar menguasai
jalannya pertempuran. Walaupun jumlahnya tidak cukup banyak, tetapi
lawannya tidak cukup siap menghadapi ketangguhan pasukan khusus sebuah
kerajaan besar, lawannya tak mampu menahan mereka.
Pertarungan berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para
menteri dan pejabat kerajaan beserta segenap keluarga raja dan prajurit kerajaan Galuh di
lapangan Bubat. Habis tak bersisa.
Akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam
Wuruk dengan Gajah
Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa
tentang
penyerangan ke Bubat. Gajah Mada menjadi kambing hitam dari orang-orang
yang
tidak senang kepadanya. Bahkan raja Hayam Wuruk pun murka kepadanya dan
menimpakan semua kesalahan kepadanya. Gajah Mada menghadapi sendirian
tuduhan, kecurigaan, dan
kecaman dari semua pihak di kerajaan Majapahit, karena dianggap
bertanggung
jawab, ceroboh dan gegabah membiarkan pasukannya bergerak dan bertindak
sendiri diluar komandonya.
Tidak mungkin sebagai seorang pemimpin besar ketentaraan ia tidak
mengetahui
pergerakan prajurit-prajuritnya. Ia dianggap terlalu lancang melakukan
tindakan sendiri tanpa seizin Raja Hayam Wuruk.
Segala fitnah kambing hitam dijatuhkan kepada Mahapatih
Gajah Mada, sehingga kemudian Gajah Mada menyatakan mundur dari keprajuritan.
Lengser. Menepi di sebuah goa di lereng gunung di perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dan moksa, dengan membawa kepahitan di dalam hatinya.
Mahapatih Gajah Mada telah
membuktikan tekadnya mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi dan tidak berhenti bekerja sebelum Majapahit mencapai
kejayaannya.
Bahkan karena pengabdiannya itu ia tidak menikah dan tidak memiliki
keturunan. Tetapi ternyata kejayaan dari pengabdian tulus seumur hidup
telah berbalik menjadi kehinaan dan
nista di tangan seorang raja congkak dan tak berbudi luhur !
Putri Dyah Pitaloka, rombongan dan para pengawalnya masih setia menunggu di
kapal. Mereka tidak mengetahui bahwa ayah-ibunya dan para prajurit yang
mengawalnya telah mati terbunuh di lapangan Bubat. Hampir sebulan lamanya
mereka menunggu di kapal. Akhirnya mereka semua juga meninggal karena
terjangkit wabah yang mematikan. Sampai sekarang manusia masih dapat bertemu dengan mereka,
karena roh mereka masih berada di tempat itu bersama dengan kapal yang mereka
tumpangi.
No comments:
Post a Comment